by Leticia Seviraneta
Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati
dan obat bagi tulang-tulang.
(Amsal 16:24 / TB)
Perkataan ibarat sebuah lift. Ia dapat membawa orang-orang di dalamnya ke atas maupun ke bawah. Perkataan dapat dipakai untuk membangun, namun juga dapat dipakai untuk menjatuhkan. Perkataan dapat dipakai untuk mendatangkan penghiburan, namun juga dapat dipakai untuk menyakiti. Yakobus menuliskan bahwa lidah, anggota kecil dalam tubuh, seperti kemudi yang mengendalikan seluruh badan kapal yang besar. Lidah pun dapat diibaratkan seperti api kecil yang dapat membakar hutan yang besar.
Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi. Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.
(Yakobus 3:4-5 / TB)
Perkataan kita menciptakan dunia kita. Perkataan kita mengarahkan kehidupan kita ke arah yang lebih baik maupun buruk.
Seorang yang dapat mengendalikan perkataannya adalah orang yang dapat juga mengendalikan hidupnya (Yak 3:2). Ia seperti memegang tombol lift dan dengan sengaja dapat mengambil keputusan ke mana lift itu akan pergi, ke atas maupun ke bawah. Selama masih di bumi ini, kita memang memiliki kelemahan di area mengendalikan perkataan, namun kita dapat bertumbuh semakin dewasa di area ini.
Sebagai seorang wanita Allah, sadar atau tidak, perkataan kita memiliki kuasa yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan di sekitar kita. Perkataan kita sebagai seorang istri dapat menentukan mood suami kita sepanjang hari. Perkataan kita sebagai seorang ibu dapat memberikan kepercayaan diri kepada anak-anak. Perkataan kita sebagai seorang teman dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam hidupnya. Ketika kita memutuskan untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan Yesus, Roh Kudus tinggal di dalam kita menjadi mata air kehidupan yang memancar dari dalam ke luar kehidupan kita. Satu mata air Roh Kudus tidaklah layak bila mengeluarkan air tawar sekaligus air pahit. Kita tidak dapat menggunakan mulut kita untuk memuji Tuhan setiap hari Minggu, namun menggunakan mulut kita untuk berbohong dan bergosip dari hari Senin sampai Sabtu.
Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.
(Yak 3:9-12 / TB)
Dengan kuasa Roh Kudus, kita dimampukan untuk dapat berkata-kata dengan baik di setiap kesempatan. Ini adalah sebuah kebiasaan yang perlu kita bangun dan latih setiap hari. Di sepanjang perjalanan mungkin akan ada kalanya kita terbawa emosi dan mengucapkan perkataan-perkataan yang tidak baik, namun kita pun dapat meminta maaf terhadap orang yang kita sakiti. Bertutur kata yang membangun senantiasa adalah sebuah pilihan yang harus kita buat terus-menerus. Untuk membangun kebiasaan mengambil keputusan yang tepat dalam bertutur kata, ada satu prinsip yang dapat kita terapkan, yaitu prinsip output akan sangat ditentukan oleh input.
Di dalam Matius 15, orang Farisi yang mencemooh murid-murid-Nya karena mereka tidak membasuh tangan sebelum makan. Yesus kemudian menegur mereka karena melanggar perintah Allah demi melakukan adat istiadat nenek moyangnya. Orang Farisi pandai dalam memenuhi semua ritual keagamaan dan peraturan-peraturan yang dibuat manusia, namun hati mereka jauh dari Allah.
Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka: "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang."
(Mat 15:10-11 / TB)
Yesus menekankan bahwa bukan makanan fisik yang masuk ke dalam mulut kita yang membuat kita menjadi tidak kudus, melainkan perkataan yang keluar dari mulut kita, itulah yang dapat membuat kita menjadi tidak kudus.
Perkataan itu merupakan output atau produk dari apa yang kita pikirkan. Dan pikiran kita sendiri adalah output dari setiap stimuli yang kita terima di sekitar kita. Stimuli ini dapat berupa perkataan yang kita dengar, film yang kita tonton, buku yang kita baca, games yang kita mainkan, dst. Stimuli ini memasukkan nilai-nilai ke dalam pikiran kita. Secara otomatis, otak kita dapat terbawa meresponi stimuli tersebut dan dapat membuat kita memikirkan hal-hal tersebut. Itulah mengapa prinsip paling utama untuk membangun kebiasaan berkata-kata yang benar adalah juga membangun kebiasaan berpikir yang benar. Setiap pikiran yang tidak kudus dan tidak berkenan kepada Allah harus kita singkirkan. Lalu setiap stimuli yang kita terima setiap harinya pun harus kita filter agar tidak membuat kita berpikir yang buruk.
Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.
(Filipi 4:8 / TB)
Akan menjadi sangat sulit untuk membangun kebiasaan berkata-kata yang baik apabila kita senantiasa bergaul dengan orang yang suka berkata kasar atau yang suka marah-marah. Akan menjadi sulit untuk berkata-kata membangun bila kita senantiasa mendengarkan perkataan yang menjatuhkan, menghina, dan bergosip setiap harinya. Akan menjadi sulit untuk memiliki pikiran yang jernih bila kita menonton film berjam-jam yang banyak adegan kasar dan perkataan yang buruk. Jadi kita harus bijaksana dalam mengatur intensitas dikelilingi oleh hal-hal yang tidak akan mendukung perkembangan kita dalam membangun kebiasaan berkata-kata baik. Kita perlu lebih banyak menghabiskan waktu kita membaca artikel atau buku yang membangun, menonton film yang mengajarkan nilai-nilai yang baik, serta terutama merenungkan Firman Tuhan.
“Kamu cantik sekali hari ini.”
“Kamu pasti bisa melakukannya.”
“Saya menyukai seleramu berpakaian.”
Kita semua senang bila mendengar seorang berkata yang menyenangkan tentang kita. Perkataan yang manis selayaknya sarang madu yang dapat membuat hari-hari yang pahit pun menjadi lebih manis. Ia dapat menyejukkan jiwa dan membawa kesembuhan dari penyakit sekalipun. Namun perkataan yang manis bukanlah hanya berbicara tentang pilihan kata yang dipakai, namun juga intonasi dalam mengucapkannya. Nada Do = C dengan Do = A akan sangat berbeda dampaknya bagi orang yang mendengar meskipun kata-katanya sebenarnya netral. Intonasi sangat krusial terlebih lagi di situasi perdebatan yang memanas.
Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.
(Amsal 15:1 / TB)
Ingatlah bahwa semakin keras intonasi lawan bicara kita, intonasi kita harus semakin lembut. Kelembutan itu akan meredakan kemarahan, ibarat air dingin memadamkan api yang sedang membara. Penghalang kita untuk melembutkan suara biasanya adalah pemikiran yang keliru. Kita seringkali menganggap bahwa semakin besar dan semakin tinggi intonasi kita, maka kita akan semakin didengar. Hal ini salah besar. Semakin bising suara, kita justru semakin ingin menutup telinga dan meninggalkan lawan bicara sejauh mungkin. Kita tidak tertarik mendengar isi perkataannya lagi karena kita sudah terganggu dengan caranya menyampaikan pesan. Bandingkan dengan seorang yang sedang berbisik kepada kita. Kita akan secara refleks mencondongkan telinga atau badan kita kepadanya dan menaruh perhatian lebih besar untuk mendengarkan isi perkataannya. Penghalang lain biasanya juga adalah rasa gengsi dan tidak mau kalah. Kita tidak mau dianggap lemah dan kalah dalam perdebatan. Kita seperti terbawa untuk membalas setiap perkataan agar ‘memenangkan’ argumen tersebut. Namun kasih sejati sesungguhnya tidak mengenal gengsi. Apalah artinya memenangkan sebuah argumen namun kehilangan hubungan dengan orang tersebut? Bila kita renungkan dengan sesama, yang diperdebatkan sama sekali tidak sepadan bobotnya dengan hubungan antar manusia.
Banyak yang berdalih bahwa kehidupan yang keras menjadikan dirinya berkata-kata kasar. Namun, daripada kita disetir oleh kehidupan, marilah kita ambil alih kemudi kehidupan kita. Bila kita menginginkan kehidupan yang manis, maka kita perlu mengubah haluan kemudi perkataan kita menjadi bertutur kata yang manis. Perkataanmu menciptakan duniamu. Bila ingin mengubah duniamu, ubahlah perkataanmu.
Great message . Thanks ;)
ReplyDelete