by Leticia Seviraneta
Bila kita ditanya, “Kriteria orang seperti apa yang kamu inginkan menjadi pasangan kamu?” Kita biasa dengan spontan menjawab, “Orang yang BAIK.” Bagi yang sudah percaya Yesus maupun yang belum, jawaban tersebut cukup sering dilontarkan. Kita sebagai manusia secara natural tertarik dengan kebaikan. Tidak akan ada yang menjawab ingin berteman atau memiliki pasangan hidup yang jahat, bukan? Nah, namun pengertian baik yang disebutkan itu seperti apa? Apakah baik itu saja cukup? Jawabannya adalah ya dan tidak, tergantung dari definisi kebaikan yang kita pahami. Banyak yang mengartikan kebaikan sebagai keinginan berbuat baik atau sudah menjadi tindakan baik kepada orang lain. Definisi ini tentu tidak salah. Namun kebaikan belum menjadi kebaikan sampai itu menjadi sebuah tindakan nyata. Demikian juga halnya dengan pihak yang menerima kebaikan itu sendiri. Bila seseorang hanya baik kepada yang baik kepadanya, maka kebaikan belumlah menjadi kebaikan yang sesungguhnya.
Kebaikan merupakan salah satu aspek dalam Buah Roh (Galatia 5:22) yang dalam bahasa Yunani menggunakan kata ‘chrestotes’ yang bermakna ‘an act of kindness or tolerance toward others; selfless act; doing good things on behalf of others without expecting anything in return.’ Jadi kebaikan memiliki unsur tindakan nyata mementingkan orang lain meskipun kita tidak mendapat balasan apa-apa serta seringkali membuat kita harus berkorban. Wew… Ini merupakan level kebaikan yang benar-benar berbeda dengan konsep kebaikan yang selama ini kita bayangkan, bukan?
Tuhan kita adalah Tuhan yang baik. Ia adalah contoh pertama dan utama dari kebaikan itu sendiri. Seluruh Alkitab menceritakan dan memberikan kesaksian betapa baiknya Tuhan.
“Dan jikalah kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalah kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Dan jikalah kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”
(Lukas 6:32-36 / TB)
(Lukas 6:32-36 / TB)
Tuhan baik kepada semua orang, termasuk yang tidak layak menerima kebaikan-Nya. Disini kita dapat melihat bahwa kebaikan itu sesungguhnya tidak memandang bulu. Layak maupun tidak layak, orangnya baik kepada kita maupun tidak baik kepada kita, orangnya tahu berterima kasih maupun tidak tahu berterima kasih, semuanya tidak memberikan kita alasan untuk tidak berbuat baik kepada mereka. Tentu hal ini tidak mudah. Berhubung kebaikan adalah buah Roh, maka sumber kebaikan selevel ini tidak dapat dihasilkan dari kekuatan manusia semata, melainkan dari hubungan intim dengan Tuhan. Yang perlu kita lakukan adalah memandang kebaikan Tuhan sedemikian rupa sehingga pundi emosi kita begitu penuh untuk menyalurkannya kepada orang lain, disertai dengan kemauan untuk taat melakukan kebaikan itu.
Kebaikan adalah kasih dalam bentuk tindakan nyata. Kita dapat sekedar baik tanpa mengasihi, namun kita tidak dapat mengasihi tanpa berbuat baik. Kita dapat saja memberikan uang receh kepada pengemis tanpa mengasihi pengemis tersebut. Namun kita tidak bisa mengklaim bahwa kita mengasihi pasangan kita tanpa berbuat baik kepadanya. Apakah teman-teman dapat melihat kaitan erat antara kasih dan kebaikan itu? Kasih menjadi landasan di mana seluruh karakteristik buah Roh lain berpijak.
“Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.”
(Kolose 3:12-14 / TB)
(Kolose 3:12-14 / TB)
Tuhan menginginkan kita untuk mengasihi sesama; Dia menginginkan kita untuk berbuat baik kepada mereka. Ini merupakan kehendak Tuhan yang dinyatakan berulang-ulang di Alkitab. Tuhan tidak hanya sekedar berkata Ia mengasihi kita, ia juga melakukan tindakan nyata berdasarkan kasih-Nya. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Sebagai bentuk nyata dari kasih-Nya, Tuhan mengorbankan sesuatu yang sangat berharga bagi kita, yakni Yesus Kristus, untuk mati di atas kayu salib. Disini kita melihat sisi lebih mendalam lagi dari kebaikan: Kebaikan mengandung unsur pengorbanan.
Kebaikan selalu merupakan tindakan baik untuk orang lain yang mengorbankan kepentingan sendiri (selfless act). Hal ini bukan berarti kita menjadi berjiwa martir dan hidup dengan tidak pernah memikirkan kebutuhan sendiri. Keseimbangan adalah kuncinya. Tuhan memberikan perintah, “Kasihilah sesamamu manusia, seperti engkau mengasihi dirimu sendiri” (Mat 22:39b). Kita tidak dapat memberi apa yang tidak kita punyai. Bila kita tidak memperhatikan kebutuhan pokok kita sebelum memberi kepada orang lain, tentulah hal ini tidak sehat. Penting untuk dicatat, kasihi diri sendiri dalam hal kebutuhan-kebutuhan yang esensial, bukan sekedar keinginan mata kita. Contoh kebaikan nyata yang membuat kita berkorban adalah dengan memberikan waktu untuk mendengarkan sesama dalam masalah ketika kita sedang sibuk, memberikan uang bagi yang sangat memiliki keperluan mendesak sementara kita hanya ingin menggunakan uang tersebut untuk keinginan sekunder atau tersier, memberikan pengampunan meski kita masih merasa sakit hati, memberikan pujian di saat teman berhasil meski kita agak merasa iri, dsb. Ada begitu banyak kesempatan di dalam kehidupan kita sehari-hari untuk berbuat baik. Janganlah membayangkan berbuat baik harus berbentuk sesuatu yang besar seperti mendonasikan uang dalam jumlah yang banyak hingga kita menunggu waktu yang tepat di mana nominal banyak tersebut terkumpul. Hal ini tentu tidak salah, namun jangan sampai kita terlewatkan banyak kesempatan berbuat baik yang nampaknya kecil hanya karena konsep berbuat baik di benak kita terbatas.
Saya secara pribadi sangat mengagumi karakter Ribka (Kej. 24:1-67). Dalam Kejadian 24 diceritakan bagaimana hamba Abraham berdoa meminta tanda dari Tuhan agar ia dapat menemukan wanita yang tepat untuk menjadi isteri Ishak. Ia berdoa agar ketika ia meminta air untuk minum dari anak gadis yang hendak menimba air, ia diberi minum, serta unta-untanya pun akan diberi minum, dan ia akan tahu bahwa gadis itulah isteri pilihan Tuhan bagi Ishak. Patut dicatat bahwa hamba ini tidak berdoa akan hal-hal yang terlihat di permukaan seperti paras yang super cantik, tubuh yang tinggi semampai, mata yang indah, dsb. Hamba ini mendoakan sebuah kualitas yang jauh lebih berharga daripada itu semua, sebuah karakter yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata, yaitu kebaikan. Memberikan air minum kepada seorang hamba yang haus saja sudah dapat dikatakan baik karena hal itu berarti anak gadis ini tidak memandang rendah si hamba dan tidak sombong. Tetapi memberi minum juga unta-unta? Tunggu dulu. Bila kita berhenti dan membayangkan sejenak, coba kita cari tahu, berapa banyak kah seekor unta minum air? Fakta membuktikan bahwa seekor unta yang sedang haus dapat minum 30-40 galon air sekali waktu. Lalu ada berapa ekor unta yang dibawa si hamba Abraham tersebut? Dicatat di Kej. 24:10 bahwa ia membawa sepuluh ekor unta. Hal ini berarti Ribka menimba 300-400 galon air untuk memberi minum unta-untanya. Lalu coba bayangkan apakah sekali menimba air, Ribka dapat memperoleh 1 galon? Tentu tidak. Karena pada zaman tersebut wadah menampung air untuk menimba mungkin hanya sebesar ember kita untuk mengepel saat ini. Dan perkataan Ribka ketika menawarkan bantuannya begitu murah hati: “Baiklah untuk unta-untamu juga kutimba air, sampai semuanya puas minum” (Kej. 24:19). Kebaikan yang diberikan oleh Ribka bukanlah kebaikan yang ngepas-ngepas seadanya saja, melainkan kebaikan yang maksimal. Kita memiliki Tuhan yang tidak tanggung-tanggung dalam menunjukkan kebaikan kepada kita, jadi berilah yang maksimal kepada sesama kita. Tuhan disenangkan dengan orang-orang yang baik hati sedemikian rupa karena manusia menjadi melihat diri-Nya melalui kita.
Ingatlah, setiap hari merupakan kesempatan baru untuk menunjukkan kebaikan Tuhan melalui tindakan kita. Kebaikan Tuhan adalah sumber yang memudahkan kita menghasilkan buah kebaikan di kehidupan kita. Kecaplah dan lihatlah kebaikan Tuhan, hitunglah berkat-Nya, penuhi hati kita dengan rasa syukur, maka tindakan kebaikan akan menjadi bagian dalam keseharian kita secara alami. Sebuah standard kebaikan yang tidak pandang buluh siapa penerimanya, yang membuat kita berkorban, dan yang merefleksikan kasih Tuhan kepada setiap jiwa yang kita temui. Mari kita menjadi pribadi yang lebih dari sekedar baik, yang juga menjadi saluran kebaikan Tuhan yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^