by Mekar A. Pradipta
Beberapa jam lagi kita akan merayakan Natal. Untuk sebagian besar dari kita, Natal tahun ini pasti bukan yang pertama. Meskipun demikian, rutinitas peringatan Natal tidak seharusnya membuat kesiapan hati kita menyambut pesan Natal hanya setengah-setengah. Makna Natal yang sudah berusia lebih dari dua ribu tahun ini tetap dan lebih dari relevan untuk hidup kita saat ini.
Natal adalah tangan Bapa yang terulur, melalui kelahiran Anak Tunggal-Nya, untuk menjangkau manusia yang terhilang. Natal adalah panggilan untuk menapaki jalan yang Ia tawarkan dan menjadi pengikutnya. Yesus adalah jalan itu (Yohanes 14:6) dan Ia memanggil kita untuk mengikuti Dia menuju Allah Bapa. Panggilan Yesus kepada Matius di Matius 9:9 atau kepada Simon dan Andreas di Yohanes 4:19 adalah panggilan untuk setiap kita.
“Ikutlah aku,” kata Yesus.
Mungkin kita yang sudah bertahun-tahun menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat akan merespon seperti ini, “Tapi aku sudah mengikut Yesus. Aku orang Kristen. Aku ke gereja setiap Minggu.”
Really? Apakah itu membuatmu menjadi pengikut Kristus yang layak?
Karena Tuhan Yesus berkata begini,
“Dan orang yang tidak mau memikul salibnya dan mengikuti Aku tidak patut menjadi pengikut-Ku.” (Matius 10:38 / BIS)
Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.
(Matius 16:24)
Menjadi pengikut Kristus bukan tentang berjalan di belakangnya saja, tapi berjalan seperti Dia: menyangkal diri dan mengikut salib. Dalam Alkitab versi terjemahan yang lain, “menyangkal diri” diartikan sebagai “melupakan kepentingan sendiri” (BIS) atau “mengesampingkan rencana dan keinginannya sendiri.” Banyak orang mengaku mengikut Kristus, tapi tidak mau melepas rencana-rencana dan keinginannya sendiri. Bukankah kita sering seperti ini? Mengaku berjalan mengikut Yesus, tapi sebenarnya yang kita ikuti masih mengikuti “keakuan” kita, “daging” kita dan bukan Roh Tuhan.
Mari kita jadikan Natal ini sebagai momen refleksi. Apakah kita sudah meresponi uluran tangan Tuhan dengan benar? Sudahkah kita menjadi umat yang layak? Umat yang mengikut Kristus dengan benar, ataukah kita masih berjalan di belakangnya dengan sembarangan? Jangan-jangan perjalanan kita masih mengikuti rencana dan keinginan kita sendiri: kadang belok kiri, kadang belok kanan, kadang malah mundur ke belakang. Jangan-jangan, berulang kali, kita pura-pura tidak mendengar arahan Yesus, sang Gembala, dan berkeras hati mengambil rute kita sendiri.
Tentu selama kita masih hidup di dunia, kedagingan kita tidak akan hilang dengan sempurna. Namun Tuhan ingin kita punya kesediaan untuk berproses. Dalam Firman-Nya, Yesus tidak bicara tentang hasil akhir. Ia bicara tentang proses – menyangkal diri dan memikul salib. Tuhan akan sangat mengerti jika kita beberapa kali terjatuh saat mengikut Dia. Yesus sendiri juga terjatuh saat Ia membawa salibnya menuju bukit Golgota. Sebagai manusia ia juga mengalami kelelahan dan kesakitan. Namun Yesus bangkit dan terus berjalan sampai Ia menyelesaikan tugas-Nya: menjadi domba yang dikorbankan untuk menebus dosa manusia.
Yesus sendiri juga mengalami saat ketika Dia harus memilih untuk mengikuti rencana dan keinginannya, atau taat pada kehendak Tuhan. Ia bergumul dan berdoa di Getsemani sampai meneteskan keringat darah. Yesus pun berjuang mengikuti Bapa-Nya. Ia juga mengalami proses menyangkal diri dan memikul salib. Ia sudah memberikan teladan untuk kita ikuti.
Natal penuh dengan pesan tentang menyangkal diri dan memikul salib. Dua orang penting yang menjadi alat Tuhan untuk menggenapi rencana-Nya tentang kelahiran Yesus – Maria dan Yusuf adalah orang-orang juga mengalami proses itu. Maria – ia dengan lembut hati memilih rencana Allah yang beresiko dan mengatakan, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”. Sementara itu, Yusuf harus membatalkan rencananya untuk membatalkan pertunangan dengan Maria dan menaati kehendak Allah untuk menikahi Maria. Mereka pasti sebelumnya sudah punya bayangan tentang masa depan yang mereka inginkan, ketika kehendak Allah tiba-tiba dinyatakan dan menuntut mereka untuk mengikutinya.
Pertanyaan lain untuk kita renungkan di Natal kali ini: dalam hal apa Allah masih ingin kita menyangkal diri dan memikul salib? Mungkin saat ini Tuhan mengingatkan kita tentang karakter tertentu, kebiasaan tertentu, atau dosa tertentu. Yes, itulah diri yang harus kita sangkal dan salib yang harus kita pikul. Mari perbaharui komitmen kita untuk memperjuangkannya, sebelum perjalanan kita dengan Yesus semakin berjarak karena ketidaktaatan.
Lalu bagaimana kalau kita merasa jarak kita dengan Yesus sudah terlalu jauh? Remember, He is never too far. He is still and is always closed to us, but sometimes our flesh and our sins make us incapable to clearly see His signs or hear His calls. Kita harus membuat keputusan untuk berbalik meninggalkan jalan yang salah dan kembali ke rute Tuhan, seperti anak bungsu yang memutuskan pulang ke bapanya. Hal apapun yang pernah anak bungsu itu lakukan, bapanya menerima dia dengan sukacita.
Yesus tidak memanggil kita untuk mengikuti Dia dengan asal-asalan. Mengikuti Yesus bukan hanya tentang berjalan di belakang-Nya, tapi juga menjadi seperti Dia. Jika Yesus penuh kasih, maka kita ikut penuh kasih. Jika Yesus panjang sabar, maka kita ikut panjang sabar. Jika Yesus mau mengampuni, maka kita ikut mengampuni. Begitu seterusnya, dalam segala hal kita mengikuti Yesus – pengajaran dan teladan-Nya.
Semoga Natal kali ini membawa kesegaran baru dalam perjalanan kita dengan Yesus, membawa kita terus mendekat kepada-Nya dan serupa dengan Dia, menjadikan kita pengikut-Nya yang layak.
“dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya, dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang yang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.”
(Lukas 1:17)
***
Selamat Natal. Tuhan Yesus memberkati.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^