Be nice.
Never disagree.
Support everyone.
Never offend anyone.
Never disagree.
Support everyone.
Never offend anyone.
Akhir-akhir ini, itulah impresi yang
saya dapat dari banyak orang yang merasa diri toleran, suportif terhadap
golongan masyarakat marginal (semakin marginal dan minoritas, semakin baik), open-minded, dan berpendidikan tinggi.
“Bukankah Kristus mengajarkan kasih?” begitu kata mereka. Bagi mereka, tidak
setuju dengan mereka = haters, bigot,
fanatik, evolusi belum sempurna, tidak berpendidikan, medieval mindset, dan seterusnya.
Tentu saya penasaran apa yang
dipikirkan orang-orang itu ketika mereka mendengar “Kristus” atau “ajaran
Kristus”, dan apa definisi mereka tentang “kasih”. Dunia mengenal kasih sebatas
tindakan yang membuat orang lain merasa nyaman. Yesus menekankan bahwa kasih
itu berpasangan dengan kebenaran. Orang
Kristen percaya bahwa firman Tuhan, yang digenapi oleh Yesus Kristus, adalah
kebenaran. Dengan kata lain, kasih
menjaga orang yang dikasihi agar tetap hidup dalam jalan kebenaran, yaitu
koridor firman Tuhan. Inilah yang tidak dikenal dunia.
Kita punya standar ganda dalam hal being nice ini. Kepada orang yang tidak
benar-benar kita pedulikan, kita nice.
Mungkin malah super nice. Mereka mau
hidup seperti apapun, secara teori, kita bisa mendukung. Hey, your life, your style—kira-kira begitulah. Kalau ada orang
yang rakus makan, kita paling berkata, “Yah, itu pilihan hidup dia, mau gimana
lagi.” Tapi seandainya yang makan dengan barbar seperti itu adalah pacar saya,
saya tidak akan tenang-tenang aja. Saya akan marah-marah dan melarang dia makan
makanan yang menyebabkan penyakit!
Jujurlah, kepada orang yang
benar-benar kita kasihi, we just can’t be
nice all the time. Being nice to everyone all the time means you love no one.
Kenapa? Karena kasih yang sejati itu tidak tahan melihat orang yang dikasihi
melakukan hal yang salah.
Inilah yang Yesus lakukan. Kalau
kita yang manusia biasa dan banyak kekuranganpun tidak tahan melihat orang yang
kita kasihi berbuat salah, betapa lebih lagi Tuhan yang kudus, tidak tahan
melihat orang yang Dia kasihi hidup dalam dosa. Dan karena itulah, sebagaimana
yang dicatat para penulis Injil, Jesus
was not always nice.
Di dalam Perjanjian Lama, Allah
mengutus para nabi untuk menegur orang-orang Israel, terutama para pemimpin
mereka, supaya mereka bertobat. Bahasa yang digunakan para nabi itu keras.
Namanya juga teguran, mana ada teguran yang nice.
Begitu masuk Perjanjian Baru, Yesus lebih keras lagi! Dia tidak berkata,
“Demikianlah firman Tuhan,” seperti kata para nabi, tetapi Dia berkata dengan
otoritas-Nya sendiri:
“Hai orang-orang munafik!”
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik!”
“Hai kamu orang-orang bodoh dan
orang-orang buta!”
“Hai kamu orang bodoh, betapa
lambannya hatimu!”
Dan seterusnya, berkali-kali Yesus
menyebut orang “munafik” dan “bodoh”. That’s
not nice. Kenapa Dia begitu keras, bahkan kasar? Justru itu karena kasih. Mungkin selama ini kita ikut-ikutan benci
pada orang Farisi dan ahli Taurat, mengambil peran Tuhan buat memarahi mereka tanpa
berkaca pada diri kita sendiri. Tapi ketahuilah bahwa marahnya Tuhan terhadap
golongan alim ulama ini bukan karena benci, melainkan karena kasih. Bukankah
Paulus, salah satu murid terbaik Yesus, adalah orang Farisi?
Ketika orang yang kita kasihi
berbuat salah, mencelakakan diri mereka sendiri, hidup dalam dosa, you better NOT be nice. Amsal dengan
terus terang berkata, “Seorang sahabat memukul dengan maksud baik, tetapi
seorang musuh mencium secara berlimpah-limpah.” Kita justru harus hati-hati
pada mereka yang terus-menerus setuju dengan apapun yang kita lakukan. Membiarkan
orang lain tetap dengan gaya hidup mereka yang berdosa itu bukan kasih! Kasih itu tidak
toleran terhadap dosa.
Terakhir,
mari kita pikirkan. Seandainya Yesus itu super
nice, tentulah Dia tidak disalib. Dia disalib karena Dia terang-terangan
menegur orang yang bersalah—dan kita tahu, tidak ada orang yang suka ditegur.
Dia tahu bahwa konsekuensi dari mengasihi adalah dibenci oleh orang yang dikasihi. Tapi bila kita menyebut Dia Tuhan
dan Guru, maka kita memposisikan diri sebagai pengikut-Nya, yang mengikuti cara
hidup-Nya. True love is not always nice,
because it insists that the beloved is living in righteousness.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^