Friday, July 6, 2018

Bersikap Bijak Terhadap Lawan Jenis


by Glory Ekasari

Urusan menjaga hubungan dengan lawan jenis yang juga adalah saudara seiman kita di gereja memang gampang-gampang susah. Kadang kita merasa kita bersikap biasa saja, eehh dianya baper. Kadang kita naksir dan sudah kasih tanda-tanda, eeehh sana gak peka. Beberapa waktu lalu istilah friendzone sempat sangat ngetren, berhubung banyak cowok yang merasa ‘digantung’ oleh cewek yang sudah memberi sinyal-sinyal suka pada mereka. Tapi apakah itu salah si cewek sepenuhnya? Atau pihak cowok GR aja? Serba susah ya.

Tentunya kita tidak ingin menjadi batu sandungan, tapi kita juga menginginkan kebebasan—tidak hidup dalam rasa was-was kalau-kalau kita “salah memberi sinyal” ke pihak cowok. Solusinya, menurut saya, adalah hikmat. Kita harus selalu memikirkan dengan baik apa yang sedang kita lakukan dan apa konsekuensi dari tindakan kita itu. Sebagai orang dewasa, kita perlu memikirkan dampak tindakan kita terhadap orang lain, apalagi kalau itu menyangkut perasaan.

// PERHATIKAN TINDAKAN KITA

Saya ingin share beberapa hal umum, karena kita tidak mungkin membahas setiap kasus. Sebagai wanita yang takut akan Tuhan, hal-hal ini harus kita perhatikan ketika kita berteman dengan pria-pria di gereja: 

1. Frekuensi Komunikasi: ngobrol tatap muka, chatting, telepon, email, MSN Messenger, dll 
Kalau kita tidak berniat menjajaki hubungan lebih dari teman, yang pertama harus dihindari adalah komunikasi setiap hari. Apalagi komunikasi setiap hari, melewati jam malam normalnya orang ngobrol.

Komunikasi secara terus-menerus adalah untuk orang yang spesial bagi kita: keluarga, sahabat, pacar, suami, anak, intinya orang-orang terdekat dengan kita. Kalau kita menambahkan seorang teman cowok dalam daftar itu, wajar bila dia merasa dia orang yang spesial bagi kita. Ingatlah: kita berkomunikasi bukan hanya lewat kata-kata; segala tindakan yang kita lakukan mengirimkan pesan bagi orang lain, sekalipun pesan itu tidak tersurat. Berkomunikasilah secukupnya, sewajarnya. 

2. Pembicaraan tentang hal-hal pribadi 
Bukan hanya menjaga frekuensi komunikasi; kalau seseorang memang hanya teman biasa, tidak bijak bila kita membicarakan hal-hal yang terlalu pribadi dengan dia.

Hal-hal yang pribadi misalnya: masalah keluarga, rencana masa depan yang masih kita pikirkan sendiri, cerita mantan pacar (!), masalah kita dengan pacar/suami kita (!!). Sekali lagi, semakin pribadi masalah yang kita ceritakan, semakin dia mendapat pesan bahwa dia adalah orang yang spesial untuk kita. Hindari kesalahpahaman seperti ini. Kuasailah diri, sekalipun kita ingin curhat, dan bawalah masalah kita kepada Tuhan.

Demikian juga kalau dia mulai membicarakan hal-hal pribadi. Kalau perlu, tahanlah dia dari bercerita terlalu banyak (ini tentu menyangkal diri, karena cewek suka denger cerita), dan arahkan dia untuk bercerita pada orang lain, bukan pada kita (kalau bisa, sesama pria yang dewasa dalam iman). Ini lebih bijaksana dan berguna bagi semua pihak. 

3. Jalan Bareng 
Seorang cowok pernah mengajak saya keluar makan berdua. Saya langsung paham maksudnya, dan saya menolak dengan halus dengan cara bertanya, “Mau ngajak siapa lagi?” Ah, kasihan dia.

Dari situ kita tahu bahwa bagi cowok, kalau seorang cewek mau diajak jalan berdua, itu berarti dia membuka diri untuk hubungan yang lebih dari teman. Jadi sudah seharusnya kita bijaksana dan jangan asal mau saja diajak jalan (atau mengajak jalan) teman cowok.

Ada satu hal lagi. Semasa saya masih jomblo—dan orang-orang di lingkungan saya (teman-teman, gereja) tahu bahwa saya jomblo, saya sangat berhati-hati untuk tidak jalan bareng teman cowok berdua saja. Kenapa? Memangnya salah? Kalau pertanyaannya benar/salah, tentu saya tidak salah; saya bebas jalan dengan siapapun yang saya mau, wong namanya cewek single. Tapi saya punya satu hal yang harus saya jaga: reputasi saya. Saya tidak ingin menimbulkan skandal karena saya jalan dengan cowok yang berbeda-beda, lalu skandal itu membuat pelayanan saya terhalang. 

4. Kontak Fisik 
Saya tau, saya tau, cewek kalau lagi guyonan dan ketawa ngakak, sering tanpa berpikir me-naplok lengan teman cowoknya, atau mencubit dia.

Tapi jangan begitu lagi.

Saya sendiri adalah orang yang memiliki bahasa kasih physical touch (pembaca bisa merujuk pada buku The 5 Love Languages karangan Gary Chapman). Saya suka memegang, memeluk, mencium orang-orang yang saya sayangi. Kadang juga saya ingin menepuk pundak teman cowok saya kalau saya merasa berterima kasih atau mereka sudah melakukan hal yang baik. Tapi saya menahan diri untuk itu. Saya menjaga supaya hubungan pertemanan kami tetap sehat. Saya tidak ingin mengirim sinyal yang salah.

// KENAPA RIBET SEKALI?

Satu fakta membuat saya kagum adalah bahwa di dalam Alkitab, yang namanya hikmat itu diidentikkan dengan wanita. Kata “hikmat” dalam bahasa Ibrani maupun Yunani adalah dalam bentuk feminim. Bahasa Yunani untuk hikmat adalah sofia—nama yang banyak dipakai oleh para wanita. Ini mengajarkan pada saya bahwa wanita merupakan personifikasi kebijaksanaan. Wanita seharusnya hidup dengan bijaksana. Demikian pula yang dikatakan Alkitab:

“Perempuan-perempuan muda... mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar firman Allah jangan dihujat orang.”
(Titus 2: 4-5)

Bagian akhir dalam ayat itu sangat berarti bagi saya: “agar firman Allah jangan dihujat orang.” Ya. Bila wanita-wanita Kristen hidup bijaksana, suci, rajin dan bertanggung jawab, baik hati dan taat pada suami, orang akan melihat bahwa Kristus sungguh hidup di dalam kita. Tetapi bila kita hidup semau kita sendiri, tanpa memikirkan konsekuensi dari tindakan kita, menolak untuk mengendalikan diri dan tertib dalam hubungan kita dengan lawan jenis, maka Tuhanlah yang akan kena cela.

Fokus kita bukanlah kepada apa yang kita inginkan, kenyamanan kita sendiri, siapa pasangan hidup kita, dll. Fokus kita adalah pada Tuhan, yang memberi kita hidup baru. Paulus menulis, “Kamu telah mati (untuk dosa), dan hidupmu tersembunyi bersama Kristus di dalam Allah” (Kolose 3:3). Hidup kita adalah milik Kristus. Kalau kita bersikap baik pada orang lain, itu untuk Kristus. Kalau kita merespon pdkt cowok, itu untuk Kristus. Kalau kita pacaran, itu untuk Kristus. Kalau kita menikah, itu untuk Kristus. Kalau kita tidak menikah, itu juga untuk Kristus.
Wanita yang mengasihi Tuhan akan hidup bijaksana terhadap orang-orang di sekitarnya. Ini bukan merupakan beban bagi kita; ini merupakan kehormatan, karena kita boleh menunjukkan seperti apa hikmat Allah itu di dalam hidup kita sehari-hari.

// KEBEBASAN KITA

Jadi kita harus menjaga diri dalam hubungan dengan teman pria yang seiman. Kita tidak bisa berlaku sekehendak hati kita tanpa memikirkan konsekuensinya terhadap perasaan mereka. Apakah itu berarti kita sama sekali tidak memiliki kebebasan? Tapi mari kita pikirkan lagi: kebebasan seperti apa yang kita kehendaki?

Saya selalu merasa punya kebebasan terhadap saudara seiman: saya bebas untuk berlaku sopan, considerate, dan menghargai mereka sebagai pria yang punya perasaan dan kehendak. Kasih itu bukan hanya sekedar what we do, tapi juga what we do not do. Kita menghormati perasaan dan kehendak orang lain karena kita mengasihi mereka. Sebaliknya, bila kita mempermainkan perasaan orang lain, maka kita tidak mengasihi mereka.

Tuhan merancang manusia untuk sepenuhnya saling mencintai di dalam pernikahan. Saya sedih memikirkan pasangan-pasangan yang justru berhenti saling mencintai setelah mereka menikah. Wanita tidak diciptakan untuk tebar pesona pada semua pria; seorang wanita diciptakan untuk menolong satu pria—one particular man: suaminya. Terhadap suaminya, dia punya kebebasan untuk mencintai, menolong, melayani, menguatkan. Dan dia melakukan itu semua di dalam berkat Allah. Ini yang menjadi kehendak kudus Allah, dan ini juga yang seharusnya menjadi kehendak kita.

Beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba muncul pikiran ketika saya melihat suami saya yang sedang tidur: saya sayang sekali pada dia. Tapi tahukah pembaca, apa yang aneh? Saya tidak pernah merasa seperti itu selama kami masih pacaran. Pernikahan memberi saya kebebasan untuk mencintai suami saya sepenuhnya, tanpa menahan diri. Bersama dia saya bebas melakukan semua yang tidak pernah saya lakukan dengan pria lain: komunikasi terus-menerus, menceritakan isi hati saya yang terdalam, jalan bareng dia di muka umum sambil bergandengan tangan, dan hubungan yang intim sebagai suami isteri. Ketika saya mengikuti rencana Tuhan, saya mendapatkan kebebasan dalam kebenaran. 

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^