by Mekar Andaryani Pradipta
“Lalu
berserulah Yesus dengan suara nyaring dan menyerahkan nyawa-Nya.
Ketika itu tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah.”
(Markus 15:37-38)
(Markus 15:37-38)
Jika
kita belajar dari Perjanjian Lama, Bait Suci dibagi menjadi beberapa
bagian: Pelataran, Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus. Tabir yang
disebutkan oleh Markus adalah batas antara Ruang Kudus dan Ruang Maha
Kudus. Pada masa itu, yang boleh masuk ke dalam tempat Kudus hanyalah
Imam. Sementara itu, jemaat Israel hanya boleh masuk di pelataran
Bait Suci. Imamlah yang menjadi perantara antara mereka dengan Allah.
Kita bisa melihat, dalam hubungan antara Allah dan manusia ada sebuah
jarak. Jarak itu disebabkan karena dosa.
Dosa
merusak hubungan antara manusia dengan Allah. Karena dosa, Allah
tidak dapat didekati oleh manusia. Namun, syukur kepada Allah, Dia
terlebih rindu untuk memulihkan hubungan itu. Allah menghendaki
sebuah hubungan yang akrab dengan manusia, seperti hubungan antara
Bapa dan anak. Hingga Dia mengambil inisiatif untuk mendekati manusia
dengan memberikan anak-Nya yang tunggal menjadi penebusan bagi dosa
dunia. Ketika Yesus mati di kayu salib, tabir bait suci terbelah
dua, tanda bahwa hubungan antara Allah dan manusia telah dipulihkan.
Manusia punya kesempatan untuk menjadi akrab dengan Allah,
menghampiri tahta-Nya dan memiliki keintiman dengan Allah.
Hubungan
itu adalah desain Tuhan. Bahkan Ia menggunakan konteks hubungan dalam
memperkenalkan diri-Nya. Ketika gereja Ia sebut sebagai
anggota-anggota keluarga Allah, maka Ia adalah Bapa, Ia adalah Anak –
yang sulung dari anak-anak-Nya, Ia adalah Guru, Ia adalah Sahabat.
Kristus mati di kayu salib agar kita bisa didamaikan dengan Allah dan
menyebut Allah sebagai Bapa. Kalau Allah hanya memikirkan ritual, Dia
tidak akan memberikan Kristus. Kitab Taurat Musa sudah lebih dari
cukup dalam memberikan peraturan-peraturan agamawi. Itulah mengapa
sering dikatakan bahwa kekristenan bukan soal agama, kekristenan
adalah soal hubungan.
Tidak
hanya memiliki hubungan dengan Allah, manusia juga diciptakan untuk
menjalin hubungan satu sama lain. Dalam Kejadian 2:18, Allah
memandang bahwa tidak baik kalau manusia hidup seorang diri. Apabila
ayat ini diterapkan dalam konteks luas, ayat ini menunjukkan bahwa
Allah menghendaki manusia untuk tidak menutup diri dari sesamanya.
Hidup dalam hubungan adalah blueprint
Allah untuk manusia. Namun, dosa juga merusak
hubungan antar manusia karena dosa membuat kita melakukan apa yang
jahat. Dosa membuat kita tidak mampu mengasihi dengan seharusnya
sehingga mendorong timbulnya konflik. Sejarah manusia menggambarkan
hal ini dengan jelas. Suami istri yang saling menyalahkan seperti
Adam dan Hawa, pembunuhan antar saudara seperti Kain terhadap Habel,
anak yang tidak menghormati orang tuanya seperti Absalom terhadap
Daud, dan masih banyak contoh-contoh lain sepanjang Alkitab.
Kabar
baiknya adalah, pemulihan hubungan dengan Allah melalui Kristus Yesus
memungkinkan kita memperoleh hubungan yang pulih dengan sesama.
Bahkan, memiliki hubungan baik dengan sesama adalah bagian yang tidak
terpisahkan dengan hubungan dengan Allah. Itulah mengapa hukum yang
terutama terbagi dalam 2 (dua) bagian: kasih kepada Allah dan kasih
kepada sesama.
Lalu
kadang kita mengajukan pertanyaan yang sama seperti ahli Taurat,
siapakah sesama kita? Jawabannya ada dalam perumpaan yang diceritakan
Kristus tentang orang Samaria. Dari perumpamaan ini kita juga bisa
belajar bahwa sesama kita adalah siapapun yang Tuhan taruh di dalam
jalan hidup kita, seperti Allah menempatkan korban perampok itu di
jalan orang Samaria. Bermula dari keluarga biologis, keluarga rohani,
sampai dengan orang asing yang kita temui di jalan. Kita tidak
seharusnya membatasi atau membangun tembok dengan siapa kita
sebaiknya menjalin hubungan. Jika
kita melihat kehidupan Kristus, Dia menjalin persahabatan dengan
orang-orang dari berbagai kalangan, termasuk dengan mereka yang tidak
masuk hitungan: wanita Samaria, pemungut cukai dan kumpulan orang
berdosa lainnya. Bagi Kristus, menjalin hubungan adalah salah satu
prioritas pelayanan-Nya di dunia.
Jika
kita mau mengamati, apa yang kelihatan adalah ekspresi dari apa yang
tidak kelihatan. Yesus mengajar bahwa kualitas sebuah pohon dilihat
dari buahnya. Kualitas buah menunjukkan kinerja akar yang tersembunyi
di dalam tanah. Kita juga diajar bahwa kualitas hati manusia bisa
dilihat dari perkataan, karena apa yang keluar dari mulut berasal
dari dalam hati. Demikian juga dengan hubungan, hubungan kita dengan
sesama adalah ekspresi hubungan kita dengan Allah.
“Jikalau
seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci
saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak
mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah,
yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia:
Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya”
(1Yoh 4:20-21)
(1Yoh 4:20-21)
Kita
tidak bisa mengasihi Allah tanpa mengasihi manusia. Kita juga tidak
bisa mengatakan kita melayani Allah jika kita tidak melayani mereka
yang ada di sekitar kita. Hubungan dengan Allah dan hubungan dengan
sesama adalah satu paket. Jika kita tidak sedang mengerjakan kedua
hal itu, Firman Tuhan mengatakan kita sedang berjalan dalam sebuah
kebohongan. Setiap hubungan yang Tuhan taruh dalam hidup kita, dengan
keluarga, sahabat, atau orang asing sekalipun, merupakan sarana untuk
menjalin hubungan dengan Allah dalam bentuk yang nyata.
Selain
itu, hubungan juga menjadi alat Kristus agar kita dapat saling
menolong untuk dapat mencapai keserupaan dengan Allah. Seperti
dikatakan dalam Firman, besi menajamkan besi dan manusia menajamkan
sesamanya (Amsal 27:17). Pertumbuhan rohani tidak dapat dicapai dalam
pengasingan diri dan kesendirian, melainkan dalam kehidupan bersama.
Hubungan kita dengan orang lain menunjukkan kualitas manusia rohani
kita. Jika kita masih hidup dalam perselisihan, itu berarti kita
masih hidup sebagai manusia duniawi (I Korintus 3:3).
Sejak
semula, hukum Allah mengatur dua relasi, relasi dengan Allah dan
relasi dengan manusia. Firman
Allah banyak memberi panduan bagaimana kita hendaknya menjalin
hubungan. Pada prinsipnya, Allah menghendaki kita melakukan apa yang
baik bagi semua orang (Roma 12:17). Masalahnya adalah, selama kita
masih hidup di dunia dalam tubuh daging kita, tidak ada hubungan yang
sempurna dan berjalan lancar selamanya. Namun, ada satu hal yang
mampu membuat sebuah hubungan menjadi erat bagaikan tanpa cela.
“Dan
di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang
mempersatukan dan menyempurnakan.”
(Kolose 3:14)
(Kolose 3:14)
Kasih
memungkinkan kita memiliki hubungan yang everlasting.
Ketika hubungan retak karena kemarahan, kasih menolong kita
mengampuni. Ketika hubungan menjadi sulit, kasih menolong kita untuk
sabar. Ketika hubungan dipenuhi pengkhianatan, kasih menolong kita
untuk tidak menyimpan kesalahan. Kasih menjaga sebuah hubungan. Kasih
mengikat hubungan yang berjarak dan menyempurnakan hubungan yang
bercela. Kasih menutupi banyak sekali dosa (I Petrus 4:8).
Kita
yang telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, telah
memiliki hubungan yang pulih dengan Allah. Sebagai ciptaan yang baru,
kita diberi kesanggupan untuk melakukan kehendak Allah dalam
kaitannya dengan sesama kita. Sebab, dosa telah kehilangan kuasanya
di dalam kita dan Roh Kudus mengerjakan baik kemauan maupun
kesanggupan untuk melakukan kehendak Allah. Pendamaian dengan Allah
telah memulihkan kesanggupan kita untuk mengasihi, bahkan kasih
sendiri merupakan tanda hidup baru di dalam Kristus.
Allah
telah memberikan keteladanan mengenai hubungan. Tugas kita adalah
membuat follow up dengan
melakukan hal yang sama. Kita mengasihi karena Allah terlebih dahulu
mengasihi kita (I Yohanes 4:19). Kita mengampuni, karena Allah juga
telah berbuat demikian (Kolose 3:14). Kristus telah menyerahkan
nyawa-Nya bagi kita, sehingga kitapun wajib berbuat demikian (I
Yohanes 3:16) Kita dipanggil untuk meneladani Dia dan menjadi serupa
dengan-Nya. Kemerdekaan yang kita dapat di dalam Kristus adalah awal
yang harus digunakan sebagai kesempatan untuk dapat melayani satu
sama lain oleh kasih. Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu
firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri!” (Galatia 5:14)
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^