Anak adalah anugerah.
Anugerah
yang gak layak saya dapatkan. Saya manusia yang penuh kelemahan,
kekurangan, dan masalah hidup. Saya sering heran, bagaimana mungkin
Tuhan percayakan anak-Nya yang begitu berharga untuk saya asuh, didik
dan besarkan? Gimana kalo saya salah mendidik atau lalai?
Tapi
lima tahun yang lalu, Tuhan menganugerahkan seorang anak untuk kami.
Anak itu kami beri nama D. D adalah anak yang menakjubkan. Cakepnya
di atas rata-rata (huekekeke...), meskipun kelakuannya sering di
bawah rata-rata. Pergumulan dan kasih karunia yang saya dapat melalui
anak ini juga luar biasa.
Bulan-bulan
pertama mengasuh D, kami kebingungan karena D susah banget tidur.
Kalo mau tidur malem harus digendong diayun-ayun (tidur siang sih
lebih mendingan dikitlah), dibuai sambil dibawa jalan ke sana ke
mari, kadang-kadang sampe dua jam baru berhasil tidur. Kalo udah
tidur, dalam satu jam pertama gampang banget kebangun. Trus seluruh
usaha nidurin kudu diulang lagi. Stres. Kami baca buku, praktekin
tips ini
itu, kasih empeng (pacifier),
pokoke berbagai teknik dan training
dicoba, hasilnya nihil.
Waktu
D berumur dua tahun lebih, kami pindah kota, ngikut papanya D yang
back to school.
Keadaan di rantau sangat sulit buat kami, terutama buat saya. Selain
24 jam di rumah aja bareng my
strong-willed son, suami superduper
sibuk banget, di tempat baru juga gak ada temen, sanak saudara,
bahkan kenalan pun gak ada. Saya urus anak dan rumah tanpa bala
bantuan. Saat anak udah tidur, saya melek terkadang sampe subuh untuk
mengerjakan kerjaan freelance.
Saya kecapean lahir batin. Rencana saya mau kerja full-time
di luar rumah lagi gagal, buka praktik pribadi juga gak memungkinkan.
Akhirnya saya tetep kerja freelance,
sambil jadi ibu RT full-time.
Sehari-hari, orang dewasa yang bisa saya ajak ngomong selain suami
cuma tukang sayur dan tukang putu yang saban pagi dan sore lewat di
depan rumah kontrakan kami. Saya sampe tau bahwa bapak tukang putu
ternyata adalah transmigran dari kampung papa saya, dan dia juga
takjub nun jauh di sini bisa ketemu mantan tetangga, hahaha...
D
cukup sulit beradaptasi dengan tempat baru, ga ada kontak sosial lain
selain saya dan papanya. Keadaan finansial yang terbatas dan
lingkungan yang masih asing membuat kami gak punya banyak alternatif
kegiatan di luar rumah. Tambahan lagi, makanan dan cemilan yang ada
di sini beda banget sama yang ada di kampung halaman. Dengan
pantangan D yang segambreng karena alerginya, sampe puyeng saya
berusaha “memunculkan” makanan-makanan yang bisa dan biasa D
makan. Kalo saya perlu info tentang toko, bengkel, atau bahan
makanan yang saya perlukan, saya harus sabar nunggu suami nanya ke
teman-teman kuliahnya. Hal-hal kecil aja ribet deh urusannya.
Setelah
survei ke sana sini, akhirnya kami dapat gereja yang cocok. Sayang
gereja itu jauuuhhh banget dari rumah kami. Alhasil saya gak bisa
ikut beraktif-ria di komunitas gereja. Dengan ibu-ibu yang sama-sama
nganterin anaknya ke sekolah minggu, saya berusaha ngajak kenalan dan
berteman, tapi sampe hari ini gak berhasil dapet teman yang cukup
dekat yang bisa diajak ngomong lebih dari sekedar basa-basi.
Sementara
itu, makin tambah umur, perilaku D makin menantang. D sangat ogah
tunduk pada otoritas, membangkang, sengaja mengabaikan omongan kami,
atau testing,
bahasa Jawanya “njarak”. Contohnya, kalo diminta supaya berhenti
mainin sesuatu, dia justru bakal sengaja terus mainin barang itu,
karena pengen ngetes reaksi kami. Disiplin dan konsisten udah kami
terapkan, tapi gak kunjung membuahkan hasil ketaatan. Sifat impulsif
dan ngototnya makin menyulitkan buat D untuk nurut dan berperilaku
seperti yang diharapkan. Setiap kali gak sengaja makan alergen
(misalnya coklat, MSG, makanan yang mengandung pewarna atau pemanis
buatan), D jadi “error”:
berlari-lari kian kemari, gampang marah, lebih ngotot, lebih
impulsif, gak bisa fokus, gampang distracted,
ngomong terus kayak radio rusak, teriak-teriak dan lain-lain, gak
bisa tenang. Kalo udah berhasil ditenangkan, baru sebentar udah ngaco
lagi. Peristiwa jatuh, nabrak, kebentur, dan sejenisnya frekuensi dan
intensitasnya paling tinggi di saat-saat seperti ini. Membantah dan
membangkangnya juga lebih parah, bikin saya frustrasi, ikut
marah-marah, dan gak jarang ikut nangis putus asa. Saya heran sekali,
ada apa dengan D? Kok sulit sekali dijinakkan... Kami sampe frustrasi
dan kewalahan.
Sekitar
setahun yang lalu, di usia menjelang empat tahun, setelah
mengevaluasi D, seorang psikolog menyimpulkan bahwa D mempunyai
kesulitan konsentrasi yang disebut Gangguan Atensi, mungkin disertai
Hiperaktivitas [Attention Deficit
(Hyperactivity) Disorder/AD(H)D] dan
gangguan koordinasi. Dia juga gampang banget ter-overstimulasi karena
rangsangan dari lingkungan (overload
stimulus audiovisual atau terlalu
banyak orang), maupun dari diri sendiri (misalnya karena melakukan
aktivitas yang kelewat heboh).
Di
satu sisi, kesimpulan ini cukup melegakan, karena ternyata saya gak
gila atau mengada-ada, ada sebab valid
yang bikin kami begitu kewalahan dan frustrasi. Kesimpulan ini juga
sedikit mengobati luka di hati karena selama ini kami sering dapat
komentar-komentar seperti: “perilaku D
begitu karena kurang perhatian” atau
“D jadi keras karena ortunya terlalu
keras” atau “ortunya
kurang mendisiplin sih”, dan
seterusnya. Di sisi lain, denger kesimpulan ini kayak kejatuhan duren
di siang bolong, awalnya bingung gak ngerti apa yang terjadi, sesaat
kemudian rasa sakitnya mulai terasa.
Kami
segera dirujuk ke seorang dokter spesialis anak yang ahli masalah
autis, ADD/ADHD, dan sejenisnya. Baru tiga menit masuk di ruang
konsultasi, saya udah sukses jadi bulan-bulanan cercaan, karena
sebagai dokter saya dianggap lalai menangani masalah alergi dan
terlambat membawa D konsultasi. Saya coba menjelaskan kondisi kami
dan ketidakmengertian kami, tapi apa yang saya sampaikan seperti
angin lalu. Dokter itu geleng-geleng kepala mendengar istilah-istilah
awam yang saya gunakan. Minimnya pengetahuan saya tentang gangguan
ini sepertinya semakin membuktikan kelalaian saya. Keterangan saya
diputarbalikkan dicocokin dengan pengertian pribadinya sang dokter.
Saya dianggap denial dengan
“kelainan” yang diderita D. Padahal sebenernya saya justru
berusaha kasih keterangan seakurat mungkin, supaya kesimpulannya
bener-bener sesuai dengan kenyataan yang ada, gak lebih gak kurang.
Saya dicap mama yang kaku dan gak bisa berinteraksi dengan baik
dengan anak saya sendiri. Duh rasanya nano-nano: sedih, kesal, putus
asa, bingung, gemas pingin meluruskan, campur aduk. Setelah sia-sia
berusaha menjelaskan, akhirnya saya telan bulat-bulat judgement
demi judgement
itu, sambil berusaha keras menahan
airmata yang hampir jatuh, semua yang saya dengar begitu menyakitkan.
Saya jadi mempertanyakan diri saya sendiri, ibu macam apa saya ini?
Jangan-jangan bener anak saya itu korban “salah asuhan”? Kalo
memang begitu, betapa kasihannya anak saya...
Waktu
diagnosis
itu adalah salah satu masa tergelap dalam kehidupan saya sebagai ibu.
Saya kuatir memikirkan masa depan D, apa dia bisa tumbuh dan
berkembang seperti anak-anak lain? Apa aja yang harus saya lakukan
buat bantu D mengatasi kesulitannya? Bagaimana dengan sekolah dan
hidupnya, apa nanti-nanti D bakal banyak problem? Di mana kami bisa
follow up
dan terapi karena kami harus kembali ke rantau? Berapa biaya yang
dibutuhkan? Apakah ada ahli/terapis yang lebih bisa kerjasama, karena
saya pun perlu menjaga kondisi mental saya, jangan sampe setelah D
membaik malah saya yang jadi konslet dan perlu diterapi...
Kemudian
kami coba mencari pendapat lain, kami konsultasi dengan seorang
psikolog yang juga anak Tuhan. Kali ini D dinyatakan tidak mempunyai
gangguan atensi, cuma gangguan koordinasi aja. Umur 4 tahun masih
terlalu dini untuk memastikan diagnosis ADD/ADHD. Total ada tiga
orang ahli yang udah kami datangi, tiga-tiganya beda kesimpulan. Kami
jadi tambah bingung.
Akhirnya
saya dan suami bikin kesimpulan sendiri aja dah (gak tau diri banget
ya, haha...): ahli-ahli di luar sana boleh bilang anak kami A, B,
atau C, tapi kami memutuskan untuk tidak memberi label tertentu buat
D. Kami pake istilah ADHD dan gangguan koordinasi buat sekedar
memudahkan aja, supaya ngasih gambaran tentang kesulitan-kesulitannya
D. Diagnosis pastinya
kami serahkan ke tangan Bapa Surgawi.
Sejak
saat itu kami masih konsultasi ke psikolog untuk mengevaluasi
perkembangan D, di rumah kami berikan berbagai aktivitas buat melatih
koordinasi dan beberapa kesulitan D yang lain, mengatur diet D
seoptimal mungkin, menerapkan disiplin ketat untuk hal-hal tertentu
dan memberi kelonggaran buat hal-hal lain.
Masalah
disiplin jadi dilema tersendiri. Menurut psikolog, disiplin yang kami
terapkan itu gak fair
buat D, karena dia punya pola pikir yang beda, cara kerja otak yang
beda, malah ada istilahnya yaitu “disfungsi otak”. Juga karena D
belum begitu paham sebab akibat: perilaku yang buruk bakal kena
penalti (misalnya timeout
atau disetrap), perilaku yang baik bakal dapet pujian atau imbalan
(misalnya boleh beli buku yang dia suka). Tapi saya dan suami dengan
segenap hati percaya bahwa Tuhan mau kami tetap mendisiplin D.
“Didiklah orang muda menurut jalan
yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun dia tidak akan
menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6).
James Dobson menulis di buku The
Strong-Willed Child, bahwa anak-anak
berkebutuhan khusus (ABK) pun perlu didisiplin. Justru mereka LEBIH
perlu disiplin, batasan memberikan rasa aman buat mereka, begitu
katanya. Tapi orangtua perlu tau standar yang tepat untuk
mendisiplin, sekaligus perlu lebih toleran dan nrimo bahwa standar
itu mungkin bisa jarang kesampean.
ABK
jelas lebih susah di-training
atau didisiplin. Maka dari itu orangtua harus lebih toleran:
sering kali anak gak bisa nurut
sesuai standar, misalnya kalo lagi “error”.
Saat seorang ABK lagi “error”,
dia gak bisa mempertanggungjawabkan perilakunya. Saat D lagi “off”,
seharusnya saya gak boleh hukum kesalahannya. Tapi, saya dan suami
sepakat bahwa meskipun lagi “error”
waktu bikin salah, D tetap perlu minta maaf dan kalo kesalahannya
besar, dia tetap dapat penalti. Karena kita hidup di dunia yang
jahat, yang gak punya toleransi dan belas kasihan, bahkan buat
anak-anak berkebutuhan khusus. Maka dari itu kami pengen agar D,
pelan-pelan sesuai umurnya, belajar life
skills yang dia perlukan supaya kelak
bisa survive
menghadapi dunia yang jahat ini, punya kemampuan buat menghadapi
kecaman, judgement,
ketidakadilan, dan lain lain.
Menurut
suami saya, yang juga punya beberapa kesulitan seperti D di masa
kecilnya dulu, D tetap perlu belajar mengendalikan diri dan
menenangkan diri di saat gangguannya muncul. Ini proses yang
paaaanjaang, tapi kami percaya bahwa dengan
keistimewaan yang Tuhan kasih buat D, Dia
juga tentu melengkapi D dengan kemampuan
buat me-manage-nya.
Gak putus-putusnya kami berdoa, memohon supaya D
diberi semua perlengkapan yang dia perlukan untuk
bisa survive.
Sebagai
mama, saya punya kekurangan yang saya udah berusaha keras untuk
perbaiki, dan doa dengan sama kerasnya, tapi kok belum kunjung
berhasil. Saya orang yang emosian, gampang jengkel dan ngomong dengan
nada tinggi. Kadang saya merasa bersalah, andaikan D punya mama yang
lebih sabar, mungkin lebih baik buat dia. Tapi yah, memang saya udah
begini modelnya, mau gimana lagi? Saya memutuskan untuk berdamai aja
dengan kekurangan ini, dan berusaha terus memperbaiki. Kalo menurut
Tuhan D perlu mama yang lebih sabar, mungkin dia udah kasih mama yang
lebih sabar atau ciptakan saya sebagai orang yang sabar dan lemah
lembut ya. Sementara itu belom terjadi, mungkin D lebih butuh mama
yang sama strong willed-nya
:) Saya yakin Tuhan gak pernah salah, D anak yang terbaik buat kami
dan kami orangtua terbaik buat D. Rencana-Nya indah.
Bagaimana
caranya saya mengalami peace
atau damai sejahtera di tengah segala pergumulan dan sukacita
membesarkan D? Ada beberapa hal yang saya lakukan:
- Saya pegang teguh janji yang Tuhan berikan buat saya di Mazmur 125:5-6, “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.” Biarpun dengan berurai airmata, kami harus terus berjalan maju sambil terus menabur, meskipun hasilnya gak kelihatan.
- Kasih karunia Tuhan selalu cukup. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” 2 Korintus 12:9a. Memang benar, dalam segala tantangan dan keterbatasan, justru kami belajar untuk semakin mengandalkan kuasa Tuhan dan bukan kemampuan kami sendiri. Kami makin sadar betapa segala yang baik dan segala kemudahan semata adalah kemurahan Tuhan, bukan karena kekuatan dan kehebatan kami.
Saya
yakin di depan sana masih akan ada bad
days dan good
days. Masih bakal ketemu peristiwa dan
orang-orang yang menyusahkan maupun menyukakan. Tapi kami gak mau
galau. Kasih karunia-Nya cukup. “Damai
sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan
pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Filipi 4:7.
Begitulah.
Kadang rasanya kami jalani hari-hari dengan lumayan OK,
kadang kami gak begitu OK,
kadang sangat-sangat ngga OK.
Ada good days
dan bad days.
Demikian juga kemajuannya D. Kadang-kadang rasanya kami bisa liat
hasil dari sekian lama berdoa dan berjerih lelah mengusahakan yang
terbaik buat D. Ada hari-hari di mana saya berbesar hati dan liat D
kayanya gak jauh beda dengan anak-anak seumurannya. Di hari-hari yang
kurang bagus dan yang sangat tidak bagus, gak banyak yang bisa kami
lakukan selain bertekun dan berdoa, sambil menanti-nantikan
pertolongan Tuhan.
Together, we shall
overcome.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^