by Tabita Davinia Utomo
Kalo Pearlians mengikuti isu-isu yang ada di media sosial (medsos) belakangan ini, isu feminisme jadi salah satu trending topic di dalamnya. Ini karena banyaknya aktivis wanita dan pesatnya arus informasi melalui media. Kalo cuma dibaca sekilas, feminisme bisa kelihatan kontradiktif. Di satu sisi, feminisme menyadarkan banyak orang bahwa wanita punya derajat yang sama dengan pria; tapi di sisi lain, feminisme bisa dianggap sebagai bentuk pengagungan atas kehadiran wanita—makanya bisa aja kaum prianya yang justru direndahkan.
Nah, untuk artikel ini, aku mencoba bertanya pada beberapa temanku tentang makna feminisme sesuai pemahaman mereka. Berikut beberapa di antaranya...
- Idealisme mengenai kesetaraan perempuan dan laki-laki. But instead of bringing the men down, we bring the women up biar keduanya ada di posisi yang sama—walopun kadang yang terjadi justru perempuan “terlihat menindas” dan ingin memiliki posisi yang lebih tinggi daripada laki-laki.
- Sesuatu yang sangat lekat dengan perempuan; semuanya dihubungkan dengan kelembutan seorang perempuan.
- Sisi kewanitaan.
- Keadaan egaliter. It means perempuan dan laki-laki memiliki martabat yang sama dan dihargai dengan cara yang sama.
- Sebuah konstruksi sosial tentang atribut atau kualitas yang sebaiknya dimiliki wanita.
- Cewe-cewe bakoh (a.k.a. strong) yang ga butuh cowo.
Wah, menarik ya, ladies. Tapi sebenernya, feminisme itu apa, sih?
The advocacy of women's rights on the ground of the equality of the sexes. (1)(Tindakan mendukung hak-hak wanita atas dasar kesetaraan gender [antara pria dan wanita].)
I should confess to you: this is the first time I write something that’s so viral nowadays, based on what I learnt before. Hahaha :p Di kuliah, aku sempet juga icip-icip dikit tentang feminisme ini, tentang gimana seorang wanita menganggap emansipasi perempuan menjadi sesuatu yang “diagungkan”. Makanya nggak heran kalo ada banyak wanita yang pengen berkarir dan nggak mau “terkurung” di rumah sebagai emak-emak seumur hidup. Hmm... Masalah panggilan hidup mah tergantung Tuhan mau kasih kita yang kaya apa; entah jadi wanita karir ato SAHM (Stay-at-Home Mom). Tapi ada satu hal yang harus kita tanamkan dalam pikiran kita:
The idea that women are equal with men isn’t from a feminist idea; it’s a Christian idea. —Rebekah Merkle (2)
Kita perlu bersyukur kalo bisa memperoleh pendidikan (mungkin sampe detik ini), karena sebelum emansipasi perempuan dimulai di Indonesia, perempuan dianggap “kaum kelas dua” oleh para laki-laki. Thanks to R. A. Kartini, Dewi Sartika, etc. who brought us to this great era, kita bisa belajar dan bekerja (dengan derajat yang sama) seperti laki-laki. Tapi ini bukan berarti kita bisa sombong, “Nih, gw bisa kerja di perusahaan X—bahkan posisinya lebih tinggi daripada cowo yang pernah ngeledekin gw zaman sekolah dulu!” Nggak. Di manapun Tuhan tempatkan kita saat ini, kita harus percaya bahwa Dia ingin kita berkarya di situ untuk memuliakan-Nya. :) Well, I know this may sound clichĂ©, but it’s the truth. Karena tanpa Tuhan, kita nggak akan bisa ada di posisi sekarang dengan usaha sendiri. Bisa aja sih, kita bilang kalo kita beruntung; but come on... Nggak ada yang namanya keberuntungan atau kebetulan; semuanya udah Tuhan arahin—as long as we walk on His path with obedience. Kita bisa milih buat tetep berjuang dengan kekuatan sendiri buat mencapai posisi atau pekerjaan yang ada, dan puas waktu apa yang kita harapkan terwujud. Tapiiii, inget apa yang dibilang sama penulis Amsal,
Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan. (Amsal 15:33, TB)
Paulus pun bilang dalam 1 Korintus 11:11, “...dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan.” Selama empat bulan pertama di tahun 2018 ini, kita telah dan akan terus belajar bagaimana menjadi wanita yang memiliki hati yang takut akan Tuhan dan menghormati laki-laki sebagai kaum yang setara dengan kita. Kalo orang yang dulunya budak pada akhirnya dibebaskan, apalagi kita yang telah merdeka di dalam Tuhan (Kolose 3:11)?
Aku keinget pernah nulis tentang put my feet on his shoes, untuk mengajariku bagaimana aku melihat dari sudut pandang si doi. :) Menjadi setara dengan laki-laki bukan berarti kita memiliki kesempatan untuk menjatuhkan mereka di saat mereka salah (jadi yang namanya statement ‘women are always right’ nggak selalu bener :p haha!), tapi justru merupakan kesempatan untuk saling memahami dan menghargai—dan juga memiliki keterbukaan hati untuk dibentuk. :) Bayangin kalo laki-laki yang selamanya ada di posisi dominan, sedangkan kita cuma bisa manut tanpa berhak membantah—apalagi kalo keputusan yang doi buat salah? Duh, jadi nggak imbang, kan... Syukurlah, Tuhan nggak bermaksud menciptakan laki-laki dan perempuan dengan ketimpangan derajat, melainkan seimbang—walopun laki-laki emang diharapkan yang jadi pemimpin keluarga karena punya natur memimpin (dilihat dari aspek dominasi, kesehatan, dan kecerdasan) (3) bukankah itu tujuan laki-laki dan wanita diciptakan? Agar kita saling mengasihi dalam kebenaran.
Baca juga:
Blaker, N. M., Rompa, I., Dessing, I. H., Vriend, A. F., Herschberg, C., & Vugt, M. v. (2013). The height leadership advantage in men and women: Testing evolutionary psychology predictions about the perceptions of tall leaders. Group Processes & Intergroup Relations, 17-27. doi:https://doi.org/10.1177/1368430212437211
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^