by Tabita Davinia
Tahun 2013 lalu, teman-teman di gereja saya memilih Not a Fan sebagai tema Paska remaja-pemuda kami. Di Paska tahun berikutnya, kami melanjutkan tema tersebut dalam Not a Fan 2: Striving and Struggling ‘till the End. Dalam dua tahun tersebut, kami juga membuat kaos polo bertuliskan Not a Fan-Completely Committed Follower dan menjadikan lagu Bukan Seorang Penggemar—yang dibuat pacar saya #ups—sebagai theme song Paska kami. Singkatnya, Not a Fan menjadi sebuah euforia bagi kami kala itu.
Tapi apakah “menjadi seorang pengikut Kristus” bagi kami hanya berhenti setelah Paska 2014 berakhir?
Ternyata tidak. Beberapa waktu setelah Paska, saya dan teman-teman tetap mengalami naik-turunnya hidup. Ada yang menghilang, ada yang memenuhi panggilan di tempat lain, ada yang bergumul tentang masa lalunya, ada yang kembali ke komunitas kami, dan banyak hal lainnya yang Tuhan bukakan sejak itu. Hm, berbicara tentang masa lalu memang tidak akan ada habisnya, kan? (Padahal baru juga empat tahun yang lalu. Haha.) Tapi saat menengok ke belakang, saya bisa melihat hasil rendaan Tuhan dalam hidup saya—dan itu membuat saya speechless. :)
Sekarang, remaja-pemuda yang pernah mengikuti Paska bertemakan “Not a Fan” itu telah menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa, guru, dokter, apoteker, orangtua bagi anak mereka, dokter, karyawan kantor, penyanyi, fotografer, ilustrator, dan profesi lainnya. Di situlah saya menyadari sesuatu:
Waktu boleh berlalu, namun panggilan sebagai murid tinggal tetap seumur hidup.
--**--
Not a Fan merupakan buku Kyle Idleman yang menjelaskan bahwa seringkali orang percaya menjadikan Tuhan sebagai “idola”. Yaps, memang benar kalau Tuhan harus disembah. Tapi bagaimana jika keadaannya membuat kita kecewa pada-Nya? Masihkah kita ingin tetap memikul salib yang Dia berikan, atau kita justru meninggalkan-Nya?
Kalau pertanyaan ini diberikan saat keadaan kita baik-baik saja, saya yakin kita akan menjawab dengan mantap, “Ya tentu tetap setia sama Tuhan, dong! Inget, dalam Matius 16:24 Yesus bilang, ‘Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.’”
Oke. Kita keep jawabannya dulu, ya.
Sekarang, saya minta kepada Pearlians untuk kembali ke realita terlebih dulu. Apakah kita akan tetap berkata demikian jika (bayangkan kasus-kasus berikut yang sesuai dengan keadaan Pearlians saat ini):
- IPK tidak mencapai standar yang diharapkan—padahal sudah berjuang dengan keras dan meminimalkan kegiatan non-akademik, sedangkan banyak teman—sekaligus aktivis kampus—yang mencapai IPK cumlaude (bahkan summa cumlaude).
- Judul skripsi/tesis/disertasi ditolak dosen pembimbing, sedangkan teman-teman satu bimbingan sudah menulis sampai bab 2 atau (bahkan) bab 3.
- Belum menemukan pekerjaan yang tepat, sedangkan ada teman satu angkatan yang sudah berada di posisi tinggi di sebuah perusahaan.
- Usia sudah memasuki “deadline”, namun belum memiliki pasangan—sedangkan saudara maupun teman-teman sudah banyak yang menikah dan memiliki anak.
- Suami mengabaikan atau justru melukai kita, sedangkan suami dari teman-teman kita sangat menyayangi mereka.
- Belum memiliki momongan (atau mungkin pernah keguguran), sedangkan kerabat lain sudah memiliki lebih dari satu anak.
- Anak memiliki kondisi fisik, kognitif, maupun sosio-emosional yang berbeda dari anak-anak lainnya.
- Anak di-bully karena keberaniannya dalam melaporkan tindak bullying temannya, sedangkan teman-teman anak hanya diam dan tidak peduli?
- Tiba-tiba didiagnosis memiliki penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan mujizat?
- … (silakan tambahkan sendiri keadaan yang Pearlians pergumulkan)
Dengan segala pergumulan hidup saat ini, apakah kita akan tetap berkata bahwa, “Tuhan itu baik. Aku akan tetap mengikut Dia apapun yang terjadi?” Saya yakin jawabannya tidak akan meluncur semulus ketika keadaan kita baik-baik saja.
--**--
Seringkali muncul pertanyaan: Kalau Tuhan sayang aku, kenapa Dia kasih pencobaan seberat ini!? Mohon ralat: Tuhan tidak mencobai kita. Yakobus menegaskannya dalam suratnya:
Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: “Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.
(Yakobus 1:13-15)
Ayat di atas sudah jelas: bukan Tuhan yang memberikan pencobaan, melainkan kitalah yang jatuh dalam pencobaan. Yang terjadi adalah: kita dicobai, kita jatuh dalam dosa, kita harus menanggung konsekuensi dari dosa itu. Tapi bukan berarti Tuhan lepas tangan terhadap ciptaan termulianya ini. Dia menguatkan kita melalui Paulus,
Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
(1 Korintus 10:13)
Inilah yang membedakan kita, pengikut Kristus, dari orang-orang di luar Dia. Kita dapat melalui pencobaan dan ujian hidup bersama Sang Firman itu. :) Artinya, kita tidak akan kehilangan arah, selama hidup kita terus berpaut pada-Nya; sama seperti ranting anggur pada pokoknya (Yohanes 15:1-8). Bahkan di ayat 8, Yesus mengatakan,
Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku.
Tentunya sebagai pengikut Kristus, kita memiliki ciri khas yang memancarkan citra Tuhan, bukan? Ibarat pohon mangga yang pasti menghasilkan mangga (bukannya durian, apalagi durian Medan…), seharusnya kita juga menghasilkan buah-buah kehidupan yang Dia teladankan, seperti buah Roh (Galatia 5:22-23 yang pernah dibahas dalam Pearl sepanjang tahun 2017).
Nah, di pengujung tahun 2018 ini, kita solitude sejenak, yuk! ^^ Berikut beberapa pertanyaan yang dapat kita renungkan:
- Karakter apa yang harus saya padamkan, dan karakter apa yang harus saya perjuangkan untuk semakin mendarah daging?
- Adakah karakter saya yang membuat orang lain terluka, yang sulit dihilangkan?
- Seberapa sering saya menjadikan Tuhan sebagai “kambing hitam” atas kegagalan saya sepanjang tahun 2018?
- Seberapa sering hati ini bersyukur untuk hal-hal yang Dia berikan—bahkan hal sederhana seperti mencium petrichor (wangi tanah yang kena hujan) setelah hujan reda?
- Apakah orang lain merasa bersyukur atas kehadiran saya? Atau jangan-jangan mereka justru bersungut-sungut?
Lima pertanyaan di atas bisa bertambah, tergantung perenungan kita masing-masing. :) Yaaa, kita perlu mengakui bahwa kita tidak sanggup menjadi murid yang sejati kalau berjuang dengan usaha kita sendiri. Itu sebabnya kita memerlukan Tuhan sebagai satu-satunya Sumber Kekuatan bagi kehidupan kita yang rapuh ini—bukannya menjadikan Dia sebagai amunisi terakhir. Sang Guru Agung yang memanggil kita menjadi murid adalah Allah yang membentuk dan memperlengkapi pula untuk memberitakan kemuliaan-Nya.
Selamat menutup tahun 2018 dengan kerinduan untuk menjadi a completely committed follower (and disciple) of Christ di tahun 2019.
Inspiring. Aku sendiri kadang cepat menyerah saat dapat cobaan. Harus banyak belajar :)
ReplyDelete