Saya
mempunyai seorang teman kuliah yang jiwa sosialnya sangat tinggi. Saya nggak
habis pikir, kenapa dia mau berbagi dengan anak-anak yang tidak sebahagia anak
lainnya. Awalnya saya sempat berpikir, “Buang-buang
waktu aja”. Tapi ternyata, WOW. Dia bisa menggerakkan banyak orang untuk
berbagi lewat komunitas yang dia bentuk tahun lalu. Komunitas itu bernama
Celengan Berbagi, dan sudah tersebar di berbagai kota di Indonesia. Whoa!
Teman
saya ini non-Kristen, namun saya sangat terinspirasi oleh dirinya maupun
komunitas yang dibentuknya. Bahkan komunitas
ini didukung oleh teman-teman seangkatan saya—banyak di antara mereka
yang tergabung dalam Celengan Berbagi. Mereka telah mengadakan berbagai
kegiatan seperti menyumbang untuk berbagi nasi bungkus kepada kaum papa,
seragam anak-anak di sekolah dasar di kota-kota lain, dan gerakan mengajar di
sekolah maupun rumah ibadah mereka.
--**--
Setiap
Natal, ada pohon tanpa daun yang diletakkan di halaman gereja saya. Pohon itu
adalah pohon harapan, sebuah pohon yang di setiap rantingnya “memiliki” harapan
dari anak-anak panti asuhan maupun dari yayasan Kristen lainnya. Dengan adanya
pohon ini, diharapkan anggota jemaat mau memberikan hadiah Natal kepada
anak-anak itu. Dan tanggapan jemaat pun positif, sehingga sejak beberapa tahun
yang lalu selalu ada Pohon Harapan ini.
Setelah
berpikir cukup lama, akhirnya saya memutuskan untuk mulai mengikuti kegiatan
ini tahun lalu. Saya menyisihkan sebagain uang saku bulanan saya untuk
membelikan hadiah Natal bagi anak yang saya pilih—tentunya yang sesuai dengan
kemampuan saya hehe. Rasanya gembira sekali saat bisa memberikan sesuatu kepada
orang lain di hari yang istimewa itu :)
--**--
Apakah
memberikan sesuatu itu harus menunggu timing
yang istimewa? Hm, saya rasa tidak—walaupun saat itu saya memang memberikan
hadiah pada seorang anak panti asuhan saat hari Natal. Kita bisa memberikan apa
yang orang lain butuhkan kapanpun dia membutuhkannya, dan saat kita memang bisa
memberikannya. Kalau memang tidak bisa memberikan apapun, ya jangan memaksakan
diri—apalagi kalau untuk dianggap orang yang (sok) dermawan. Kalau pun Tuhan
meminta kita untuk memberikan apa yang orang lain butuhkan, Dia pasti akan
mencukupkan kebutuhan kita juga :)
Ingatkah
kalian tentang janda di Sarfat, yang ditemui Elisa? Janda itu hanya mempunyai
persediaan makanan terakhir bagi dirinya dan anaknya. “Setelah kami memakannya, kami akan mati”, kata janda itu saat Elisa
memintanya membuat roti dari persediaan mereka itu. Tapi Elisa berkata, “Buatlah dulu roti itu untukku, lalu buatlah
roti untukmu dan anakmu. Tuhan akan mencukupkan persediaan makananmu sampai
hujan turun lagi” (kurang lebih begitu kata-katanya). Janda itu pun
menurut, dan Tuhan pun menepati janji-Nya. The
widow and her child wouldn’t be starving anymore.
Dari
dua kegiatan yang telah saya ceritakan itu, saya belajar bahwa berbagi itu
bukan soal materi maupun soal aku-ingin-dianggap-dermawan-dan-suka-berbagi.
Tapi soal hati yang tulus dan rindu untuk berbagi dengan orang lain. Dengan
hati yang seperti itu, kita pun akan dimampukan Roh Kudus untuk berbagi,
walaupun keadaannya tidak memungkinkan :)
Lagipula,
berbagi bukan hanya soal hadiah atau barang. Berbagi pun juga bisa dalam hal
lain. Misalnya, kita mau mendengarkan orang lain yang sedang curhat ke kita
tanpa mengalihkan perhatian kita dari mereka. Kita juga bisa berbagi lewat
tenaga kita—contohnya dengan menjadi guru sekolah minggu.
Tuhan
Yesus pun telah memberikan teladan-Nya bagi kita dalam hal berbagi.
Pertanyaannya adalah... maukah kita juga melakukan hal yang sama seperti-Nya?
:) haruskah berbagi dengan terpaksa? Hm, kurasa tidak :) bagaimana denganmu?
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^