by Grace Suryani Halim
Kenapa Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya mengalami penderitaan? Katanya anak Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, tapi kok menderita? Kenapa Tuhan ga kasih garansi bahwa semua orang yang percaya pada Tuhan Yesus tidak akan menderita lagi? Kan enak...
The last 6 months are one of the hardest time in my life. Ever. Pergumulan datang silih berganti. I've seen death face to face few times. Dihimpit kanan kiri. Belum selesai, masalah baru sudah menanti. Dari gue yang tadinya selalu yakin dan tiap berdoa gue sering ngomong, "I know You, Lord. I know You are a good God," menjadi sampai di titik, "I don't know You anymore..." Semua masalah ini membuat gue jadi orang yang berbeda. Gue menghindari ketemu orang-orang, lebih pengen sendiri, ga terlalu pengen cerita-cerita (oh my, gue sendiri bingung kok gue ga kayak gue lagi). Yang biasanya ember, sekarang jadi keran. Rapet... Netes juga kagak.
Di sisi lain, something amazing terjadi. Gue jadi peka—sangat peka dengan orang-orang lain yang sedang berduka. Di waktu yang hampir bersamaan, ada seorang rekan yang kehilangan anak dan papanya hanya dalam waktu 2 minggu. Ketika gue hubungin ybs dan bilang, "I'm so sorry for your loss. I'm praying for you," itu bukan kata-kata basa basi. I did pray like crazy for him. I can feel his pain. His loss. His suffering.
Peristiwa itu membuat gue teringat kejadian sewaktu gue keguguran ampir 3 tahun lalu. Sebelum kejadian, ketika gue pergi check ke dokter kandungan, ada sepasang suami istri yang keluar dari ruang dokter sambil menangis. Respons pertama gue, "Waduh Tuhan, jangan sampeee gue kayak begituu..." 2-3 minggu kemudian, gue keluar flek-flek. Deg. I prayed like crazy, several sleepless nights. Ketika lagi nunggu dokter, ada seorang ibu lain yang begitu keluar lgsng didorong pake kursi roda dan dibawa ke ruang perawatan, she cried. Respons pertama gue, "Lord, please help her... Please take care of her baby. I hope she's okay. Please help her. Please..."
3 minggu sebelumnya, gue ga peduli sama sekali dengan pasangan suami istri yg pertama. Gue cuman berdoa, jangaaann sampeee gue harus begitu. Did I care about them? Nope. I only cared about myself. Yang penting bayi gue ga kenapa-kenapa. Bayi orang laen, nasib dia lah. 3 minggu kemudian, gue bahkan ga sempet mikir semoga bayi gue ga kenapa-kenapa (waktu itu belon tau kalo keguguran, baru ada flek-flek). Gue bener-bener berharap she's okay dan bayinya juga baik-baik saja. Apa yang membuat gue yang tadinya yang punya mental, gue ga peduli bayi laen gimana yang penting bayi gue ga kenapa-kenapa, menjadi otomatis (sekali lagi OTOMATIS) mikirin bayi orang lain juga? Penderitaan. Suffering.
Penderitaan itu mengubah engkau. Penderitaan menghancurkan ego. Meremukkan kesombongan. Menghilangkan self-righteous. Penderitaan itu membuat lubang di hatimu, sehingga ada tempat untuk orang lain di sana... Penderitaan membuat kita sadar, betapa rapuhnya hidup ini. Ya, jika boleh merumuskan apa itu penderitaan, buat gue penderitaan itu membuat lubang besar di hatimu, sehingga ada tempat untuk orang-orang lain di sana dan ada lebih banyak tempat untuk Yesus. Hatimu tak lagi penuh dengan SAYA, SAYA, dan SAYA.
Mungkin itu sebabnya Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya tetap mengalami penderitaan di dunia ini. Supaya mereka tetap in-touch with reality. Mereka bisa berempati dengan dunia yang terluka. Mereka bisa menangis dengan jiwa-jiwa yang menderita. Mereka bisa mengerti bahasa tetesan air mata. Orang-orang yang pernah mengalami luka yang sama, bisa berkomunikasi dengan kedalaman yang hanya bisa dimengerti oleh yang pernah terluka.
Bayangkan jika semua anak Tuhan kebal terhadap penderitaan, bagaimana kita bisa mengerti raungan orang-orang yang terpinggirkan di ujung sana? Bagaimana kita bisa menjadi saksi Kristus yang efektif juga kita tidak benar-benar bisa peduli? Bagaimana kita bisa peduli jika kita tidak pernah mengalami? Bagaimana kita bisa mencerminkan Allah yang peduli kepada dunia, jika kita hidup di dalam rumah kaca yang steril terhadap penderitaan? Itu bukan cerminan Yesus. Yesus justru keluar dari 'rumah kaca' untuk masuk ke dalam penderitaan! Karena itu mensetrilkan anak-anak-Nya dari penderitaan justru mengingkari teladan Yesus Kristus, Tuhan kita.
Beberapa teman-teman baik gue yang sangat gue kagumi karena mereka orang-orang yang sangat considerate, sangat bisa menguatkan org, pandai memilih kata-kata yang membangun, tulus, orang-orang yang sangat optimistik justru adalah orang-orang yang sudah banyak mengalami ups and downs dalam hidup mereka. Mereka orang-orang yang membuat banyak orang nyaman dengan mereka. Sekarang baru gue ngeh kenapa... Itu bukan karena they had a good upbringing, atau mereka pintar. Bukan. Mereka orang-orang yang sering digodok dalam kesukaran, tapi mereka tidak menjadi pahit.
Buat teman-teman yang juga sedang dirundung masalah, yang merasa tertekan, izinkan gue share ayat favorit gue di masa-masa ini,
"Buatlah kami bersukacita seimbang dengan hari-hari Engkau menindas kami, seimbang dengan tahun-tahun kami mengalami celaka."
(Mazmur 90:15)
(Mazmur 90:15)
Ayat barusan gue ketik di luar kepala. Karena ini ayat yang jadi pegangan gue di hari-hari ini. Ini ayat yang gue dapet sewaktu gue masih kuliah di China. Pertama kali baca ayat itu gue ngerasa lega. AKHIRNYA... Ada ayat yang mengakui bahwa terkadang Tuhan menindas umat-Nya. Instead of saying, "Everything will be okay, just trust Him," penulis Mazmur ini berani berkata dengan lantang, “Tuhan, Kau menindasku!” Oh Tuhan, tolong jangan cuman tindas gue, buatlah juga gue bersuka cita seimbang dengan hari-hari gue mengalami sengsara. Ayat ini nancep, karena ini ayat yang jujur. Ga muna. Ga sok beriman. Dan ini ayat yang ditulis oleh orang yang dirundung duka. Orang yang mengalami celaka. Tapi ia tahu, ia berani meminta Tuhan, buatlah gue bersukacita seimbang dengan hari-hari gue mengalami celaka. Ini ayat yang mengandung pengharapan. Pengharapan bahwa di depan akan ada 'payback time from God'. Akan ada hari-hari dimana Tuhan membuat kita bersukacita. Dan tidak hanya sekedar bersukacita, tapi Ia akan membuat gue bersukacita SEIMBANG bahkan lebih dari bulan-bulan gue mengalami celaka.
Dan ayat kedua,
"I will see the goodness of the Lord in the land of the living."
(Psalm 27:13)
(Psalm 27:13)
Kalo lagi menderita emank paling enak baca Mazmur. Ini ayat sebenernya juga agak 'kurang ajar' sih. Pede banget si Daud, berani bilang dia bakal liat the goodness of the Lord selama dia masih hidup. Kok dia yakin? Siapa tahu Tuhan mau kasih berkatnya setelah dia mati? Ga ada yang tau kan? Ini yang dipelajarin dari para pemazmur. Mereka orang-orang yang jujur. Ga ada basa-basi. Jujur dengan kesedihan mereka, dengan ketakutan mereka, dengan rasa frustasi mereka, dengan kemarahan mereka. But they're also very bold. Mereka berani meminta. Bukan sekedar doa, "Terserah Tuhan... Tuhan tau yang terbaik. Keliatan beriman, tapi kadang itu lahir dari ketakutan. Iya kalo dikasih... Kalo Tuhan ga kasih gimana? Terserah Tuhan aja dah. Main aman. Pemazmur tidak seperti itu. Ia meminta apa yang ia percaya. Ia percaya hal-hal yang besar. Dan mereka percaya, Tuhan itu Tuhan yang baik. Tuhan yang tidak marah ketika anak-anak-Nya meminta. Dan gue bersyukur gue punya Tuhan yang sama dengan mereka. :)
***
God, I know You’re too wise to be mistaken.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^