by Glory Ekasari
Kalau kita pernah membaca Alkitab sampai khatam, mungkin kita pernah merasakan “tersandung” di lima kitab pertama. Kejadian itu seru, karena cerita semua. Keluaran, bagian awalnya seru juga, karena cerita orang Israel keluar dari Mesir. Tapi begitu Imamat... Bilangan... Tidak sedikit yang mengeluh, “Pusing gue,” atau “Ga ngerti sama sekali apa maksudnya.” Waktu sampai di bagian ini, rasanya pengen cepet-cepet Perjanjian Baru aja.
Tapi apakah semua tata cara peribadatan dan hukum-hukum serta sensus penduduk yang dijelaskan sepanjang Imamat — Bilangan sama sekali tidak ada gunanya? Mengapa bagian itu dimasukkan dalam Alkitab?
Kitab Imamat nama aslinya adalah Vayikra, yang artinya kira-kira “Dan Ia (Tuhan) memanggil keluar.” Mulai dari sinilah umat Israel dibedakan oleh Tuhan dari segenap bangsa di muka bumi. Sebuah bangsa harus memiliki Allah yang mereka sembah, dan Tuhanlah Allah mereka. Sebuah bangsa harus memiliki hukum, dan Allah memberi mereka Taurat. Sebuah bangsa harus menyembah Allah mereka dengan cara yang disukai Allah itu, dan Allah menjelaskan dengan detail bagaimana Dia ingin disembah.
Selama mereka mengembara di gurun, ibadah umat Israel terpusat di Kemah Pertemuan. Kemah itu terbagi menjadi tiga ruangan: halaman, ruang kudus, dan ruang mahakudus. Halaman boleh didatangi oleh semua orang Israel yang tahir, ruang kudus hanya boleh dimasuki oleh imam, dan ruang mahakudus hanya boleh dimasuki oleh imam besar. Di ruang mahakudus itulah Allah menyatakan diri di atas tabut perjanjian. Untuk masuk ke Kemah Pertemuan, imam tidak bisa dalam keadaan apa adanya. Ia harus lebih dahulu mandi, membersihkan diri, dan menyembelih serta membakar korban binatang (kambing / domba / lembu) untuk pengampunan dosanya sendiri.
Yang menarik adalah, korban dalam bahasa Ibrani berasal dari kata yang berarti mendekat. Sebenarnya ini adalah ironi, karena Allah yang sempurna tidak mungkin didekati oleh manusia yang tidak sempurna hanya dengan memberi korban binatang. Melalui adanya korban, kita justru diingatkan lagi dan lagi bahwa ada penghalang antara kita dengan Allah, yaitu dosa kita. Kita berbuat salah. Kita tidak berkenan di hadapan Allah. Kita tidak bisa mendekat pada Dia yang kudus. Bahkan setelah korban binatang dipersembahkan pun, hanya imam besar yang boleh masuk ke ruang mahakudus, dan itu pun hanya pada waktu yang ditentukan. Semua orang lain hanya bisa memandang dari halaman dan bertanya-tanya, seperti apa Allah itu. Dengan kata lain, korban binatang tidak membawa makna apa-apa selain mengingatkan kita pada betapa besarnya dosa yang menghalangi kita dengan Allah.
Setelah Israel menjadi kerajaan yang besar dan kokoh, raja Salomo membangun Bait Suci yang sangat megah, dan untuk pentahbisan Bait Suci itu dia memberikan persembahan korban binatang yang spektakuler nilainya: 22.000 lembu sapi dan 120.000 kambing domba! Seandainya persembahan bisa membawa orang masuk surga, Salomo tentu sudah di puncak surga! Tetapi apakah ini yang dikehendaki oleh Tuhan? Ketika raja Saul tidak menaati perintah Tuhan dan berdalih bahwa ia berniat memberi persembahan kepada Tuhan (sebagai ganti ketaatan), nabi Samuel menegurnya dengan keras:
“Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan.” — I Samuel 15:22Persembahan yang Tuhan kehendaki adalah ketaatan yang sempurna. Binatang tidak punya pikiran dan kehendak untuk menyenangkan Tuhan; tetapi manusia memilikinya. Yang Tuhan mau bukanlah binatang yang mati, tetapi manusia yang hidup, yang menaati Tuhan dari waktu ke waktu dalam hidupnya. Namun sama seperti Saul, dan sama seperti orang Israel berabad-abad lamanya, kita gagal memberikan persembahan yang Tuhan kehendaki.
Kisah Israel dalam Perjanjian Lama ditutup dengan kembalinya sisa Israel dari pembuangan di Babel. Dipermalukan, dikecilkan, dan tidak dianggap oleh bangsa-bangsa di sekitar mereka, bangsa ini berusaha kembali pada Taurat dengan sungguh-sungguh. Di titik itu mereka sudah mengerti, bahwa tidak ada korban binatang apapun yang dapat membawa mereka mendekat kepada Tuhan, hanya ketaatan mereka yang (semoga) diterima sebagai ibadah oleh Tuhan. Sebenarnya inilah mengapa hukum Taurat diberikan bagi kita: untuk membuat kita sadar bahwa kita tidak mampu menaatinya.
Sampai akhirnya Tuhan, dalam kasih karunia-Nya yang besar, ikut campur dalam sejarah untuk membuka jalan bagi kita mendekat kepada-Nya.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^