by Glory Ekasari
Pernahkah pembaca bertemu orang-orang
yang berkata seperti ini:
“Saya memang jarang ke gereja, tapi
Tuhan ada dalam hati saya.”
“Ya saya memang tidak terlalu
religius, tapi saya tau semua agama intinya sama, semua
mengajarkan kebaikan.”
mengajarkan kebaikan.”
“Banyak kok orang yang rajin
sembahyang tapi ternyata munafik. Saya sih tidak mau munafik
ya, saya memang tidak serajin mereka, tapi hidup saya baik-baik saja.”
ya, saya memang tidak serajin mereka, tapi hidup saya baik-baik saja.”
Ah, pasti pernah lah ya. Saya sering
mendengar orang berkata demikian. Mereka yang merasa sudah cukup tau tentang
Tuhan, walaupun tidak pernah kenalan dengan Dia. Mereka yang merasa dekat
dengan Tuhan, walaupun tidak pernah berkunjung ke rumah-Nya. Mereka yang merasa
diri tidak munafik, walaupun itu self-proclaimed.
Jadi timbul pertanyaan dalam benak
saya: Apa hak kita untuk mengaku-ngaku dekat pada Tuhan?
Dan ini bukan pertanyaan retoris, ini
pertanyaan mendesak yang perlu jawaban. Adakah standar yang objektif, yang bisa
meyakinkan orang lain dan diri kita sendiri bahwa kita benar-benar dekat dengan
Tuhan? Apakah Tuhan bilang sesuatu tentang hal ini?
Suatu ketika Tuhan Yesus mengalami
konfrontasi dengan para ahli agama di Israel. Orang-orang itu bukan sembarang
orang, mereka adalah orang-orang yang menghabiskan hidup mereka untuk
mempelajari dan mengajarkan hukum bagi orang Israel, dan mereka sendiri
menjalankan disiplin agama dengan ketat. Seandainya ada orang yang paling
rohani di Israel, tentulah asalnya dari kalangan orang-orang ini. Tetapi ketika
mereka berjumpa dengan Tuhan, Tuhan justru menegur mereka dengan tajam:
Matius 12:33-35 (TB) Jikalau suatu
pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan
tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.
Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal
yang baik, sedangkan kamu sendiri jahat? Karena yang diucapkan mulut meluap
dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari
perbendaharaannya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang
jahat dari perbendaharaannya yang jahat.
Dari mana seseorang bisa dikatakan
baik atau tidak baik? Bukan dari gayanya, atau atributnya, atau kosakata
rohaninya, tetapi dari perbuatannya. Ini jelas sekali. Anak kecil pun
tau.
Masalahnya, para ahli agama yang
harusnya adalah golongan paling rohani sejagad raya, justru ditegur dengan
pedas oleh Tuhan, yang katanya mereka layani! Tidak hanya itu; mereka pun merasa bahwa mereka orang paling rohani
sejagad raya. Tapi Tuhan ternyata tidak sependapat dengan mereka. "Kalau
kalian orang baik," kira-kira begitu kata Yesus, "kata-katamu tidak
mungkin seperti itu.”
Mari pikirkan diri kita sekarang.
Akankah Tuhan berkata pada kita, "Kalau kamu benar anak-Ku, kalau kamu
pengikut-Ku, tidak mungkin perbuatanmu dan perkataanmu seperti itu"?
Bayangkan kita sudah berbangga di depan Tuhan, eh ternyata Tuhan tidak kenal
kita? Repot kan. Kalau pohonnya baik, buahnya pasti baik. Buah apa yang keluar
dari pikiran, mulut, dan perbuatan kita? Kalau yang keluar adalah hal-hal yang
busuk, apa mungkin di dalam kita ada pohon yang baik? Kalau pohonnya tidak
baik, di mana Tuhan yang harusnya ada dalam kita? Jadi ini waktunya kita cek
hidup kita agar Tuhan yang di dalam hati kita juga dilihat orang melalui
perbuatan kita.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^