Apakah pembaca merasa diri sombong? Apakah
pembaca berharap bisa lebih rendah hati? Bagaimana caranya? Apakah ada tips dan
triknya?
Mungkin pembaca berkata, “Engga kok, saya ga
suka nyombong.” Eits. Itu barusan nyombong bahwa dirinya ga suka nyombong.
Sayang sekali, di Alkitab tidak ada petunjuk
“langkah-langkah agar tidak sombong”.
Yang jelas kita disuruh rendah hati;
tetapi karena secara natural kita ini mahkluk yang suka menyombongkan diri,
kita jadi bingung bagaimana harus melaksanakan perintah untuk rendah hati
tersebut.
Kesombongan itu sudah built-in dalam pikiran kita. Perhatikan anak-anak kecil yang sedang
ngobrol satu dengan yang lain. “Aku punya mainan robot.” “Robotku lebih gede!”
“Robotku lebih bagus!” Kecil-kecil, ga ada yang ngajarin, udah
sombong-sombongan begitu. Waktu sudah besar, lain lagi sombongnya. “Anakku baru
bagi rapor kemarin. Puji Tuhan dapet ranking satu se-angkatan.” “Oh, anakku sih
ranking dua, tapi akselerasi dua tahun. Ini mau lompat kelas lagi, soalnya
gurunya bilang bisa langsung kelas enam.” .....
Dengan demikian kita tahu bahwa orang sombong
bukan karena dia juga memiliki apa yang dimiliki orang lain, tetapi karena dia
merasa memiliki lebih dibanding orang
lain. Baik dalam hal moral (“Saya lebih benar dari orang itu”), materi (lebih
kaya, tasnya merk yang lebih mahal, mobilnya lebih mewah, dst), tampang (ga
usah dijelasin lah ya), kemampuan atau talenta, atau apapun yang lebih
dibandingkan orang lain. Kita menjejerkan diri dengan orang lain yang menurut
kita levelnya di bawah kita, supaya bisa membanggakan diri. Begitulah
langkah-langkah menjadi sombong, yang sebenarnya tidak perlu diajarkan.
Kalau begitu, supaya tidak sombong, kita hanya
perlu melakukan sebaliknya: menempatkan diri dalam posisi serba kekurangan dan
tidak pernah lebih dalam hal apapun (moral, materi, talenta, dll). Apakah ini
berarti kita harus menyepi, tinggal di gua di gunung, dan berpakaian karung
goni? Tentu tidak masuk akal. Tapi kalau tidak begitu, kapan kita memahami kerendahan
hati? Ketika saya SD, wali kelas saya suka membawa gitar ke kelas dan mengajak
murid-muridnya menyanyi. Saya jadi ingin belajar gitar. Beberapa tahun
sesudahnya, kemampuan guru saya itu tidak lagi spesial buat saya karena saya
merasa sudah bisa bermain lebih baik dibanding beliau. Bila kita bekerja keras,
kita bisa menyamai orang yang talentanya, kekayaannya, atau karakternya di atas
kita. Kalau begitu tidak ada yang bisa membuat kita rendah hati dong?
Kecuali satu.
Sampai matipun, kita tidak akan bisa bersaing
dengan Tuhan. “Tuhanlah yang empunya
bumi dan segala isinya.” Mustahil bersaing dengan Dia secara materi. “Sebab
Tuhan itu baik; bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Wow, selama-lamanya! Mustahil bersaing dengan
Dia dalam hal karakter dan moralitas. Dalam hal apapun, kita tidak akan pernah
sebanding dengan Tuhan. Karena itu, orang yang mendekat kepada Tuhan, yang
tinggal di dekat Dia, yang bersahabat akrab dengan Dia, tidak bisa menyombongkan diri.
Berada di dekat Tuhan membuat kita sadar
betapa kecil, tidak berarti, dan lemahnya kita. Membaca firman Tuhan membuat
saya insyaf betapa saya ini orang berdosa. Doa membuat saya selalu sadar bahwa
saya bergantung sepenuhnya kepada Dia. Setiap kali saya memikirkan betapa
kecilnya saya dan betapa besarnya Tuhan, saya semakin sungguh-sungguh
menyerahkan diri kepada-Nya. Saya ini seperti orang miskin, kere, debu di
hadapan Maharaja. Ayub, orang terkaya dari Timur (untanya 3000, dombanya 7000,
dst beribu-ribu) yang disebut sebagai “orang benar”—yang berarti secara
moral dia unggul di antara orang lain—bersaksi ketika dia berjumpa dengan
Allah:
“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau,
tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku
dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”
—Ayub 42:5-6
tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku
dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.”
—Ayub 42:5-6
Bukan hanya Ayub yang mengalami hal ini. Nabi
Yesaya, ketika melihat Tuhan di tengah para serafim yang memuji-muji Dia,
seketika menyadari betapa berdosanya dia di hadapan Allah Yang Mahakudus. Petrus,
ketika tahu bahwa Yesus yang naik ke perahunya bukan orang biasa, berkata,
“Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku orang berdosa.” Zakheus, ketika Yesus
datang ke rumahnya, langsung bertobat, menyumbangkan hartanya, dan mengganti
kerugian orang-orang yang ia peras. Siapapun
yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan, mengalami perubahan drastis dalam
caranya memandang dirinya sendiri! Seperti pemungut cukai dalam perumpamaan
yang Yesus sampaikan, kita berseru kepada Allah, “Ya Allah, kasihanilah aku,
orang berdosa.” Betapa miskin dan malangnya kita di hadapan Allah Yang
Mahakudus!
Lebih-lebih bila kita tinggal di dekat Tuhan
setiap hari. Kita akan menjadi seperti Paulus, seorang tokoh agama Yahudi yang
tadinya sangat disegani karena ketaatannya pada hukum dan dedikasinya terhadap
Yudaisme, yang kemudian dengan tulus berkata, “Apa yang dahulu merupakan
keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dibanding
segalanya.” Dengan tegas ia meneruskan, “Oleh karena Dialah aku telah
melepaskan semuanya itu”—nama besar, pengakuan orang, kehormatannya sebagai pemimpin—“dan
menganggapnya sampah.” Dia telah menemukan harta yang paling berharga, mutiara
yang terindah, yang ia bayar dengan hidupnya.
Dekat-dekatlah
pada Tuhan. Biarlah firman-Nya menerangi hati kita dan
cahaya keagungan-Nya menyilaukan mata kita, sehingga kita senantiasa sadar
bahwa kita ini hanya cermin yang memantulkan kemuliaan-Nya.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^