by Krisan Wijaya
Waktu masih duduk di bangku SD, ada salah seorang teman sekelasku yang terkenal kaya – ayahnya seorang pebisnis sukses – let’s call her Fela (no offense untuk kalian yang kebetulan bernama sama, ya ;). Dan karena SD tempatku bersekolah dulu mayoritas siswanya berasal dari golongan menengah, Fela terlihat menonjol.
Ia sering berganti-ganti tas sekolah, tempat pensil serta segala pernak-pernik alat tulisnya yang lucu-lucu (dan tampak mahal). Kalau zaman aku SD dulu smartphone sudah menjamur seperti sekarang, berani taruhan, pasti Fela yang akan memiliki smartphone termahal dan tercanggih. Dan setiap kali Fela membawa barang baru ke sekolah, ia akan berceloteh mengenai organizer (waktu itu lagi musim)/tempat pensil/tas barunya ke anak-anak yang lain sampai satu kelas tahu. Salah seorang temanku pernah nyeletuk, “Sombong banget ya si Fela. Hobinya pamer melulu – mentang-mentang kaya.”
Aku setuju dengan kalimat temanku – sikap pamer adalah bentuk kesombongan. But now, I realize that pride is more than just showing off your wealth. Lagi-lagi waktu SD, aku belajar bahwa sinonim dari kata ‘sombong’ adalah ‘tinggi hati’. Dan semakin usiaku bertambah, aku semakin mengerti bahwa sombong berarti meninggikan diri sendiri di atas segalanya – baik manusia, bahkan Tuhan! In a proud person’s head, there are only three words: ME, MYSELF, and I.
That’s why God really hates pride – exalting ourselves means looking down on others and God. Yakobus 4:6 dan 1 Petrus 5:5 dengan kompak mengatakan, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” Amsal 8:13 juga mengatakan hal senada, “...aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh dengan tipu muslihat.”
C.S. Lewis mengatakan dalam bukunya yang berjudul Mere Christianity:
According to Christian teachers, the essential vice, the utmost evil, is Pride. Unchastity, anger, greed, drunkenness, and all that, are mere flea bites in comparison: it was through Pride that the devil became the devil: Pride leads to every other vice: it is the complete anti-God state of mind… it is Pride which has been the chief cause of misery in every nation and every family since the world began.
Pernyataan di atas bukan murni pendapat Lewis – ia merangkum pemikiran para pemimpin Kristen dari masa ke masa, dari berbagai denominasi yang berbeda – mereka semua sependapat bahwa kesombongan adalah dosa yang berbahaya. Lewis sendiri menyebut kesombongan sebagai “the great sin”. Mengapa demikian? Jawabannya ada di buku manual kehidupan kita: Alkitab.
Kejatuhan Iblis (Yesaya 14:12-15). Kejatuhan Hawa (Kejadian 3). Kejatuhan Uzia (2 Tawarikh 26). Kejatuhan Haman (Ester 3-7). Apa persamaan dari empat kejatuhan tersebut? Satu kata: kesombongan! Iblis diturunkan ke dalam dunia orang mati karena ia hendak menyamai Allah. Hawa tergoda memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat karena ingin menjadi seperti Allah. Uzia menjadi tinggi hati setelah kerajaannya kuat, dan merasa berhak mempersembahkan ukupan langsung kepada Tuhan, padahal hanya imam keturunan Harun yang sudah dikuduskan yang berhak melakukannya. Hidup Haman berakhir di atas tiang gantungan karena kebenciannya terhadap Mordekhai akibat pria itu tidak mau berlutut menyembahnya.
Empat tokoh tersebut dalam kejatuhannya sama-sama tidak menjadikan Tuhan sebagai Tuhan yang berdaulat atas hidup mereka. Mereka sama-sama merasa berhak untuk menjadi lebih “tinggi”. When a person is exalted very HIGH, there is only one way he can go – DOWN!
“Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:12)
God hates pride, but he loves the opposite of pride: humility! Dan siapakah yang merupakan contoh sempurna sebuah kerendahan hati? Our Savior himself! Dalam salah satu suratnya, Paulus mendeskripsikannya sebagai Sosok yang tidak menganggap kesetaraan dengan Allah adalah sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2:6-7). Dan kita tahu bahwa selama hidup-Nya di dunia, Ia menekankan pentingnya melayani, bukan dilayani. Kita tidak mungkin bisa melayani dengan benar bila tidak memiliki kerendahan hati.
Rendah hati tidak sama dengan rendah diri – menganggap diri sendiri tidak berharga. Humility means being comfortable with who you are in Christ – you are created, loved, and redeemed by God’s grace alone. Kita begitu berharga di mata-Nya! It increases our hunger for God’s word and opens our hearts to his Spirit. Rendah hati juga berarti menyadari bahwa kita membutuhkan – dan akan selalu membutuhkan – pertolongan Tuhan, menyadari bahwa kita tidak mungkin hidup dengan kekuatan sendiri. Dan tentu saja, isi kepala seseorang yang rendah hati tidak hanya tiga kata: ME, MYSELF, I – namun kepentingan orang lain juga.
“...dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Filipi 2:4)
Mungkin kita tidak terang-terangan mengatakan ingin menjadi setara dengan Tuhan, atau tidak membutuhkan Tuhan dalam hidup kita – but that doesn’t mean we’re 100% free of pride. Pride can show in the most subtle ways: saat kita menghadapi kesulitan, apakah kita ingat untuk berdoa dan mengandalkan Tuhan? Atau malah kita dipenuhi kekuatiran dan berusaha mengatasi kesulitan itu sendirian? Saat kita berhasil melakukan sesuatu, apakah kita ingat untuk mengucap syukur pada Tuhan? Atau malah kita menganggap keberhasilan kita murni karena usaha kita sendiri?
Relying only on your own strength is also a form of pride, because you don’t put God as your God.
Semoga pesan Paulus untuk jemaat di Korintus ini bisa menjadi pengingat agar kita tidak jatuh dalam kesombongan:
“What do you have that you did not receive? If then you received it, why do you boast as if you did not receive it?” (1 Cor. 4:7)
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^