Di
post kali ini, kita akan sama-sama merenungkan kehidupan Nuh. Nuh
sendiri adalah salah satu teladan iman yang namanya tertulis dalam
perikop mengenai iman di Galatia 11. Alkitab mencatatnya sebagai
seorang pria yang mendapat kasih karunia di mata Tuhan (Kejadian
6:8). Dari kehidupan Nuh, kita bisa belajar mengenai karakter/sikap
hidup yang menyenangkan Allah, yaitu:
1.
Kudus
Allah
ingin kita kudus, karena Dia adalah Allah yang kudus (I Petrus 1:16).
Cara hidup kita menentukan apakah Allah disenangkan atau tidak. Tidak
heran Efesus 5:15 memperingatkan kita untuk memperhatikan dengan
seksama bagaimana kita hidup. Hidup yang menyenangkan Allah, tentu
saja adalah hidup yang kudus sesuai standar Firman Tuhan. Sepanjang
hidupnya, Nuh telah hidup dengan standar Firman, walaupun itu berarti
dia harus menjadi ‘anomali’ di tengah masyarakat.
Pada
zaman Nuh, bumi telah rusak dan penuh dengan kekerasan (Kej 6:11).
Saking parahnya, timbul penyesalan di hati Allah sehingga Ia
berencana memusnahkan bumi dengan air bah. Kondisi masyarakat dengan
hidup yang rusak (Kej 6:12) ini berbanding terbalik dengan hidup Nuh.
Disebutkan dalam Firman Tuhan bahwa Nuh hidup di tengah masyarakat
yang kecenderungan hatinya selalu membuahkah kejahatan semata-mata
(Kej 6:5). Namun, disebutkan pula bahwa Nuh adalah seorang yang benar
dan tidak bercela di antara orang- orang sezamannya (Kej 9:1). Banyak
orang bilang, di tengah dunia yang kondisinya semakin jauh dari
standar Firman Allah, hidup kudus adalah sesuatu yang sulit
dilakukan. Tapi Nuh melakukannya.
2.
Taat
Saat
Allah memberi perintah yang tidak masuk akal, Nuh taat. Membaca kisah
hidup Nuh di Kejadian 6 sampai dengan Kejadian 9, kita tidak akan
menemukan respon negatif Nuh terhadap perintah Allah. Ia tidak
mengajukan serangkaian kata ‘tapi’ untuk memprotes rencana Allah.
Bahkan saat Allah menyuruhnya membuat bahtera, dengan detail-detail
rumit dan penuh aturan, respon Nuh cuma satu: Nuh melakukan semuanya
itu, tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya (Kej 6:22)
Kadang
kita beranggapan bahwa Allah sering menyuruh kita melakukan hal-hal
yang sulit dan tidak masuk akal. Namun, Ia sendiri menjamin bahwa
perintah yang Ia sampaikan kepada kita tidaklah terlalu sukar
(Ulangan 30:11). Taat bukanlah soal sukar atau tidak, mustahil atau
tidak. Taat adalah perkara apakah hati kita mau atau tidak. Dari Nuh,
kita bisa belajar, bahwa kita seharusnya memberikan ketaatan yang
utuh kepada Allah. Bayangkan, kalau misalnya Nuh membuat bahtera
Allah secara asal, tanpa mengikuti ukuran-ukuran yang diberikan oleh
Allah, bisa dipastikan bahtera yang ia buat tidak akan bertahan di
tengah air bah.
Kita seharusnya taat dalam segala hal dan dalam segala keadaan.
Ketaatan yang tidak seratus persen sama artinya dengan ketidaktaatan.
3.
Bergaul dengan Allah
Dalam
kejadian 6:9, Nuh disebutkan sebagai pria yang hidupnya bergaul
dengan Allah. Berbagai tuntutan kehidupan bisa saja membuat kita
sibuk setiap hari. Namun, belajar dari Nuh, kunci untuk dapat bergaul
dengan Allah adalah banyak melewatkan waktu di hadiratnya. W
aktu-waktu teduh dala m doa, pembacaan kitab suci, serta pujian dan
penyembahan seharusnya menjadi prioritas kita. Saat Nuh keluar dari
bahtera, hal pertama yang ia lakukan adalah membangun mezbah dan
mempersembahkan korban bakaran (Kej 8:20). Ia tahu bahwa ia perlu
mengawali segala sesuatu dengan datang kepada Allah.
Bergaul
dengan Allah membuat kita bisa mengenal Allah. Sekarang kita tahu
kenapa Nuh bisa memiliki iman yang demikian besar, untuk taat, sesuai
dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan (Ibr
11:7). Jawabannya cuma satu, karena Nuh mengenal siapa Allahnya. Ia
tahu bahwa Allah tidak pernah berdusta. Ia tahu bahwa Firman Allah
adalah benar. Ia tahu bahwa saat Allah memberi perintah maka Ia juga
yang akan memampukan. Pengenalan akan Allah memberi Nuh pondasi yang
kuat untuk dapat hidup benar dan taat di hadapan Allah.
***
Ketika
Nuh hidup kudus, taat dan bergaul dengan Allah, kita tidak
benar-benar tahu seperti apa respon orang-orang di sekeliling Nuh
pada saat itu. Selama ini kita bisa menganggap Nuh ditertawakan,
dianggap aneh atau bahkan dikucilkan. Tapi, Alkitab sebenarnya tidak
menyebutkan semua hal itu. Hal ini mengingatkan kita bahwa pada
akhirnya ini adalah tentang kita dan Allah.
Dunia
bisa saja tidak memberi kita alasan untuk hidup benar, tapi Allah
seharusnya jadi satu- satunya alasan kita. Dunia bisa saja
menyepelekan kita karena kebenaran yang kita hidupi, tapi pada
akhirnya ini adalah tentang pendapat Allah mengenai kita. Dan Allah
telah memberikan pendapatnya mengenai Nuh, “sebab Engkaulah yang
Kulihat benar di hadapanKu di antara orang zaman ini.” (Kej 7:1)
Saat
ini kita diperhadapkan pada dua pilihan, membangkitkan penyesalan di
hati Allah seperti orang-orang yang sejaman dengan Nuh, atau mengukir
senyum di wajah Allah seperti yang telah dilakukan oleh Nuh.
Orang-orang pada jaman Nuh lebih memilih untuk mendukakan hati Allah
dan menuai penghukuman, namun Nuh telah menghabiskan hidupnya untuk
menyenangkan hati Allah, dan karena itu ia mendapatkan kasih karunia.
Sikap hidup kita menunjukkan yang mana pilihan kita.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^