Monday, January 27, 2020

Ajarlah Kami Berdoa


by Glory Ekasari

Saat bersekolah di sebuah SD Katolik, saya diajarkan untuk berdoa seperti yang Yesus ajarkan—Doa Bapa Kami. Semua murid wajib menghafalkan doa itu, dan setiap pagi kami berdoa sebelum mulai kelas. Selama bertahun-tahun saya tidak pernah memikirkan makna doa ini, sel1ain memandangnya sebagai doa hafalan. Namun setelah membaca buku tulisan Warren Wiersbe yang berjudul On Earth As It Is In Heaven, saya mulai merenungkan makna di balik Doa Bapa Kami.

Pada masa kehidupan Yesus di dunia, para rabi (“guru” dalam bahasa Ibrani) Yudaisme mengajar murid-murid mereka untuk berdoa. Satu rabi memimpin satu “perguruan”, dan memiliki pengikut yang tekun belajar dari dirinya. Tidak heran jika murid-murid Yesus mengajukan permintaan kepada-Nya, “Tuhan, ajarlah kami berdoa, sama seperti yang diajarkan Yohanes kepada murid-muridnya.” (Lukas 11:1). Mendengar permintaan ini, Yesuspun mengajarkan Doa Bapa Kami pada mereka. Berbeda dari doa-doa yang diajarkan para rabi (yang “hanya” menekankan kekudusan Tuhan dan ketidaklayakan manusia untuk menghampiri tahta-Nya karena dosa), Doa Bapa Kami justru adalah doa yang menggambarkan kedekatan antara anak-anak Allah dengan Sang Bapa—tanpa menghilangkan unsur kekudusan-Nya.

Mungkin sebagian kita merasa mudah untuk berdoa. Iyalah, lha tinggal ngomong aja sama Tuhan. Gitu aja repot. Tapi ternyata, banyak orang justru menolak ketika diminta berdoa, “Jangan, deh. Aku ga bisa berdoa. Malu kalo diketawain.”

Well… ternyata berdoa itu gampang-gampang susah, Pearlians. Tapi pernah nggak kita berpikir alasan di balik jawaban tersebut?

Sebenarnya sederhana saja: kita tidak tahu bagaimana harus bicara dengan Tuhan, sehingga mereka menghafalkan doa tertentu, mengulang-ulang kalimat, mematenkan ritual, dan sebagainya. Lah, kalo gitu, gimana kalo Tuhan sendiri yang mengajari kita untuk berbicara kepada-Nya? Nah, ini baru bener. Dengan demikian, kita jadi tahu apa yang Tuhan inginkan dalam doa kita. Tapi bukan berarti kita bisa bicara seenaknya ya, Pearlians. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam pengajaran Tuhan Yesus kepada para murid-Nya tentang bagaimana harus berdoa:

// Berdoa Kepada Siapa?
Kesalahan pertama yang sering dilakukan orang dalam berdoa adalah berdoa untuk dilihat orang. Ini terdengar aneh, karena seharusnya kan, orang berdoa kepada Tuhan. Tapi inilah yang terjadi. Tuhan memberikan contoh dari kalangan “rohaniwan” Yahudi sendiri:

“Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.”
(Matius 6:5)

Orang Yahudi punya jam-jam doa yang telah ditentukan. Ketika jam doa tiba, maka para alim ulama Yahudi, di manapun mereka berada, akan langsung berhenti beraktivitas dan mulai berdoa—kadang-kadang dengan suara lantang. Oleh karenanya, semua orang akan melihat betapa “salehnya” mereka karena menaati jam doa, tidak seperti orang lain yang sibuk bekerja.

Tidak disangka, Tuhan tidak berkenan kepada doa seperti ini. Doa yang demikian justru salah alamat karena tidak ditujukan untuk Tuhan, melainkan untuk show off diri mereka sendiri. Yesus menegaskan, “Kamu cari penghormatan dari orang? Kamu sudah mendapatkannya. Tidak ada lagi yang Tuhan berikan sebagai respon dari “doa”-mu.”

Kesalahan lain adalah berdoa dengan bertele-tele. Yang biasanya berdoa seperti ini—dengan kata-kata yang diulang-ulang atau dirangkai indah tapi tanpa makna—adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. What an irony!

“Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan.”
(Matius 6:7)

See? Yesus menekankan bahwa doa dikabulkan bukan karena banyaknya kata yang digunakan. Lalu kenapa doa orang-orang ini tidak dikabulkan oleh Allah? Karena mereka tidak mengenal Dia. Dari sinilah Yesus mengambil titik tolak untuk menjelaskan kepada kita tentang doa yang dikehendaki Allah. Secara tersirat, Dia juga menunjukkan bahwa yang terpenting bukan pendapat orang tentang kita (bahwa kita orang yang rohani, saleh, tekun berdoa, dan sebagainya), tetapi apa pandangan Allah tentang kita.

Yesus memulai doa-Nya dengan frase yang luar biasa, “Bapa kami yang di sorga.” Secara teori, kita tahu bahwa kita tidak berdoa kepada “semesta”, bukan pada dewa yang menakutkan, bukan juga kepada mahkluk yang mahakuasa—namun bodoh dan bisa dirayu dengan kata-kata indah. Tidak. Kita berdoa kepada Bapa di sorga. Satu kata ini saja menunjukkan superioritas Allah dibanding kita, sekaligus hubungan yang manis antara Dia dengan kita. Dia bukanlah Pribadi yang jauh, Dia tidak memusuhi kita, dan kita bisa mengenal Dia. Pengenalan inilah yang menjadi kunci doa-yang-didengar-oleh-Allah.

Tidak ada anak yang berbicara kepada bapaknya dengan kalimat yang bertele-tele atau berseru keras-keras di depan orang banyak. Betapa anehnya bila ada anak berkata kepada papanya, “Pa, saya tahu Papa adalah orang tua yang bertanggung jawab sebagai penyedia dalam keluarga kita. Papa senantiasa menjadi teladan istimewa bagi saya dalam segala hal. Pada saat ini, Pa, sehubungan dengan kuliah saya yang semakin intens, biaya yang saya butuhkan pun makin banyak…” Tidak ada anak bicara seperti itu pada orang tuanya. Yang ada justru anak akan bercerita masalahnya dan kebutuhannya to the point, ketika dia bersama orang tuanya saja. Ini juga yang Tuhan tekankan:

“Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
(Matius 6:6)

Kehidupan doa kita tidak perlu dilihat dan diketahui orang lain, kecuali mungkin mereka yang hidup bersama dengan kita. Namun dampaknya harus dirasakan oleh semua orang di sekitar kita.

// Permintaan Yang Terpenting
Kabar baiknya, rata-rata orang Kristen (termasuk kita) bisa berdoa—walaupun “hanya” menggunakan kata-kata sederhana. Tapi tidak masalah. Yang jadi pertanyaan, ketika kita mulai berdoa, apa yang kita katakan kepada Tuhan? Apa yang kita minta dari Dia? Yang terpenting, top of our mind, pasti disebutkan pertama kali. Nah, perhatikanlah doa yang diajarkan Tuhan Yesus, dan permintaan apa yang pertama kali disebutkan-Nya.

Ada dua kategori permintaan, yaitu permintaan bagi Allah dan permintaan bagi diri kita sendiri. Tentu saja meminta sesuatu bagi Allah bukan berarti Allah membutuhkan apapun. Kita harus ingat bahwa Tuhan Yesus sedang mengajari murid-murid-Nya untuk berdoa. Artinya, Dia mengajari mereka untuk mengetahui apa yang harus jadi prioritas dalam hidup mereka.

“Bapa kami yang di sorga,
dikuduskanlah Nama-Mu,
datanglah Kerajaan-Mu,
jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.”
(Matius 6:9-10)

Melalui Alkitab, kita melihat bahwa Allah adalah tokoh utama dan Yesus adalah Tuhan yang ditinggikan—Nama-Nya adalah Nama di atas segala nama. Pearlians masih ingat pada perintah pertama dalam 10 Hukum, kan?

“Jangan ada Allah lain di hadapanmu…”

Dengan kata lain, Allah harus menjadi satu-satunya Pribadi yang kita sembah. Tidak hanya itu, dalam Ulangan 6:5 (yang dikutip Yesus dalam “Hukum yang Terutama” (Matius 22:37-40)) dituliskan, “Kasihilah TUHAN, Allahmu.” Bila Tuhan adalah yang terutama bagi kita, maka sepantasnya hal ini tercermin dalam doa kita.

Melalui kata-kata dalam doa ini, Yesus menunjukkan bahwa Allah adalah Pribadi yang kudus; Dia adalah Raja atas segalanya, dan kehendak-Nya tidak bisa dibatalkan oleh manusia. Dengan mengucapkan kata-kata ini dalam doa kita, kita sedang mengingatkan diri sendiri untuk menghormati Tuhan dan berserah kepada kehendak-Nya.

// Menyadari Siapa Kita dan Siapa Dia
Bagian kedua dari permintaan dalam doa Bapa Kami berkaitan langsung dengan hidup kita:

“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.”
(Matius 6:11-13)

Biasanya saat berdoa, kita akan langsung ke permintaan kita, dan—umumnya—kita minta diberkati. Sebenarnya doa-doa kita biasanya hanya berisi satu bagian ini, satu potongan dari doa yang jauh lebih luas yang diajarkan Tuhan Yesus. Itu pun kita bukan minta makanan “yang secukupnya”, tapi hal-hal yang (sebenarnya) bukan kebutuhan; sementara dua permintaan lainnya—pengampunan dan kelepasan dari pencobaan—bukan hal yang biasa kita minta dalam doa. Namun melalui tiga permintaan ini, Tuhan menunjukkan bahwa kita harus bergantung penuh kepada-Nya. Sekeras apapun kita bekerja, bila Tuhan tidak memberkati kita, kita tidak akan berhasil. Karena itulah kita merendahkan diri di hadapan Tuhan dan meminta berkat dari-Nya. Kita percaya bahwa Dia yang menciptakan kita, pasti juga sanggup memelihara hidup kita.

Kemudian kita meminta pengampunan, yang dalam bahasa aslinya berarti “pembebasan utang”. Mengapa? Karena kita perlu menyadari bahwa kita adalah orang-orang yang selamanya berutang kepada Allah. Dia telah mengampuni semua dosa kita dengan kemurahan hati-Nya melalui Kristus, sehingga kita juga harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Perumpamaan tentang pengampunan dalam Matius 18 adalah a blowing mind parable tentang betapa besarnya utang kita di hadapan Tuhan—bila dibandingkan utang sesama terhadap kita. Artinya, orang yang tidak merasa diampuni oleh Allah, akan sulit mengampuni orang lain.

Last but not least, kita meminta kelepasan dari pencobaan. Sepanjang hari, kita menghadapi pencobaan. Well, karena dunia ini adalah medan pertempuran rohani, Pearlians, sehingga kita tidak bisa mengandalkan kekuatan sendiri untuk menghadapinya. Dengan berdoa, kita mengakui kelemahan diri kita, dan meminta pertolongan kepada Tuhan agar kita mampu hidup sesuai kehendak-Nya—serta melawan pencobaan dengan kekuatan dari-Nya. Ini adalah kabar baik, bukan? Dia bukan Tuhan yang leha-leha saat melihat kita bergumul sendirian, tapi justru melepaskan kita dari apa yang jahat.

--*--

Doa yang diajarkan Tuhan Yesus menunjukkan siapa Allah dan siapa kita. Yaps, kita bukanlah mahkluk yang independen, yang tidak membutuhkan Tuhan, yang hanya datang kepada-Nya saat kita perlu sesuatu, dan bisa melupakan-Nya setelah itu. Tidak. Setiap tarikan nafas kita adalah bukti bahwa kita adalah ciptaan yang harus bergantung penuh kepada-Nya, Sang Pencipta yang mengasihi kita. Melalui Doa Bapa Kami, kita diingatkan untuk menjadi orang-orang yang rendah hati, sekaligus memberi kelegaan besar karena kita tahu bahwa hidup kita dijamin oleh Allah.

Mari kita datang kepada Yesus, dan dengan kerendahan hati meminta Dia untuk membuka pikiran kita, serta berkata bersama para murid-Nya di masa itu, “Tuhan, ajarlah kami berdoa.”

Monday, January 20, 2020

Yesus dan Hukum Taurat


by Yunie Sutanto

"Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.”
(Matius 5:17-18)

Ayat di atas menjelaskan salah satu tujuan Yesus datang ke dunia: menggenapi hukum Taurat dan kitab para nabi. Apa maksud menggenapi Hukum Taurat ini? Apakah hukum Taurat itu ganjil sehingga perlu digenapi? Memangnya apa yang kurang dengan Hukum Taurat dan kitab para nabi?

Hukum Taurat atau Torah merujuk pada 5 (lima) kitab pertama Perjanjian Lama. Torah berasal dari bahasa Ibrani yarah yang berarti memberi pengajaran, mengajarkan, menunjukkan. Secara umum, Torah juga bisa diartikan sebagai instruksi. Memang, jika kita membaca Perjanjian Lama, maka kita akan banyak sekali menemukan perintah dan larangan, what we should do and what we should not do. Dari sekian banyak peraturan dalam hukum Taurat, St. Thomas Aquinas mengkategorikannya dalam tiga jenis: hukum moral, seremonial dan yudisial. Hukum moral misalnya adalah apa yang tertulis dalam 10 perintah Allah: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan bersaksi duta. Hukum seremonial misalnya aturan-aturan memberikan persembahan di bait suci. Sedangkan hukum yudisial misalnya aturan-aturan dalam hidup bermasyarakat. 

Mari kita lihat bagaimana Yesus menggenapi hukum Taurat.
1. Yesus memprioritaskan KASIH lebih dari HUKUM
Jika kita membaca Perjanjian Baru, maka ada banyak sekali contoh Yesus mengutip hukum Taurat, tapi kemudian memberikan perintah baru. 

”Kalian pernah mendengar kata-kata, ’Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi.’ Tapi aku berkata kepada kalian: Jangan melawan orang jahat. Sebaliknya, kalau ada yang menampar pipi kananmu, berikan juga pipi kirimu.”
(Matius 5:38-39)

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”
(Matius 5:43-44)

Apakah itu berarti hukum Taurat adalah sebuah kesalahan. Tentu saja tidak. Yesus hanya ingin menegaskan, bahwa kedatangannya sebagai Juru Selamat telah membawa manusia ke dalam era yang baru yaitu era KASIH KARUNIA. Paulus menjelaskan prinsip ini dalam Kitab Roma: Allah memberikan hukum Taurat supaya manusia mengenal dosa (Roma 3:20) dan mengerti bahwa semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:22). Namun, hukum Taurat tidak menyelamatkan, hanya kasih karunia Allah melalui iman kepada Kristus lah yang menyelamatkan manusia (Roma 3:24).

Yesus menggenapi hukum Taurat dengan memberikan hukum baru, yaitu hukum kasih karunia.

2. Yesus memprioritaskan HATI dibanding SEREMONI
Salah satu bagian yang menarik di Perjanjian Baru adalah ‘perseteruan’ antara Yesus dan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Menarik karena Yesus yang begitu lembut dan penuh kasih, bisa menjadi begitu tegas dan tajam saat ia bicara tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih. Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.
(Matius 23:25-28)

Ahli-ahli Taurat, seperti sudah dijelaskan oleh namanya, adalah pemuka agama yang sangat menguasai hukum Taurat dan bahkan menjadi pengajar. Ahli-ahli Taurat ini memiliki posisi yang sangat tinggi di masyarakat Yahudi, bahkan menjadi anggota Sanhedrin atau mahkamah agama.

Tapi kenapa Yesus jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaan kepada mereka? Alasannya satu, karena mereka munafik. Di luar mereka tampak baik, namun hatinya buruk. Sayangnya, orang-orang Farisi dan Ahli-Ahli Taurat ini sudah merasa dirinya baik, karena mereka melakukan hukum Taurat dengan sempurna, sehingga merasa tidak perlu Kristus. Melakukan hukum Taurat tanpa perubahan hati bisa menjebak kita pada kesombongan rohani dan membuat kita mudah menghakimi.

3. YESUS memprioritaskan PENGERTIAN dibandingkan KETAATAN BUTA
Kadang ketika kita menerima sebuah peraturan, kita bisa menjadi begitu saklek dalam melakukannya. Itulah yang dilakukan oleh orang Farisi. Tapi Yesus berbeda, Ia melakukan hal-hal yang dianggap melanggar hukum Taurat karena ia mengerti hati Allah. Yesus menyembuhkan seorang wanita pada hari Sabat karena Ia mengerti menyelamatkan satu jiwa lebih penting dari segala sesuatu (Markus 13:14-16). Yesus juga pernah membiarkan murid-muridnya memetik gandum di ladang, karena ia mengerti Hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat.“ (Markus 2:27)

Ketaatan buta, tanpa pengertian akan hati Allah, akan membawa kita pada kehidupan rohani yang kosong. Tuhan memang ingin kita taat, tapi terlebih dari itu, Ia ingin kita mengenal-Nya. Sehingga pengenalan akan dia lah yang kemudian menjadi alasan ketaatan kita.

***

Jika kita perhatikan, hukum-hukum Taurat yang diperbaharui oleh Yesus adalah hukum yang bersifat seremoni dan yudisial. Namun, Yesus tidak mengubah hukum moral. Mengapa? Karena di dalam hukum moral itu, ada hukum yang terutama, yaitu "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:38-39).

Hukum Taurat bukanlah alat untuk menghakimi dosa orang lain. Yesus menghendaki, agar semakin mengenal dan melakukan hukum Taurat, manusia justru semakin disadarkan akan ketidakberdayaannya untuk menjaga hati yang penuh keinginan berdosa. Hukum Taurat memberi petunjuk arah kepada Kristus dan menyadarkan kebutuhan kita akan Juru Selamat. Dengan hukum Taurat, kita disadarkan bahwa sekalipun kita bisa memoles penampilan luar begitu rohani, tetapi hati kita tanpa Kristus tetaplah kotor. 

Kita butuh Yesus untuk tinggal di hati kita dan menebus dosa kita. Kita butuh Roh Kudus-Nya untuk menginsafkan kita akan dosa dan senantiasa mengingatkan kita untuk hidup benar. Kita tidak bisa mengandalkan kekuatan sendiri untuk hidup benar. Hidup benar dimulai dari hati, yang lalu menghasilkan buah roh sebagai hasil persekutuan indah dengan Kristus. 

Kristus tidak membatalkan hukum Taurat, Ia menggenapinya.

Monday, January 13, 2020

Garam dan Terang Dunia


by Tabita Davinia Utomo
“Be the salt and light of the world!”
Mungkin kalimat di atas sering kita temukan sebagai quote yang beredar di media sosial—entah di status maupun isi dari posting-an. Sekilas tidak ada yang salah dengan ungkapan tersebut, bukan? Padahal kalau kita baca dengan lebih cermat, sebenarnya Yesus tidak sedang berkata, “Jadilah garam dan terang,” melainkan, “Kamu adalah garam dunia. Kamu adalah terang dunia” (Matius 5:13a, 14a).

Sebelum membahas isi pengajaran kedua Yesus di bukit ini, kita perlu mengingat satu hal penting yang ditekankan penulis Injil Matius, yaitu tentang siapa yang menjadi pendengar khotbah Yesus. Mungkin sebagian besar orang akan menjawab, “Semua orang yang ada di situ.” Padahal sebenarnya, fokus khotbah Yesus saat itu adalah para murid—meskipun ada banyak orang datang mengikuti-Nya. Kalau kita membaca pasal sebelumnya, dikisahkan bahwa Yesus baru saja kembali dari padang gurun setelah dicobai Iblis (4:1-11) dan memulai pelayanan-Nya di Galilea (4:12-17). Matius 4:18-22 menceritakan momen ketika Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama: Simon Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes. Selanjutnya, Yesus menyembuhkan orang-orang sakit, sehingga membuat masyarakat Galilea, Dekapolis, Yerusalem, Yudea, dan seberang Yordan berbondong-bondong mengikuti-Nya. Nah, setelah melihat mereka, Yesus naik ke bukit dan mengajar para murid-Nya (Matius 5:1-2).

Dari sini kita bisa menangkap pesan dari sang penulis Injil; yaitu sebagai orang yang telah diselamatkan dan dipanggil untuk menjadi murid Kristus, kita perlu menjadi “berbeda” dari dunia ini. Jadi “berbeda” di sini bukan berarti sok hipster (kalau kata Kak Glory–baca artikel sebelumnya, tapi kita menjadi percaya dan meneladan diri-Nya. Karena itulah, Yesus juga menjelaskan tentang identitas para murid-Nya sebagai garam dan terang dunia—dua hal yang sangat penting bagi masyarakat Yahudi saat itu.
1. Garam yang Mengasinkan
Secara teori, kita tahu kalau garam itu pasti asin. Bahkan sejak SD, kita sudah belajar cara pembuatan garam—yaitu melalui proses penguapan air laut. Proses inilah yang digunakan orang-orang zaman dulu untuk membuat garam—termasuk oleh orang Yahudi. Tanpa proses penguapan yang sempurna, akan ada bahan-bahan selain yodium yang tercampur sehingga menghasilkan garam yang tawar—bukan garam murni. Bayangkan kalau garam seperti inilah yang ada dalam masakan kita. Sebanyak apapun garamnya, rasanya pasti hambar dan membuat kita tidak berselera makan (bahkan makanan manis pun setidaknya membutuhkan sedikit garam untuk menyeimbangkan rasa manis).

Begitu pula dengan identitas para murid Yesus; mereka dipanggil untuk “mengasinkan” dunia. Saat itu, masyarakat Yahudi sedang berada di bawah penjajahan Romawi dan masih mengharapkan kedatangan Mesias—yang telah dinubuatkan sejak berabad-abad sebelumnya. Namun bagian khotbah Yesus ini menegaskan bahwa para murid-Nya—yang telah memperoleh identitas baru—harus menunjukkan perbedaan di antara orang-orang yang bukan murid-Nya, yaitu dalam segala aspek kehidupannya. Nantinya, setelah kenaikan Yesus dan turunnya Roh Kudus, para muridpun benar-benar menjadi garam melalui kehadiran mereka yang mengubahkan masyarakat, bahkan dunia, dengan keselarasan antara hidup dan Injil yang diberitakan. Jika tidak berfungsi sebagaimana mestinya (baca: sebagai garam yang mengasinkan), mungkin Injil tidak akan disebarluaskan sampai detik ini. Status para murid pun sama seperti orang lain yang belum mengenal-Nya—bahkan justru “dibuang dan diinjak orang” (Matius 5:13b) karena dinilai tidak ada gunanya.

2. Terang yang Menunjukkan Dirinya
Dalam salah satu komik yang saya baca, ada seorang tokoh yang berpikir, “Terang kan, nggak bisa dikalahkan kegelapan. Makanya Dia (Tuhan), nggak bisa ditutupi siapapun karena Dia itu terang.”

Di zaman itu belum ada lampu kayak sekarang ya, Pearlians, soalnya Edison belum lahir. Hehe… Karena itu, masyarakat Yahudi masih pakai pelita sebagai penerangan. Yesus pun menjelaskan, “Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.” (Matius 5:15). Kegunaan pelita ini sangat besar, baik saat malam hari maupun untuk mencari barang yang sulit dijangkau (seperti perumpamaan tentang dirham yang hilang di Lukas 15:8-10). Ya, tanpa cahaya, kita tidak akan bisa melihat apapun. Apalagi di zaman dulu, di mana untuk menyalakan pelita masih perlu minyak—sedangkan kita bisa langsung menekan saklar lampu untuk mendapatkan cahaya.

Yesus menggunakan analogi pelita ini untuk menunjukkan peran para murid-Nya sebagai pembawa Sang Terang, yaitu diri-Nya sendiri. Kalau kita baca Yohanes 1, penulis Injil itu menjelaskan bagaimana Allah, yang adalah Sang Terang, hadir ke dunia sebagai manusia dalam diri Yesus. Secara tersirat, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai terang itu sendiri, dan Dia memberikan tugas khusus pada para murid-Nya untuk memiliki citra-Nya tersebut. Yesus juga menyebutkan salah satu ciri cahaya, yaitu tidak dapat disembunyikan—bagaimanapun caranya. Di masa penjajahan oleh bangsa-yang-menyembah-banyak-dewa itu, para murid dipanggil untuk memberitakan kabar keselamatan yang hanya diberikan oleh Satu-Pribadi-yang-layak-disembah. Tentu ini sesuatu yang menantang, karena nyawa taruhannya. Namun di kemudian hari mereka, beserta orang-orang percaya lainnya, juga dimampukan untuk membuktikan identitas baru mereka (dengan pertolongan Roh Kudus) sebagai terang dunia… walaupun harus menghadapi penganiayaan.

Lalu bagaimana dengan kita? Secara teori (lagi-lagi), kita juga tahu kalau sebagai orang Kristen, kita adalah garam dan terang dunia. Tapi seberapa jauh kita menghayati makna di balik metafora tersebut? Well, ada beberapa hal yang bisa kita renungkan, Pearlians:

1. Ketika di rumah, apakah kehadiran kita membawa sukacita bagi keluarga kita… atau justru membuat keadaan tidak berubah—bahkan semakin parah? Bisa saja, tanpa disadari, kita memperparah keadaan karena kemalasan kita, karena kata-kata yang menghujam anggota keluarga, maupun karena pikiran kita yang negatif.

2. Ketika di sekolah/tempat kerja, apakah kita menjadi berkat melalui apapun yang kita lakukan? Misalnya melalui encouragement words yang diucapkan dengan tulus, hadiah sederhana yang jadi kenangan manis bagi sang penerima, maupun tindakan-tindakan yang menghangatkan hati mereka. Jangan-jangan, meskipun orang lain berkata baik tentang kita, sebenarnya mereka justru meragukan identitas kita sebagai orang percaya karena ketidaksinkronan pemahaman Alkitab terhadap seluruh aspek kehidupan kita.

3. Ketika melayani (baik di gereja, parachurch, dll.), apakah kehadiran kita menjadi batu sandungan bagi orang lain, dan bukannya garam dan terang? Apakah kita tulus dan jujur dalam melayani Tuhan? Apakah kita lemah lembut dan sabar, atau malah menyakiti orang lain dengan sikap dan perkataan kita?

Sebenarnya masih ada banyak hal praktis yang bisa kita renungkan dan lakukan; tapi yang jelas, jangan sampai Firman Tuhan hanya berhenti di otak kita saja. Kita memang harus memiliki pengetahuan Alkitab yang cukup, tapi juga harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, perlahan-lahan, kita akan semakin dibentuk untuk benar-benar menghidupi identitas kita sebagai “garam dan terang dunia”, seperti yang Yesus katakan.

Selamat berproses sepanjang dekade ketiga di abad ke-21 ini! :)

Monday, January 6, 2020

Ucapan Bahagia



by Glory Ekasari

Biasanya orang-orang akan mengadakan perayaan saat akan memasuki tahun yang baru. Kita berhenti sejenak dari pekerjaan masing-masing; pemerintah menyatakan tanggal 1 Januari sebagai hari libur nasional; berbagai tempat wisata ramai dengan banyak keluarga yang ingin menikmati liburan bersama. Mereka tersenyum dan tertawa—menunjukkan bahwa mereka merasa bahagia atas adanya satu hari libur itu.

Ya, manusia selalu mencari kebahagiaan.

Mengapa orang bekerja keras mencari uang? Supaya kaya dan bisa memiliki apapun yang dia mau, dan dia berbahagia.

Mengapa orang menikah? Supaya ada yang mendampinginya, dan dia berbahagia.

Mengapa orang mengejar prestasi? Supaya dia diakui orang lain, dan dia berbahagia.

Saat ini, banyak orang (mungkin termasuk kita) berusaha mencari kebahagiaan—bahkan dalam momen-momen sederhana yang, dulunya, sering kita abaikan. Makanya ada slogan “Bahagia itu sederhana” dan “Jangan lupa bahagia”. Ironisnya, di zaman kita ini—dimana semua serba ada dan dunia dalam keadaan relatif nyaman—manusia tetap saja tidak berbahagia. Ternyata bahagia tidak sesederhana itu.

Jika demikian, apakah “Ucapan Bahagia” yang ada di Alkitab tidak berlaku
di zaman serba instan ini?

Matius 5:3 adalah kalimat pengajaran (discourse) pertama Yesus dalam Injil Matius, dan Dia memulainya dengan kata, “Berbahagialah.” Dalam bahasa Ibrani, kata ini disebut “ashrei”, yang sering digunakan dalam doa-doa orang Yahudi dan diulang berkali-kali dalam kitab Mazmur. Dalam Perjanjian Lama—yang melatarbelakangi masyarakat pada zaman Yesus—istilah “kebahagiaan” bukan berupa momen-momen sederhana bersama orang-orang terkasih, bukan pula kesuksesan, kekayaan, atau pengakuan dari orang lain. Bagi mereka, kebahagiaan adalah pemberian Allah kepada orang-orang yang dianggap berkenan kepada-Nya.

Inilah yang dibicarakan Yesus dalam khotbah pertama-Nya di bukit saat itu. Dia menjawab kebutuhan manusia—yang mencari kebahagiaan seumur hidup mereka. Yang tidak kalah menariknya adalah bagaimana Dia berbicara kepada para pendengar-Nya. Saya ingin mengajak Pearlians memperhatikan hal-hal ini.

// OTORITAS YESUS
Sebelum memperhatikan kata-kata-Nya, kita perlu memperhatikan Siapa yang berkata-kata. Siapakah Yesus? Bagaimana pendengar-Nya saat itu akan merespon Dia? Orang Yahudi memegang teguh Tanakh (Perjanjian Lama) sebagai kitab suci mereka, dan Yesus memakai kata-kata yang sama dengan Mazmur—salah satu kitab yang paling familiar dalam Perjanjian Lama.

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik,
yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh.
(Mazmur 1:1)

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
(Matius 5:3)

Dengan menggunakan kata-kata yang sama, Yesus menyetarakan kata-kata-Nya sendiri dengan yang Allah berikan dalam Perjanjian Lama. Kalimat Yesus bukan anjuran atau nasehat semata; Dia berbicara dengan otoritas yang sama dengan Firman Allah.

Tidak berhenti di situ, Dia juga membuat pernyataan yang tidak kalah berani dengan berkali-kali berkata, “Kamu telah mendengar firman: (isi Perjanjian Lama), tetapi Aku berkata kepadamu: (kata-kata-Nya sendiri).” Dengan demikian Dia “memaksa” para pendengar-Nya untuk tidak hanya memeriksa perbuatan mereka, tapi juga sampai kedalaman hati mereka—sesuai firman Tuhan: “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.” (Amsal 16:2).

Yesus juga pertama kali memperkenalkan Allah sebagai “Bapa” dalam Matius 5:16, sekaligus mendobrak hubungan manusia dengan Allah yang selama ini diwarnai ketakutan dan keterasingan. Dia mengajar murid-murid-Nya untuk berdoa (seperti yang dilakukan rabi-rabi lain bagi para murid mereka), tetapi membuka doa-Nya dengan kata “Bapa”. Akhirnya, seluruh rangkaian khotbah Yesus dalam Matius 5-7 ditutup dengan pernyataan Yesus bahwa orang yang percaya dan mendengarkan kata-kata-Nya adalah orang yang bijaksana yang mengambil keputusan yang benar dalam hidupnya.

Setelah mendengarkan semua yang Yesus katakan, tidak heran jika timbul kontroversi mengenai diri-Nya. Markus mencatat: “Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat” (Markus 1:22).

// PARADOKS KEBAHAGIAAN
Setelah melihat bagaimana Yesus menegaskan bahwa kata-kata-Nya setara dengan Firman Allah sendiri, mari kita lihat isi pengajaran-Nya. Ketika kita mendengar, “Berbahagialah orang yang …”, mungkin kita akan melanjutkan kalimat tersebut dengan, “Kaya!” atau “Sukses,” atau mungkin juga, “Menemukan cinta sejatinya.” Tetapi Yesus memulai khotbahnya tentang kebahagiaan dengan berkata,

“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”
(Matius 5:3)

Kata “miskin” bukan hanya berarti kekurangan uang untuk bayar cicilan, ya. Yang dimaksud adalah orang yang benar-benar tidak punya apa-apa, keadaannya memprihatinkan, bahkan mengemis meminta belas kasihan orang lain. Tentu kita bertanya-tanya, “Mana mungkin orang seperti itu disebut berbahagia!?” Tetapi kuncinya ada pada frase “miskin di hadapan Allah”. Artinya, dia merendahkan diri di hadapan Allah, menyadari ketidakberdayaannya, dan memohon belas kasihan Allah. Dia tidak datang kepada Allah dengan kepala tegak untuk membanggakan kebaikannya, tetapi dengan kepala tertunduk dan pengakuan dosa. Dia merendahkan dirinya dengan tulus di hadapan Allah. Yesus berkata, hanya orang seperti inilah yang masuk dalam Kerajaan Sorga; bahkan empunya Kerajaan Sorga.

Paradoks masih berlanjut, dan Yesus (seolah-olah) membuat kita berpikir terhadap setiap pernyataan-Nya:
Bagi dunia, yang berbahagia adalah orang yang tertawa dan banyak entertainmentYesus berkata, yang berbahagia adalah yang berdukacita (yaitu, menyesali diri dan dosanya di hadapan Allah).
Bagi dunia, yang berbahagia adalah penguasa, yang bisa semena-mena terhadap orang yang di bawahnya. Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang lemah lembut, yang memakai kuasanya untuk melayani, bukan menindas. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang benar sendiri dan tidak pernah salah.
Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang haus dan lapar akan kebenaran; bukan kebenaran diri, tapi kebenaran Allah. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang memperkaya diri sendiri.
Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang murah hati. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang hidup semaunya sendiri.
Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang suci hatinya. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang membela diri.
Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang membawa damai. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang cari aman dan menghindari masalah.
Yesus berkata, berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran. 
Tidak ada manusia yang berpikir bahwa dihina, dianiaya, dan difitnah adalah hal yang membahagiakan. Namun Yesus berkata, bila kita menanggung itu semua untuk Dia, maka kita berbahagia.
Yesus bukan sedang sok hipster atau anti-mainstream. Dia sedang menekankan bahwa konsep dunia tentang kebahagiaan itu keliru dan menyesatkan. Semua yang dianggap bisa memberi kebahagiaan, hanya akan menimbulkan kekosongan yang lebih besar. Selain itu, lewat khotbah Yesus, kita melihat bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa lepas dari Allah, karena Allahlah sumber kebahagiaan. Di dunia di mana manusia berpusat pada diri mereka sendiri, Yesus mengingatkan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah, dan hanya akan berbahagia bila kita berpaling kembali kepada-Nya.

// MENDAPAT BAHAGIA
Ada orang-orang yang menganggap Yesus adalah guru agama dan etika yang luar biasa, karena mengajarkan berbagai hal yang sangat indah dan baik. Padahal sebenarnya, pandangan seperti ini menyesatkan. Yesus bukan guru moral dan kata-kata-Nya bukan untuk dikagumi. Yesus adalah Tuhan, dan kata-kata-Nya adalah untuk ditaati. Rasul Yakobus menyamakan orang yang mendengar firman Tuhan tapi tidak melakukannya seperti orang yang berkaca di depan cermin dan melihat penampilannya yang berantakan, lalu pergi tanpa berbuat apa-apa (Yakobus 1:23-24). Bukan itu yang Tuhan Yesus mau. Dia mau kita mengalami kebahagiaan itu, dan satu-satunya cara untuk berbahagia adalah dengan percaya dan menaati-Nya.

Setelah mendengar firman Tuhan, kita harus mengambil keputusan: menerima-Nya dan kebahagiaan yang Ia janjikan, atau bersikeras melanjutkan pencarian kita akan kebahagiaan tanpa mendekat kepada Sumbernya, yaitu Allah sendiri.

~

Happy New Year!
and we wish you true-eternal happiness.