Beberapa hari yang lalu ketika mengemudikan mobil dari toko ke rumah, saya terpikirkan ide aneh: Saya akan coba mengumpulkan tips berkendara di Indonesia untuk seorang teman dari luar negeri yang mampir ke sini. Apa saja tips-tips yang akan saya sampaikan? Ini contohnya.
- Asal masih ada jarak sekitar 5 cm, boleh lah menyalip. Yang penting jangan nyerempet kendaraan orang lain. :p
- Hati-hati kalau bawa mobil, jangan sampai menabrak motor/sepeda/bajaj/becak. Ingat, siapapun yang ngaco nyetirnya, dalam sebuah kecelakaan tetap kendaraan yang lebih besar yang salah (!).
- Sebisa mungkin jangan klakson kalau lewat kampung.
Saya jadi memikirkan posisi saya sendiri. Ketika saya pulang ke kota asal saya sekitar 1,5 tahun lalu, saya mengingatkan diri sendiri bahwa saya pulang untuk belajar. Saya memang sudah kuliah, sudah pinter lah, dan berwawasan karena “sudah melihat dunia” (cailah), tapi saya tidak pulang untuk jadi bos yang mengatur bagaimana orang lain harus hidup. Saya pulang untuk melayani di toko dan di gereja; dan kalau saya mau melayani dengan efektif, ada dua syarat yang sama pentingnya: saya harus tahu kebutuhan orang-orang yang saya layani, dan saya harus mengasihi mereka. Pelayanan saya akan sia-sia bila saya tidak menjawab kebutuhan orang-orang yang saya layani, dan mereka tidak akan merespon positif bila saya tidak mengasihi mereka.
Contoh dalam hidup sehari-hari. Pembantu rumah tangga bertugas melayani majikannya. Seandainya si majikan punya setumpuk cucian kotor, dan PRT di rumahnya bukannya mencuci pakaian itu tapi malah menata bunga, si majikan pasti protes. Lho, kenapa? Bukannya menata bunga itu bagus? Mungkin pelayan itu melihat bunganya kok tidak tertata dan dia tidak tahan melihat kurangnya estetika. Itu kan penting! Tidak, itu tidak menjawab kebutuhan.
Jadi kalau kita menyebut diri pelayan, kalau kita datang untuk melayani, kita harus terlebih dahulu tahu bentuk pelayanan apa yang dibutuhkan dari kita. Ada orang yang tidak perlu nasehat, ya tidak perlu kita buru-buru menasehati. Ada orang yang perlu didengar dengan sabar; kalau memang mau melayani, ya layanilah dia sesuai kebutuhannya. Saya kembali ke kampung halaman dengan membawa pengetahuan dan idealisme, tapi yang pertama-tama perlu saya lakukan adalah mencari tahu, seperti apa kehidupan orang-orang yang saya layani, dan apa kebutuhan mereka. Ketika saya sudah mulai memahami gaya hidup mereka, saya mulai bisa melayani mereka. Ini semua tidak diajarkan di sekolah; saya harus belajar sendiri si sekolah kehidupan.
Bila saya merendahkan diri dan mau belajar dari nol tentang bagaimana melayani, bila saya menghargai orang-orang yang saya layani dan berusaha memahami kebutuhan mereka, saya akan mengasihi mereka dan sabar terhadap mereka, sehingga pelayanan tidak menjadi beban, tapi sebuah petualangan yang menyenangkan. Dan orang-orang yang saya layani pasti ngeh bahwa saya tulus mengasihi mereka (sadar bahwa dirinya dikasihi itu sepertinya insting dasar manusia), mereka akan membuka diri untuk pelayanan saya. Semua orang yang merevolusi lingkungan mereka, baik dalam hal lingkungan hidup, sosial, ekonomi, pendidikan, dll memulai dengan sikap yang demikian: mereka melihat sebuah kebutuhan dan menyediakan diri untuk melayani guna menjawab kebutuhan itu.
Sampai sekarang saya masih belajar. Dengan kasih karunia Tuhan, saya yakin saya makin lama makin bijak dalam melayani. Dan saya tidak akan buru-buru mengkritik orang lain, kota saya, bangsa saya, dan memaksa, “Indo nih emang payah, semuanya serba keliru,” dsb, tapi, “Apa kebutuhan bangsaku, lingkunganku, gerejaku, keluargaku? Bagaimana aku bisa melayaninya?” Karena, jadi pelayan kan memang begitu.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^