Dalam kehidupan sehari-hari, setiap kali kita menerima
sebuah pemberian maka kita akan terbiasa mengucapkan terima kasih. Itu hal yang normal, bukan? Rasanya, tidak ada yang
istimewa saat kita mengatakan kata terima
kasih, meski kita semua tahu bahwa kata terima
kasih adalah sebuah respon yang positif dan penuh makna saat kita menerima
sesuatu. Suatu hari, saya memikirkan sedikit lebih dalam tentang makna dari
mengucapkan kata terima kasih. Di
tengah perenungan saya, saya pun berpikir, mengapa setiap saya menerima sebuah
pemberian dalam bentuk barang, saya akan langsung mengatakan dua kata itu. Dan
saat diingat-ingat lagi, ternyata kata terima
kasih itu tidak hanya meluncur saat saya menerima sebuah barang. Kata terima kasih pun kerap terdengar di
telinga, saat saya menerima perlakuan yang baik dari orang-orang di sekitar
saya.
Ungkapan kata terima
kasih memang telah menjadi sebuah bentuk sopan santun. Lihat saja, sejak
masih kecil kita pasti sudah dibiasakan oleh orang tua untuk mengatakan terima
kasih saat menerima sesuatu.Namun lebih dari sebuah tutur kata yang sopan, terima kasih seolah menyimpan pesan
sederhana yang mengingatkan saya untuk memberikan apa yang sudah saya terima.
Kata terima kasih ini terdiri dari
dua kata, yaitu terima dan kasih. Kata ‘terima’ diartikan sebagai
menerima atau mendapat, sedangkan kata ‘kasih’ dapat diartikan dengan memberi
atau berbagi. Dengan kata lain, mengucapkan ‘terima kasih’ telah memposisikan
diri kita sebagai seorang penerima dan setelah itu sebagai seorang pemberi.
Dari sanalah, saya belajar bahwa menerima dan memberi adalah dua hal yang
saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Tidak seperti tebak-tebakan duluan mana antara ayam
atau telur, dalam hal menerima dan memberi, saya menemukan sebuah pola yang
pasti dimana kita tidak akan pernah bisa memberi kalau kita tidak menerima
terlebih dahulu. Dalam 1 Yohanes 4:19
dikatakan, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.”
Dengan kata lain, kita akan mulai bisa mengasihi saat kita membiarkan Allah
mengasihi kita terlebih dahulu. Saat kita menerima kasihNya secara penuh, maka kita akan dengan
mudah mengasihi. Mengasihi atau kasih adalah dasar dari kehidupan orang percaya
dan mengasihi adalah sebuah hal yang dianggap penting oleh Allah, bahkan
disebut sebagai yang terutama. Di dalam Matius 22: 33-40, Yesus mengatakan,
“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan
dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan
hukum, yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat
dan kitab para nabi.”
Mengenai keterkaitan antara mengasihi dan memberi, sebuah
pepatah bijak mengatakan,you can give
without loving, but you can’t love without giving.Bicara mengenai kasih,
kita memang tidak bisa memisahkannya dari memberi. Saat seseorang mengatakan
kalau ia mengasihi namun tidak memberi, maka apa yang ia katakan tidak akan terasa
nyata. Di dalam mengasihi seseorang, kita pasti akan memberi. 1 Yohanes 3:17, “Barangsiapa mempunyai
harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan, tetapi menutup pintu
hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap di dalam
dirinya?”
Dari prinsip dua hukum kasih tadi, tak jarang kita pun
menjumpai orang-orang yang mengatakan “love God, love people”. Tidak ada yang
salah memang dengan mengasihi Tuhan dan sesama. Keduanya adalah hal yang benar.
Namun sadar atau tidak, banyak orang yang ingin berlomba-lomba untuk memberi
kasihnya kepada Allah dan juga sesama, tanpa tahu bahwa mereka seharusnya
menerima dari Allah terlebih dahulu. Mengapa
kita perlu menerima sebelum memberi? Karena saat kita menerima dari
Sumbernya, yaitu Allah sendiri maka kita akan selalu dalam keadaaan “penuh” untuk siap berbagi. Jangan
sampai kita terjebak dalam situasi sibuk berbagi, tanpa punya waktu untuk
menerima. Cepat atau lambat, kita pasti akan merasa exhausted (kehabisan tenaga). Dan tahukah Anda siapa yang senang
saat kita merasa exhausted? Sudah
pasti pihak musuh alias Iblis. Bapa di Surga tidak menginginkan kita exhausted atau kehabisan tenaga, karena
Ia tahu saat kita kehabisan, kita tidak akan bisa berbagi. Ia ingin kita,
anak-anakNya, selalu dalam keadaan penuh, karena saat kita penuh, itu artinya
kita dalam keadaan yang maksimal untuk bisa berbagi dan juga memberi.
Memberi adalah sebuah bukti dari tindakan kita
mengasihi. Tapi ingatlah bahwa kemampuan
untuk kita berbagi, peduli, atau memberi kepada orang lain ditentukan dari
seberapa “banyak” yang kita terima dari Bapa. Semakin banyak kita menerima dan
mengecap kebaikanNya, maka kita pun tak akan tahan menyimpan kebaikan yang kita
telah terima seorang diri. Saat kita menerima dari Dia, secara otomatis,
keinginan untuk berbagi dan peduli kepada orang lain akan datang dengan
sendirinya. 1 Yohanes 3:14, “Kita tahu
sekarang bahwa kita sudah berpindah dari maut ke dalam hidup, yaitu karena kita
mengasihi saudara kita.”
Kita tidak akan pernah bisa maksimal dalam hal memberi
jika kita hanya mengandalkan kekuatan atau kemampuan kita sendiri. Sebagai orang percaya, Yesus telah menjadi
teladan kita dalam hal memberi. Mengapa saya bilang begitu? karena saat kita
membaca kisah-kisah di Alkitab, kita akan dengan mudah menjumpai sosok Yesus
yang adalah seorang Pemberi. Ia tidaklah tercatat sebagai sosok yang gemar
mengambil, tetapi Ia sosok yang senang untuk memberi. Oh yes! Our God loves to
give. He is a Good Giver.Yohanes 10:10, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup
dan mempunyainya di dalam segala kelimpahan.”
Kemana Yesus pergi, ia selalu memberi. Ia memberi
dirinya untuk mengajar orang banyak. Ia memberi dirinya menyembuhkan orang. Ia
memberi dirinya untuk mengusir orang yang kerasukan setan. Ia memberi dirinya
untuk membangkitkan orang mati. Bahkan yang paling luar biasa, ia memberikan
nyawanya. Tahukah Anda kalau nyawa Yesus tidak pernah diambil, tapi Ia sendiri
yang menyerahkannya? Dalam sebuah penyerahan diri total kepada Bapa, Yesus
sendirilah yang memberikan nyawanya. Yohanes
10:17,“Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk
menerimanya kembali. Dari pernyataanNya tersebut, saya belajar bahwa Yesus
tak pernah ketakutan untuk memberi, karena Ia tahu betul bahwa dengan memberi Ia
justru akan menerima dan bukannya malah kehilangan. Ia yakin bahwa saat Ia
memberi, Ia akan kembali mendapatkannya. Matius
10:39, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya dan
barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”
Kita perlu tahu bahwa dasar saat kita mengasihi dan
peduli kepada orang lain adalah karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi
dan peduli kepada kita. Dari sinilah, setiap bentuk kepedulian dalam bentuk
kasih yang nyata akan mengalir dari diri kita dan dengan sendirinya kehadiran
kita akan menjadi berkat untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. We are
blessed to be a blessings!
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^