by Wellney Yara
Hello, Ladies! Sebelum aku menulis lebih lanjut, kita kenalan singkat dulu ya, biar konteks artikelnya juga lebih jelas. Namaku Yarra, sekarang lagi studi di Jerman. Mungkin sekarang kalian mikir, apa hubungannya sama artikelnya?
Nah, jadi begini… Sesuai yang bisa kalian lihat dari judul artikelnya, kali ini aku mau membahas tentang isu yang sedang cukup hot dibicarakan di Jerman, da juga seluruh dunia: pengungsi.
Isu ini tidak hanya sekedar menarik banyak perhatian dari media dan masyarakat, namun isu ini juga cukup menimbulkan kontroversi, terutama di Jerman, yang menjadi negara tujuan kebanyakan dari para pengungsi tersebut. Banyak yang pro, namun tidak kalah banyak juga yang kontra. Aku tidak akan menulis panjang lebar tentang sisi mana yang lebih baik dan sebagainya, tapi izinkan aku membagikan hal-hal yang aku pelajari saat menjadi sukarelawan di tempat penampungan pengungsi di Berlin.
1 Oktober 2015 merupakan hari yang cukup mengesankan buatku. Setelah mengalami serentetan hal-hal yang sangat “kebetulan” (salah satunya ditegur oleh khotbah dari Pdt. Steven Furtick tentang bagaimana kita juga harus membagikan kasih yang telah terlebih dahulu kita terima dari Tuhan kepada sesama kita), aku pun akhirnya membulatkan keputusan untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan bagian anak-anak di salah satu penampungan pengungsi darurat di Berlin. Aku pun menghitung hari, menunggu hari dimana aku akan pergi kesana tiba. Terus terang aku cukup deg-degan, karena ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku. “Disana entar gimana ya?”, “Anak-anaknya pada bandel-bandel ga ya? Mereka bakal denger-dengeran ga ya?”, “Lah boro-boro dengerin, mereka ngerti ga ya gue ngomong apaan?”, dan seterusnya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku dan beberapa teman-teman gereja lain berangkat kesana bersama-sama. Pertama-tama kita check-in dulu di pos keamanannnya, untuk memastikan bahwa kita benar-benar sudah terdaftar di jadwal untuk membantu pada hari itu. Selanjutnya kita ke kantor admin-nya untuk mengisi beberapa formulir, dan kemudian petugasnya pun menunjukkan ruangan kita masing-masing, dan aku pun dibawa ke ruangan anak-anak.
Sesampainya di ruangan itu, aku cuma melihat dua atau tiga anak. Kemudian aku pun berbicara ke petugas yang kelihatannya sudah cukup berpengalaman. Dia bilang anak-anak yang lain sedang bermain di luar bersama sukarelawan-sukarelawan yang bertugas di jam sebelumnya, dan mereka sebentar lagi bakal masuk ke ruangan. Dia juga menambahkan, “Kadang-kadang kalau anak-anaknya kebanyakan bisa kalang-kabut. Sekarang sih mereka masih dalam proses belajar bahasa Jerman. Tapi untuk saat ini, mereka nggak bisa bahasa Jerman. Inggris juga nggak, jadi kalau mereka nggak ngerti bahasa tubuh kamu, kamu harus coba ngomong sama mereka pake bahasa Arab atau Persia.” Habis ngomong begitu, dia ketawa. Nggak lama kemudian, giliran dia udah selesai, jadi dia beres-beres dan pulang.
Lalu, aku menghampiri satu anak kecil yang duduk sendirian. Awalnya dia sangat pemalu, tapi nggak lama kemudian, kita udah bermain telfon-telfonan, padahal bahasanya aja beda. Setelah itu, anak-anak lain kembali ke ruangan, dan tiba-tiba ruangan itu dipenuhi suara anak-anak dan mainan dimana-mana. Beberapa anak ngantri minta digendong. Begitu udah bosen main gendong-gendongan, mereka minta main puter-puteran. Daaaan begitu terus sampai akhirnya aku menolak anak yang minta putaran kedua, saking pusingnya.
Kemudian ada anak laki-laki bernama Jode yang berhasil mencuri hatiku. Dia begitu dewasa dibanding anak-anak yang lain. Bukan berarti aku tidak suka anak-anak yang bertingkah laku seperti anak-anak, tetapi Jode benar-benar berbeda. Saat anak-anak yang lain lari kesana-sini dan rebutan mainan, dia duduk dan melukis. Aku menghampiri dia dan berusaha mengajaknya berbicara, dan anak itu manis sekali. Dia pun bercerita tentang negara asalnya dan bagaimana dia dan ibunya berhasil melarikan diri ke Jerman, namun sayangnya ayahnya dan kakaknya tidak. Hatiku hancur mendengarnya.
Tanpa disadari, waktu cepat sekali berlalu. Setelah bermain-main lagi dengan anak-anak yang lain, waktunya pun tiba untuk pulang. Kita pun membersihkan ruangan tersebut, mengunci pintu, dan pulang.
Dan mungkin kalian sekarang bingung, “loh di judul tapi katanya hal-hal yang ga disukai dari pengungsi? Mana?”. Dan ini jawabannya (setidaknya sesuai pengalamanku melayani anak-anak pengungsi):
Aku mengasihi pengungsi-pengungsi itu, tetapi ada beberapa hal yang tidak kusukai dari mereka:
Aku tidak suka bagaimana mereka melalui begitu banyak kesusahan, tetapi tidak terlihat sama sekali.
Aku tidak suka bagaimana mereka tertawa begitu lepas, padahal hidup mereka sama sekali tidak mudah.
Aku tidak suka bagaimana mereka memelukku dan meminta dipeluk dengan begitu manis.
Aku tidak suka bagaimana mereka begitu tangguh.
Mengapa?
Karena semua hal tersebut membuatku merasa malu terhadap diriku sendiri.
Kalian tahu? Aku pergi ke penampungan tersebut dengan pemikiran aku yang membantu mereka, tetapi aku salah besar. Mereka yang lebih banyak membantuku pada akhirnya.
Membantuku menyadari betapa banyak berkat yang telah Tuhan percayakan. Membantuku menyadari betapa hal-hal yang aku alami tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Membantuku belajar bersyukur kepada Tuhan.
Mungkin kita terlalu sering diingatkan betapa diberkati dan beruntungnya kita, sampai-sampai sudah menjadi klise. Kita mendengarnya setiap saat - melalui khotbah yang kita dengar, lagu yang kita nyanyikan, renungan yang kita baca, dll - bahwa ada orang-orang di luar sana, yang bersedia melakukan apa saja untuk berada di posisi kita; padahal kita sendiri bersungut-sungut tentang posisi dimana kita berada. Posisi yang menurut kita kurang - kurang kaya, kurang sukses, kurang ini dan kurang itu.
Tapi coba pikirkan sejenak. Pengungsi-pengungsi ini, sebagai contohnya, harus melalui begitu banyak hal untuk tiba dimana mereka berada sekarang, dimana mereka mungkin bahkan tidak mendapatkan setengah dari apa yang kita anggap biasa. Jatah makanan yang diporsi dan terbatas, tidur sempit-sempitan dengan sesama pengungsi yang tidak mereka kenal, dan menunggu tanpa kepastian. Belum lagi perbatasan-perbatasan negara dan perjalanan panjang yang harus mereka lalui untuk bahkan tiba di negara tujuan mereka. Belum lagi ancaman-ancaman dan bahaya-bahaya yang mereka hadapi di negara asal mereka sebelum mereka melarikan diri.
Sedangkan kita berada disini, menatap sebuah layar, membaca artikel ini, dengan sesuatu untuk dipakai, perut yang kenyang, dan atap di atas kepala. Apakah kita sungguh mempunyai hak untuk bersungut-sungut kepada Tuhan?
Bila kalian belum bisa banyak membantu para pengungsi ini (walaupun aku sungguh berdoa kalian bisa), setidaknya bantulah diri kalian sendiri. Berhenti bersungut-sungut. Hitunglah berkat kalian... walaupun aku yakin sebenarnya berkat-Nya tidak dapat dihitung!
“Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.”
-Efesus 5:20
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^