Tuesday, June 28, 2016

Terima (lalu) Kasih

by Ladhriska Ilhamudin

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap kali kita menerima sebuah pemberian maka kita akan terbiasa mengucapkan terima kasih. Itu hal yang normal, bukan? Rasanya, tidak ada yang istimewa saat kita mengatakan kata terima kasih, meski kita semua tahu bahwa kata terima kasih adalah sebuah respon yang positif dan penuh makna saat kita menerima sesuatu. Suatu hari, saya memikirkan sedikit lebih dalam tentang makna dari mengucapkan kata terima kasih. Di tengah perenungan saya, saya pun berpikir, mengapa setiap saya menerima sebuah pemberian dalam bentuk barang, saya akan langsung mengatakan dua kata itu. Dan saat diingat-ingat lagi, ternyata kata terima kasih itu tidak hanya meluncur saat saya menerima sebuah barang. Kata terima kasih pun kerap terdengar di telinga, saat saya menerima perlakuan yang baik dari orang-orang di sekitar saya.

Ungkapan kata terima kasih memang telah menjadi sebuah bentuk sopan santun. Lihat saja, sejak masih kecil kita pasti sudah dibiasakan oleh orang tua untuk mengatakan terima kasih saat menerima sesuatu.Namun lebih dari sebuah tutur kata yang sopan, terima kasih seolah menyimpan pesan sederhana yang mengingatkan saya untuk memberikan apa yang sudah saya terima. Kata terima kasih ini terdiri dari dua kata, yaitu terima dan kasih. Kata ‘terima’ diartikan sebagai menerima atau mendapat, sedangkan kata ‘kasih’ dapat diartikan dengan memberi atau berbagi. Dengan kata lain, mengucapkan ‘terima kasih’ telah memposisikan diri kita sebagai seorang penerima dan setelah itu sebagai seorang pemberi. Dari sanalah, saya belajar bahwa menerima dan memberi adalah dua hal yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Tidak seperti tebak-tebakan duluan mana antara ayam atau telur, dalam hal menerima dan memberi, saya menemukan sebuah pola yang pasti dimana kita tidak akan pernah bisa memberi kalau kita tidak menerima terlebih dahulu. Dalam 1 Yohanes 4:19 dikatakan, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Dengan kata lain, kita akan mulai bisa mengasihi saat kita membiarkan Allah mengasihi kita terlebih dahulu. Saat kita menerima  kasihNya secara penuh, maka kita akan dengan mudah mengasihi. Mengasihi atau kasih adalah dasar dari kehidupan orang percaya dan mengasihi adalah sebuah hal yang dianggap penting oleh Allah, bahkan disebut sebagai yang terutama.  Di dalam Matius 22: 33-40, Yesus mengatakan, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum, yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Mengenai keterkaitan antara mengasihi dan memberi, sebuah pepatah bijak mengatakan,you can give without loving, but you can’t love without giving.Bicara mengenai kasih, kita memang tidak bisa memisahkannya dari memberi. Saat seseorang mengatakan kalau ia mengasihi namun tidak memberi, maka apa yang ia katakan tidak akan terasa nyata. Di dalam mengasihi seseorang, kita pasti akan memberi. 1 Yohanes 3:17, “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan, tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?”

Dari prinsip dua hukum kasih tadi, tak jarang kita pun menjumpai orang-orang yang mengatakan “love God, love people”. Tidak ada yang salah memang dengan mengasihi Tuhan dan sesama. Keduanya adalah hal yang benar. Namun sadar atau tidak, banyak orang yang ingin berlomba-lomba untuk memberi kasihnya kepada Allah dan juga sesama, tanpa tahu bahwa mereka seharusnya menerima dari Allah terlebih dahulu. Mengapa kita perlu menerima sebelum memberi? Karena saat kita menerima dari Sumbernya, yaitu Allah sendiri maka kita akan selalu dalam keadaaan “penuh” untuk siap berbagi. Jangan sampai kita terjebak dalam situasi sibuk berbagi, tanpa punya waktu untuk menerima. Cepat atau lambat, kita pasti akan merasa exhausted (kehabisan tenaga). Dan tahukah Anda siapa yang senang saat kita merasa exhausted? Sudah pasti pihak musuh alias Iblis. Bapa di Surga tidak menginginkan kita exhausted atau kehabisan tenaga, karena Ia tahu saat kita kehabisan, kita tidak akan bisa berbagi. Ia ingin kita, anak-anakNya, selalu dalam keadaan penuh, karena saat kita penuh, itu artinya kita dalam keadaan yang maksimal untuk bisa berbagi dan juga memberi.

Memberi adalah sebuah bukti dari tindakan kita mengasihi. Tapi ingatlah bahwa  kemampuan untuk kita berbagi, peduli, atau memberi kepada orang lain ditentukan dari seberapa “banyak” yang kita terima dari Bapa. Semakin banyak kita menerima dan mengecap kebaikanNya, maka kita pun tak akan tahan menyimpan kebaikan yang kita telah terima seorang diri. Saat kita menerima dari Dia, secara otomatis, keinginan untuk berbagi dan peduli kepada orang lain akan datang dengan sendirinya. 1 Yohanes 3:14, “Kita tahu sekarang bahwa kita sudah berpindah dari maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita.”

Kita tidak akan pernah bisa maksimal dalam hal memberi jika kita hanya mengandalkan kekuatan atau kemampuan kita sendiri.  Sebagai orang percaya, Yesus telah menjadi teladan kita dalam hal memberi. Mengapa saya bilang begitu? karena saat kita membaca kisah-kisah di Alkitab, kita akan dengan mudah menjumpai sosok Yesus yang adalah seorang Pemberi. Ia tidaklah tercatat sebagai sosok yang gemar mengambil, tetapi Ia sosok yang senang untuk memberi. Oh yes! Our God loves to give. He is a Good Giver.Yohanes 10:10, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya di dalam segala kelimpahan.”

Kemana Yesus pergi, ia selalu memberi. Ia memberi dirinya untuk mengajar orang banyak. Ia memberi dirinya menyembuhkan orang. Ia memberi dirinya untuk mengusir orang yang kerasukan setan. Ia memberi dirinya untuk membangkitkan orang mati. Bahkan yang paling luar biasa, ia memberikan nyawanya. Tahukah Anda kalau nyawa Yesus tidak pernah diambil, tapi Ia sendiri yang menyerahkannya? Dalam sebuah penyerahan diri total kepada Bapa, Yesus sendirilah yang memberikan nyawanya. Yohanes 10:17,“Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Dari pernyataanNya tersebut, saya belajar bahwa Yesus tak pernah ketakutan untuk memberi, karena Ia tahu betul bahwa dengan memberi Ia justru akan menerima dan bukannya malah kehilangan. Ia yakin bahwa saat Ia memberi, Ia akan kembali mendapatkannya. Matius 10:39, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”

Kita perlu tahu bahwa dasar saat kita mengasihi dan peduli kepada orang lain adalah karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi dan peduli kepada kita. Dari sinilah, setiap bentuk kepedulian dalam bentuk kasih yang nyata akan mengalir dari diri kita dan dengan sendirinya kehadiran kita akan menjadi berkat untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. We are blessed to be a blessings!


No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^