Monday, April 4, 2016

Siapa yang Lebih Kaya?

by Glory Ekasari

“Hark, now strikes on my ear the trampling of swift-footed coursers!”

Bersama dengan kutipan dari epos Iliad karya Homerus itu, berakhirlah nyawa kaisar Nero di ujung belati yang menusuk lehernya. Ia membunuh dirinya sendiri, karena begitu takut akan dipukuli sampai mati oleh orang-orang yang mengejarnya. Ia yang selalu berusaha menyingkirkan orang-orang yang ingin menggulingkan kekuasaannya, akhirnya dinyatakan sebagai musuh publik oleh jenderal Galba, yang menggulingkannya dari posisi kekaisaran.

Nero menjadi kaisar di tahun 54 M pada usia 17 tahun, menggantikan kaisar Claudius. Ibunya, Agrippina, adalah orang yang berjasa menaikkannya ke takhta. Namun kemudian Nero merasa Agrippina terlalu ikut campur dalam urusannya; bahkan Agrippina beberapa kali melakukan usaha untuk menggulingkan Nero dari takhta, sehingga kaisar itu akhirnya “terpaksa” membunuh ibunya tersebut. Ketakutan Nero akan kudeta begitu luar biasa, ia membunuh saudara tirinya yang masih remaja, Britannicus, yang dianggapnya sebagai ancaman atas takhtanya. Tahun silih berganti dan Nero semakin paranoid; semakin banyaklah orang yang ia bunuh dengan niat mempertahankan kekuasaan.

Akhirnya toh ia harus menghadapi kenyataan juga. Semakin ia berusaha melenyapkan orang-orang yang hendak merebut takhta, semakin banyak yang memusuhinya. Nero menemui ajalnya pada tahun 68 M. Ironis sekali: orang yang berada di puncak dunia – kekaisaran Romawi yang ditakuti semua orang di dunia, namun tidak menikmati apa yang ia miliki dan selalu ketakutan dalam hidupnya. Ketakutan itu sungguh terjadi, dan ia memilih mengakhiri hidupnya sendiri dalam keputusasaan.
Sebelum kematian Nero, sebuah naskah yang kelak menjadi sejarah, ditulis oleh seseorang yang hidup sezaman dengan kaisar itu.
“Darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan, dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik; aku telah mencapai garis akhir; aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hariNya.”
Siapa yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas?
Seorang tahanan yang mendekam dalam penjara rumah di kota yang sama dengan tempat tinggal kaisar Nero, kota Roma. Ia dihukum mati pada masa pemerintahan Nero, dan Nero bahkan tidak mengenalnya. Dia seorang Yahudi yang dibenci oleh orang-orang sebangsanya karena keyakinannya.

Namanya Paulus. Kita tidak memiliki satupun naskah tulisan Nero pada saat ini, namun tulisan Paulus adalah bagian dari sebuah buku yang paling banyak dicetak di seluruh dunia. Paulus menulis tiga belas surat dalam Alkitab Perjanjian Baru – paling tidak enam di antaranya ditulisnya dari dalam penjara. Kutipan di atas adalah bagian dari suratnya kepada Timotius, anak didiknya yang berada di kota Efesus.

Di sinilah ironinya. Paulus adalah seorang tahanan. Harta kekayaannya hanyalah uang receh dibandingkan kaisar. Kaisar bisa memiliki segala materi yang ia mau, bisa makan apapun yang ia mau, pergi ke manapun yang ia mau, menikmati kesenangan apapun yang ia mau; sedangkan Paulus bahkan tidak diizinkan keluar dari tahanan. Namun dari kata-kata mereka, kita melihat sebuah kontras. Kontras yang terlalu menyedihkan. Kaisar Nero, dalam seluruh kekayaannya, adalah manusia yang sangat miskin; ia tidak memiliki damai, sukacita dan ketenangan hati sampai hari kematiannya. Paulus, dalam segala keterbatasannya sebagai tahanan, adalah orang yang sangat kaya dibandingkan kaisar! Ia begitu tenang menghadapi kematian, bahkan ia berkata bahwa setelah mati ia malah akan menerima mahkota dari Tuhan.
Perhatikanlah apa yang ditulis Paulus dalam surat-suratnya – yang ditulisnya dari dalam penjara. Kutipan berikut ini diambil dari suratnya pada jemaat di Filipi.
“Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah!”
“Bagiku, hidup adalah Kristus – dan mati adalah keuntungan.”
Kemudian tulisan berikut ini terdapat dalam suratnya kepada jemaat di Efesus.
“Aku berdoa supaya kamu.. dapat memahami betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan.”
Terakhir, dari suratnya pada orang-orang Kristen di kota Kolose.
“Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus untuk tubuhNya, yaitu jemaat.”
Ada apa dengan orang ini? Bagaimana mungkin, dari dalam penjara, dalam segala kekurangannya, dalam keadaan yang menyedihkan, ia menulis kata-kata yang demikian menghibur dan optimis? Jawabannya akan menjadi jelas bila kita mengenal siapa Paulus. Kehidupan Paulus direkam dalam kitab Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Lukas dan merupakan bagian dari Alkitab Perjanjian Baru. Singkatnya, Paulus menyatakan tentang dirinya sendiri:

“Paulus, hamba Kristus Yesus yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah.”

Itulah identitasnya. Paulus menyerahkan hidupnya untuk melayani Yesus Kristus. Dan sepanjang surat-suratnya, kita akan menemukan seseorang yang tidak kuatir bila orang lain mengambil alih kedudukannya; tidak ambil pusing bila orang berbuat jahat terhadap dia; tetap meneruskan misinya sekalipun kesulitan menghadang; dan menyambut kematian dengan sukacita. Orang ini begitu miskin dan menderita, namun ia begitu kaya dan bahagia. Di dalam penjara, kekayaannya jauh melebihi kaisar yang menguasai sepertiga wilayah dunia. Mengapa bisa demikian? Paulus memiliki apa yang tidak dimiliki oleh Nero: Kristus Yesus. Ia menulis kepada jemaat di Efesus – sebuah kalimat yang menunjukkan betapa kayanya ia di dalam Yesus Kristus:
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang, di dalam Kristus, telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.”

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^