by Tabita Davinia Utomo
Pernahkah Pearlians memikirkan dua hal ini?
1) Alasan adanya makanan atau minuman yang tidak boleh kita konsumsi
2) Ada tidaknya pengaruh dari apapun yang kita konsumsi (baik makanan, minuman, musik, dll)
Beberapa waktu yang lalu, saya menanyakan dua hal di atas dalam mini survey di Instagram. Berikut rangkuman hasilnya yang terbagi dalam beberapa poin (karena banyak yang berpendapat sedangkan waktu itu belum ada Question Form di Instagram-ku. Haha...):
- “Kalau soal makanan dan minuman yang boleh/tidak dikonsumsi, itu tergantung sama kondisi kesehatan dan kontrol makan. Dan yaa, aku merasakan betul bahwa apa yang aku konsumsi berpengaruh pada perilaku maupun sikapku selanjutnya.”
- “Alasan untuk pertanyaan pertama karena ada yang berisiko bahaya jika dikonsumsi. Sementara itu, tidak selamanya dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsi, tapi bergantung di mana kita tinggal dan berproses. Hehe...”
- “Hm, salah satu alasan adanya anggapan boleh dan tidaknya makanan yang dikonsumsi adalah sumber makanan yang dianggap “lucu” (misalnya anjing yang dibuat rica-rica (RW)). Akhirnya kalau ada “yang lucu” dijadikan makanan, jadi kasihan. Sedangkan masih ada banyak hewan yang dianggap biasa saja lalu diternakkan dan “dibunuh” untuk dimasak.”
Well, saya tidak akan membahas tentang makanan-minuman terlarang, film yang tidak patut ditonton, ataupun musik yang merusak diri. Saya percaya bahwa kita bisa memilih dan memilah apa yang akan masuk ke otak kita, setelah rangsangan (atau bahasa kerennya “stimulus”) dari luar diri kita diterima oleh panca indera. Tapi apakah benar bahwa yang masuk ke diri kita akan sama dengan reaksi kita terhadap sesuatu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, yuk kita baca Matius 7:1-23 dan 1 Korintus 10. Ada beberapa ayat yang akan kita soroti secara khusus.
Tidak ada sesuatu dari luar yang masuk ke dalam orang yang dapat membuat orang itu najis. Sebaliknya, yang keluar dari seseorang, itulah yang membuat dia najis.
(Markus 7:15 / BIMK)
Ayat di atas diungkapkan oleh Yesus ketika orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem melihat beberapa murid-Nya makan tanpa mencuci tangan terlebih dulu. Padahal menurut adat istiadat Yahudi, orang seharusnya mencuci tangan sebelum makan—karena jika tidak, orang tersebut akan dianggap najis. Itu sebabnya mereka menegur Yesus yang tidak memperingatkan murid-murid-Nya, padahal secara status, Yesus adalah Guru (Rabbi). Dan setelah itu, Yesus menegur orang Farisi dan para ahli Taurat yang lebih mementingkan ajaran nenek moyang daripada perintah Allah (Markus 7:8). Hmm, kalau dipikir-pikir, benar juga apa yang Yesus katakan. Segala adat istiadat yang disampaikan dalam Perjanjian Lama (ditambah peraturan yang “ditambahkan” untuk membuat orang Yahudi waktu itu dianggap layak untuk diampuni Tuhan) telah ditebus melalui pengurbanan Kristus :) Sekarang, dengan Kristus yang menjadi jembatan keselamatan, kita dapat bertemu dengan Allah dan berkomunikasi secara pribadi pada-Nya. Once again, it’s only by His grace—which must be responded by our faith to Him.
Pertanyaannya adalah: Apakah kita sudah menaati perintah-Nya dengan sungguh-sungguh, atau semuanya hanya karena “status rohani” dan penuh kepalsuan di dalamnya?
Bukan hanya itu, di 1 Korintus 10:23, Paulus berkata,
“Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.
Nah, sebenarnya, apapun yang masuk ke diri kita itu adalah stimulus netral, yang kemudian dapat bernilai positif atau negatif sesuai nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Tanpa kita sadari, stimulus yang terus-menerus diterima akan terekam dalam otak dan memengaruhi kita dalam merespon sesuatu. Itu sebabnya ada larangan minum minuman keras, tidak boleh menonton film yang penuh dengan adegan kekerasan, dst. Larangan tersebut dibuat untuk menjadi “benteng” agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Kalau minum minuman keras sampai mabuk, siapa yang rugi? Kalau terlalu sering menonton adegan kekerasan dan jatuh korban (baik secara fisik maupun psikis) karena perilaku kita, siapa yang salah?
“Duh, terus gimana caranya buat bisa tahu dan membatasi diri sebelum mengonsumsi sesuatu?”
Jawabannya adalah… berpegang pada firman Tuhan! :)
Kita tidak bisa membangun batasan (boundaries) yang sehat kalau hanya duduk sebagai anggota jemaat dalam kebaktian, namun tidak melakukan apapun untuk mendorong diri kita bertumbuh dalam iman. That’s why we need to have personal devotional time and Bible reading, sebagai sarana kita untuk belajar kebenaran yang sejati dan meneladani Kristus. Perlahan-lahan, kita akan menyadari bahwa Firman Tuhan harus menjadi penyaring (filter) yang kuat untuk memilih dan memilah apa yang berguna bagi kita. Bahkan sebelum Yesus menegur orang-orang yang merasa lebih tahu tentang hukum Taurat dibanding orang lain, Daud telah berefleksi dan menyadari bahwa firman Tuhan adalah pelita dan terang bagi kehidupannya (Mazmur 119:105).
Oke, itu soal “apa yang masuk” ke diri kita. Lalu bagaimana dengan “apa yang keluar” dari diri kita? Semuanya terangkum dalam Hukum yang Terutama:
Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini. (Markus 12:29-31 / TB)
“Ehm, iya… Aku tahu sih, kalau soal itu. Tapi gimana cara praktisnya buat nerapin tiga ayat di atas?”
Berikut ada beberapa pertanyaan yang dapat kita gunakan untuk mempertimbangkan apa yang seharusnya kita lakukan. Jika Pearlians merasa ada pertanyaan yang perlu ditambahkan, silakan langsung tulis di kolom komentar di bawah ini, ya! :)
- Apakah dengan aku berkata-kata seperti yang biasa aku katakan, aku sedang memuliakan Tuhan dan membangun relasi yang baik dengan sesamaku?
- Apakah tindakanku ini menjadi berkat untuk orang lain dan sedang merefleksikan Kristus kepadanya?
- Apakah yang kulakukan dan sikapku sekarang hanya sebatas topeng, atau memang diriku yang sebenarnya—yang sedang belajar untuk menjadi murid Kristus?
“Lho, berarti kita nggak boleh bercandaan sama ngomongin orang, dong?” Bercanda sih, boleh, selama kedua pihak paham bahwa yang mereka katakan hanya sebatas bercanda. Tapi akan beda ceritanya kalau ada pihak yang terluka. Nah, kalau ngomongin orang… Kita harus tahu tujuan kita membicarakan tentang seseorang. Apakah itu untuk mengetahui kondisinya (untuk didoakan atau hanya basa-basi), atau justru untuk menjatuhkan orang lain? Ironis kan, kalau orang melihat kita sebagai orang Kristen tapi justru mudah membuat orang lain membenci kita karena hal-hal buruk yang kita lakukan padanya? :(
Yuk, kita sama-sama menggarami dan menerangi dunia dengan kasih Tuhan melalui apa yang kita lakukan. Biarlah hidup kita menjadi batu loncatan bagi orang lain untuk mengenal Kristus, bukannya batu sandungan. Soli Deo Gloria! ^^
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^