Thursday, April 26, 2018

Gereja, Dengarlah...


by Tabita Davinia Utomo

Gals, masih inget sama artikel yang ditulis Kak Dhieta bulan Maret lalu, kah? Waktu itu, dia nulis bahwa selalu ada pemulihan bagi mereka yang mengalami sexual abuse (kita akan perluas juga ke sexual harassment). Ternyata, sebagai orang percaya—yang juga adalah gereja—juga bisa menolong mereka untuk pulih dari trauma, lho! Wah, what a good news, ya =) Tentunya ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, Gals. Hehe. 

Untuk mendalami topik ini, Pearl berkesempatan untuk mewawancarai Ibu Cecilia Sagita, seorang psikolog dan konselor dari Lifespring Counseling and Care Center. Well, langsung cuss baca hasil wawancara kami di bawah ini, ya! :) 

1. Sebenarnya, sexual abuse maupun sexual harassment itu apa ya, Bu? 
Kalo sexual abuse itu tindakan kekerasan yang lebih diarahkan pada anak-anak, misalnya eksploitasi seksual, memperlihatkan kemaluan pada anak-anak, memaksa anak untuk memegang kemaluan, memaksa anak melihat atau melakukan kegiatan seksual, stimulasi seksual, dan sebagainya. 

Sementara sexual harassment itu lebih mengarah pada aktivitas atau tindakan seksual yang tidak dikehendaki oleh pihak satunya, tapi dipaksakan oleh pihak lainnya. Hal ini tidak terbatas pada hubungan atau kegiatan seksual, namun juga termasuk ungkapan verbal yang mengundang atau mengarah menuju kegiatan tersebut. 

2. Apa yang bisa orang awam (selain konselor) lakukan untuk membantu teman kita yang mengalami sexual abuse? Ditambah lagi dengan adanya stigma yang berlaku di masyarakat bahwa survivor juga berperan dalam terjadinya abusing itu. 
Justru persepsi negatif (stigma) pendengar, seperti karma, kutukan, atau pakaian si survivor yang mengundang itulah yang harusnya diruntuhkan dulu. Apalagi kalo kita kenal korban sama pelakunya. Besar kemungkinannya kita akan mempertanyakan, “Ah, kayaknya dia nggak mungkin gituin kamu, deh. Baik-baik lho, dia... Mungkin kamunya yang mancing, lha pake baju aja seksi gitu.” Padahal si survivor itu butuh didengarkan, karena dia aja butuh keberanian besar untuk bisa bercerita pada kita. Nah, yang bisa kita lakukan adalah menjadi pendengar (listener) yang baik 

Mendampingi seseorang yang jadi survivor dari sexual abuse maupun sexual harassment itu bukan hal yang mudah, lho. Kita perlu memperhatikan kata-kata yang akan kita sampaikan ke dia. Misalnya, kalo omongan kita udah mengarah, “Kok, bisa?”, atau mencurigai (intrusive) gitu, dia bakal nggak mau cerita. Soalnya dia merasa di-blaming. Padahal kejadian seperti itu bisa terjadi kapan dan di mana aja, jadi kita nggak bisa asal ngomong. 

Ini nih, contoh kata-kata yang nggak dibolehin diucapin ke survivor yang baru cerita ke kita: 
A | Oya aku ngerti. Aku paham prasaanmu. 
     walaupun maksud kita baik ngomong gini, tapi sama aja bohong kalo kita nggak mengalami secara langsung apa yang dia alami dan rasakan.
B | Wah kamu beruntung, ya. 
     Beruntung dari manaaa kalo dia aja masih dalam tahap kemarahan atas kejadian itu. 
C | Tenang aja. Ga bakal kejadian lagi kok. 
     Siapa yang tahu kalo itu bukan kejadian yang pertama? 
D | Eh, emang kejadiannya kayak gimana, sih? Kok, kamu bisa digituin sama that creepy person
     Kita tanya-tanya kejadiannya secara spesifik, padahal bukan psikolog atau konselor.
E | “Lhah, emang kamu pulang jam berapa? Sendirian? Pake rok? Wah, hati-hati, lho kamu, tuh!”
     Hindari judgement dan perkataan lainnya yang bikin mereka malu.

3. Bagaimana kita bisa berempati dan menjadi saluran Tuhan untuk memulihkan dia dari trauma? 
Be there and be a good listener. Hargai dia secara verbal dan nonverbal, baik melalui gerakan, gestur tubuh, dan kontak mata. Support and encourage dia, misalnya tanya, “Ada yang bisa aku bantu nggak untuk selanjutnya?” Soalnya, kadang-kadang ada yang pakai persepsi sendiri, terburu-buru lapor ke orangtua atau hamba Tuhan, atau malah labrak si pelaku. Nah, dampak parahnya ke survivor adalah... dia jadi merasa nggak dipercaya dan dampak-dampak negatif lainnya. 

Tuhan yang memulihkan dia lewat kehadiran kita, bukannya kita berhak khotbahin dia. Tuhan yang bekerja lewat kita ingin agar kasih-Nya diwujudkan dengan cara kitanya jadi pendengar yang suportif. 

4. Bagaimana pendapat Bu Cecilia mengenai awareness about sexual abuse in the church? 
Gereja itu terbentuk dari umat/jemaat. Nah, apakah semua umat itu sadar atau tidak bisa dilihat dari jumlah kasus dan laporan pengaduannya. Walaupun angka pengaduannya meningkat, tapi kasus sexual abuse pun begitu. Kalo di Amerika, 1 dari 5 perempuan dan 1 dari 6 laki-laki mengalami sexual abuse sebelum usia 18 tahun. Dengan kondisi kayak gini, yang berani melapor cuma sepersekian persen—menunjukkan bahwa masih ada banyak yang bungkam (baik anak maupun orangtua). 

Dalam beberapa adegan film yang terkait dengan sexual harrasment pun, kadang-kadang pihak korban merasa enggan untuk melaporkan apa yang menimpa pada dirinya. Dan hal ini menyebabkan banyak kasus yang belum terungkap. Kalo dilihat dari fenomena seperti ini, mungkin negara juga nggak terlalu paham sedetil itu—kalaupun sudah banyak yang berani speak up, masih lebih banyak lagi kasus yang belum terungkap. Regulasinya juga kurang jelas. Jadi yaa... semuanya tergantung ke pribadinya masing-masing. Menurut saya, kalau ada jemaat yang mengalami sexual abuse atau sexual harassment (dan mereka berani speak up), mungkin gereja bakal lebih aware. 

Walaupun konselor punya awareness yang baik terhadap isu ini, tapi kesadaran gereja akan sexual abuse maupun sexual harassment tergantung dari gereja dan pengalaman dari gereja itu sendiri. Mungkin belum sampai bikin program tentang itu. Di sekolah anak-anak gitu juga udah mulai ada sex education yang sebelumnya sempet dianggap tabu. Butuh kesadaran dari pribadi sampai pada akhirnya masyarakat sadar. Ingat, ketika survivor berani untuk berbicara atas apa yang terjadi dan masyarakat mendukung perlindungan terhadap survivor, bukannya meremehkan, maka peluang si pelaku untuk mengulangi perbuatannya akan semakin kecil. 

Apapun yang dipakai seseorang itu adalah haknya. Walaupun ada baiknya setiap orang berpakaian dengan sopan karena tubuh kita adalah milik Tuhan yang juga perlu kita jaga. Tapi, saat menghadapi teman atau saudara yang menjadi korban, kita juga tidak bisa langsung menuduh atau mempersalahkan mereka atas kejadian traumatis yang mereka alami. Gimana mereka mau bicara kalau yang tanya lawan jenis dan cara bertanya-nya aja bikin ilfeel (baca: dibumbui judgement)? 

5. Sejauh apa kami dapat menjadi teman curhat bagi mereka yang terkena sexual abuse, lalu dalam kondisi apa kami perlu merekomendasikan mereka untuk dapat menghubungi konselor profesional? 
Nggak mudah ya, buat si survivor bisa cerita. Jadi gini, sih. Setiap orang punya kemampuan mendengar yang berbeda. Ada pendengar yang marah karena nggak bisa melindungi, atau bingung harus melakukan apa. Tapi ada juga yang bisa mendengarkan dengan baik dan mendampingi si survivor sekaligus menyarankan konselor atau psikolog kalau dibutuhkan. 

Nah, itu. Sebenarnya kita boleh share kalo tau ada konselor atau psikolog yang bisa bantuin dia. Tapi itu hak si survivor buat dateng ke sana. Kalo si pendengar udah overwhelming sama ceritanya si survivor, nggak perlu memaksakan diri. Si pendengar juga perlu tahu keterbatasan sendiri—dengan catatan tetap men-support survivor, ya. Apalagi kalo dia udah mulai nunjukkin tanda-tanda terganggunya keberlangsungan hidup. Misalnya jadi depresi, menarik diri, gonta-ganti pacar, nggak mau keluar rumah. Nah, kita bisa arahin dia buat ke psikolog atau konselor karena udah muncul gejala-gejala depresi seperti itu. Kalau tidak ditolong, bahkan bisa sampai bunuh diri. 

Temen-temen bisa kasih pemahaman tentang profesi konselor atau psikolog ke dia, biar dia bisa mempertimbangkan. Terus juga bisa temeni dia buat dateng ke sana. Itu udah jadi bentuk support yang baik banget buat dia, lho :)). Atau bisa juga nyaranin buat ke pastor, pendeta, ato hamba Tuhan lainnya yang bisa mereka percayai. Yaa di-encourage aja dan jangan dipaksakan. 

6. Pertanyaan terakhir, Bu. Hehe. Kalo si survivornya nggak mau buat konseling gimana? 
Keputusan tetep ada di tangan survivor, bukan kita. Dan selalu inget: jangan ada judgement. Tetep dengerin dia waktu cerita. Tanya ke dia, “Kamu pengen laporin ato nggak? Pengen share ke yang lebih profesional atau nggak?” Tanyain aja gitu. Dampingi dia dalam prosesnya dan cari tahu penyebab kenapa dia jadi tambah kacau. Yaaa memang harus sabaaaar kalo ngadepin temen yang trauma gitu. Perlu diinget juga buat setiap kita yang mendampinginya buat nggak kasih pressure dan terburu-buru dalam ngelakuin sesuatu. Atau kita juga bisa nemenin dia ngelakuin self-care buat relaksasi dan hiburan. Misalnya pergi makan bareng, nonton, olahraga. Nggak usah terlalu dalam menggali traumanya, tapi tetep jadi temen dia :) 

Kadang-kadang, yang takut malah kita sendiri. Dianya yang cerita, tapi reaksi emosi kita yang kaget. Padahal sebenernya, ada saat di mana kita nggak perlu ngomong lama-lama. Orang Indonesia paling bingung kalo si pencerita udah nangis histeris. Ya udah nggak apa-apa. Kasih momen buat dia mencurahkan perasaan. Kalo udah speechless, it’s okay buat ga ngomong apa-apa. Itu wajar. Normal. Reaksinya yang depressed bisa dipahami karena dia trauma. “Iya, nggak apa-apa kok, kalau kamu mau nangis...” 

--**-- 


Well, menarik kan, Gals? =) Aku pun waktu wawancara juga terbukakan oleh fakta-fakta baru; dan menurutku, cara seperti ini juga bisa kita terapkan pada orang lain yang butuh hati dan telinga kita. Bukan cuma yang abis kena sexual abuse maupun sexual harassment. Who knows, kalau waktu kita mendengarkan cerita orang lain, dia akan mengurungkan niatnya untuk bunuh diri karena dia nemuin Tuhan lewat kita? So, ayo kita belajar buat lebih peduli lagi pada orang-orang di sekitar kita, Pearlians! :) 

Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, 
dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. 
(Amsal 17:17, TB)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagi teman2 yang mungkin butuh konseling atau ingin bertanya lebih lanjut bisa menghubungi: 

- ALAMAT -
Komplek Ruko Gading Bukit Indah,
Jl. Raya Gading Kirana, RT.18/RW.8,
Klp. Gading Bar., Klp. Gading,
Kota Jkt Utara,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
14240

- JAM KERJA -
09.00--17.00

- TELEPON -
+622129574201

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^