by Glory Ekasari
Masih segar dalam ingatan saya ketika masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Dua pasangan calon (paslon—orang Indonesia mah semua ada singkatannya) yang bertarung, Prabowo-Hatta Rajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla, punya pengikut yang sama-sama die hard, yang sangat bersemangat membela pasangan yang mereka unggulkan. Antusiasme luar biasa itu (orang tua saya sampai bilang, “Belum pernah rakyat Indonesia sampai melek politik seperti ini!”) ternyata ada eksesnya juga: kampanye hitam dari kedua belah pihak. Namanya juga kampanye hitam, dengan cara-cara yang licik dan bahkan memanfaatkan dusta, akhirnya pasti menimbulkan permusuhan. Saya menjadi saksi perang status di media sosial, sesama teman saling menyerang dan menghina karena beda pandangan politik, dan akhirnya fenomena unfriend pun terjadi.
Kenapa jadi seperti itu? Karena pendukung masing-masing pihak percaya bahwa paslon yang mereka dukung akan menyelamatkan bangsa ini. Saya pribadi sih tidak merasa kondisi Indonesia parah-banget-hampir-bangkrut-dan-bubar, tapi saya juga punya harapan bahwa paslon yang saya pilih ketika itu akan membawa Indonesia maju, jadi negara yang mampu bersaing secara global. Dan saya merasa paslon sebelah juga jadi salah satu ancaman bagi keselamatan Indonesia! Mungkin waktu itu saya juga berpotensi jadi die hard supporter paslon yang saya dukung. Untung ga sampai jadi keyboard warrior dan bermusuhan dengan orang lain.
Nah, dua orang capres tahun 2014 bertemu lagi head-to-head dalam Pemilu 2019, hanya beda cawapres. Hari pengumuman cawapres yang lalu bagi saya menjadi penanda dimulainya keseruan menjelang Pilpres 2019. Ketika cawapres kedua belah pihak diumumkan, saya melihat reaksi kekecewaan dari kedua kubu. “Kok dia sih?” “Dia mah ga beres kerjanya.” “Itu mana bisa kerja?” dan yang paling parah, “Ah, males milih jadinya... Golput aja!”
Sekali lagi, mengapa timbul reaksi demikian? Saya rasa sama saja penyebabnya: pendukung kedua capres berharap bahwa capres yang mereka dukung akan menjadi penyelamat bagi Indonesia.
Saya tiba-tiba ingat sebuah kejadian dalam Alkitab, yang akan saya bahas dalam artikel ini.
Bangsa Israel kala itu berada dalam kondisi yang berbeda dengan bangsa kita sekarang. Kita merdeka, mereka dijajah. Mereka ada di bawah pemerintahan bangsa Persia, dengan raja Ahasyweros (Xerxes I) di takhta. Secara kebetulan, raja Ahasyweros sebelumnya telah mencari ratu pengganti ratunya yang diceraikan karena tidak menuruti perintah raja. Dan secara kebetulan, Ester (atau Hadasah), seorang wanita Yahudi, dipilih raja menjadi ratu yang baru. Setelah itu terjadi konflik antara Mordekhai, paman Ester, dengan Haman, seorang pembesar raja Ahasyweros. Mordekhai, Ester, dan semua orang Yahudi yang tinggal di benteng Susan sepakat untuk berpuasa dan berdoa agar Ester bisa menghadap raja dan menyampaikan permasalahan ini. Singkat cerita, raja Ahasyweros mengabulkan permohonan Ester agar bangsanya diselamatkan, dan menghukum mati Haman.
Cerita ini ditulis dalam kitab Ester. Dan sekalipun dalam kitab Ester kita tidak menemukan nama Allah disebut satu kalipun, semua pembacanya akan setuju bahwa apa yang terjadi dalam kitab itu menunjukkan pemeliharaan Allah yang luar biasa atas umat-Nya. Orang Yahudi sebelumnya sudah dua kali mengalami holocaust: oleh bangsa Asyur dan bangsa Babel. Mereka hampir mengalami holocaust berikutnya oleh bangsa Persia, tetapi tangan Tuhan yang tidak kelihatan melindungi mereka dari kepunahan.
Kalau ditanya, siapa yang menyelamatkan bangsa Yahudi? Jawabannya bukan Ester, bukan juga Mordekhai, atau bahkan raja Ahasyweros. Setiap kali hari raya Purim dirayakan di Israel sampai hari ini, mereka tidak memuja orang-orang itu, tetapi memuji Tuhan yang telah menyelamatkan bangsa mereka. Penyelamat Israel yang sejati adalah Allah Yang Mahakuasa.
Demikian juga, penyelamat Indonesia yang sejati adalah Tuhan yang kita sembah, Yang Mahakuasa.
Kedua paslon, semua anggota legislatif, semua jajaran pemerintahan, adalah manusia. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan negara ini; mereka hanya bisa memanfaatkan pengalaman dan keahlian mereka untuk bekerja bagi negara. Tapi faktor penentunya ada di tangan Tuhan. Atas kehendak Tuhan, dalam sehari, keputusan untuk membantai semua orang Yahudi berubah jadi keputusan yang menguntungkan mereka. Atas kehendak Tuhan juga Indonesia akan maju atau mundur; bukan atas kehendak manusia.
Jangan sampai kita terlalu memandang orang-orang yang hanya menjadi alatnya Tuhan untuk memimpin negara, sampai kita kehilangan sound judgment dan kecewa, putus asa, marah, atau mendukung dengan membabi buta. Jangan sampai kita seperti murid Yesus yang berkata, “Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak (Yesus mati)” (Lukas 24:21). Mereka tidak bisa melihat karya Tuhan karena mereka mengharapkan Yesus menjadi raja duniawi, bukan Raja segala raja!
Kita adalah umat Tuhan, kita percaya pada Tuhan yang, sekalipun tidak kelihatan, berkuasa mengendalikan bangsa-bangsa, termasuk bangsa kita. Pak Jokowi dan pak Prabowo adalah orang-orang yang berpengaruh, tetapi mereka bukan Tuhan; mereka manusia biasa seperti kita yang dipakai Tuhan untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Mari kita menentukan pilihan sesuai pertimbangan kita, tapi ketahuilah dengan pasti bahwa hasil akhir dan nasib negara ini tidak berada di tangan mereka, namun di tangan Tuhan, Juruselamat Indonesia yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^