Monday, April 9, 2018

Feminisme Yang Alkitabiah


by Glory Ekasari

Suatu kali saat menengok seorang rekan yang sakit, saya mendapatinya sedang menonton film Iron Jawed Angels (2014). Film itu bercerita tentang gerakan suffrage (hak pilih) di Amerika Serikat pada awal abad ke-20, yaitu saat para wanita berjuang untuk mendapatkan hak-hak konstitusional yang sama dengan pria, termasuk hak suara dalam pemilihan umum. Perjuangan mereka memakan waktu lama dan menghadapi halangan yang luar biasa, tetapi mereka memegang prinsip utama bangsa Amerika: demokrasi. Bila ada hak suara untuk para pria, harus ada juga hak suara untuk para wanita. Gerakan ini selanjutnya dikenal sebagai first wave feminism.

Selanjutnya, second wave feminism berkaitan dengan masalah kesetaraan hak bagi pria dan wanita dalam hal ketenagakerjaan. Para wanita berjuang supaya mereka dihargai setara dengan pria dalam pekerjaan, supaya mereka tidak mendapat bayaran lebih rendah hanya karena mereka wanita. Sampai saat ini masalah kesetaraan hak kerja masih terus diperjuangkan. Di Amerika Serikat beberapa waktu lalu, contohnya, media menyorot tentang ketidaksetaraan gaji bagi aktor dan aktris Hollywood. Aktor cenderung menerima bayaran lebih tinggi daripada aktris.

Secara pribadi saya bersyukur karena di Indonesia hal-hal yang diperjuangkan dalam first dan second wave feminism bisa dibilang bukan masalah. Sejak negara kita merdeka, semua warga negara, pria dan wanita, memiliki hak memilih dan dipilih. Semuanya bisa sekolah. Semua bisa mencapai tingkat karir yang tinggi, dan saya hampir-hampir tidak pernah mendengar wanita digaji lebih rendah dari pria hanya karena dia wanita. Dalam hal kesetaraan gender, bagi saya, Indonesia sungguh maju.

Third wave feminism adalah perjuangan wanita menolak segala macam pelecehan dan kekerasan seksual terhadap wanita, serta mengukuhkan hak-hak wanita sebagai individu. Dalam generasi ketiga ini jugalah feminisme menjadi identik dengan individualisme. Perjuangan agar aborsi dilegalkan, misalnya, didasarkan pada hak sang wanita untuk menentukan apa yang dia ingin lakukan dengan tubuhnya. Hak-hak seksual wanita juga sangat dikedepankan—wanita berhak mendapat kepuasan seksual tanpa dikenakan label “perempuan ngga bener” dan mengekspresikan dirinya secara seksual sebagaimana yang dia inginkan.

Fourth wave feminism, yaitu era kita sekarang, menurut saya adalah perpanjangan dari third wave feminism. Hanya saja, gelombang keempat ini merupakan feminisme yang sangat, sangat bergantung pada media sosial. Karena itu sekarang kita melihat di mana-mana di internet ada aktivis feminisme, yang usianya relatif masih muda-muda. Twitter menjadi platform sharing berbagai macam hashtag—terakhir yang paling heboh adalah #metoo. Instagram juga tidak kalah, dengan kampanye #freethenipple. Facebook menjadi salah satu tempat favorit untuk menulis opini panjang lebar. Kalau pembaca suka jalan-jalan di forum diskusi populer di internet, pasti pernah membaca istilah seperti sexism (diskriminasi berdasarkan jenis kelamin) atau misoginy (woman hating). Istilah-istilah itu menjadi makin populer dalam generasi sosial media ini.

Kita yang ada di Indonesia mungkin tidak terlalu terpengaruh dengan hal-hal ini. Tetapi ini adalah kondisi yang nyata di dunia kita. Dan sebagai bagian dari generasi yang usianya tanggung (milenial bukan, gen X juga bukan), saya juga sempat berpikir, saya harus bereaksi bagaimana terhadap gerakan feminisme yang sedang berlangsung di dunia—terutama karena saya juga wanita?

Karena pegangan kita adalah Alkitab, kita harus kembali kepada firman Tuhan. Alkitab dan feminisme mungkin bukan dua hal yang kelihatannya berkontradiksi. Banyak orang menganggap Alkitab tidak mendukung hak-hak wanita. Tapi kalau Tuhan menyelamatkan pria dan wanita dari setiap generasi, memakai pria dan wanita untuk pekerjaan-Nya yang mulia, saya percaya Tuhan tidak membedakan pria dengan wanita. Bagi Tuhan, kita, wanita, sama berharganya, sama berhaknya untuk menjadi anak-anak-Nya, dengan pria.

Feminisme tidak sama dengan kebebasan untuk melakukan apa saja yang kita mau.

Seperti yang saya sebutkan di atas, third wave feminism adalah masa dimana feminisme menjadi identik dengan individualisme: hak-hak individu diperjuangkan habis-habisan. Seorang wanita berhak menggugurkan kandungannya, karena ia berhak menentukan apa yang dia ingin lakukan dengan tubuhnya. Ia berhak berhubungan seks dengan siapapun yang ia suka, karena ia bebas melakukan apapun dengan tubuhnya sendiri.

Tidak seorangpun, tidak wanita maupun pria, yang punya kebebasan mutlak seperti itu.

Sebagai pengikut Kristus, kita percaya bahwa hidup kita adalah milik Kristus. Kalau kita menyebut Dia Tuhan, berarti kita menundukkan diri kepada kepemimpinan-Nya. Bagi orang yang mau mengikut Dia, Kristus memberi syarat: orang itu harus menyangkal diri. Ini artinya menyangkal keinginan kita sendiri ketika hati kita bertentangan dengan Tuhan, dan memilih taat kepada Dia. Itulah penyangkalan diri. Saya tidak berhak. Kristus yang berhak memerintah dalam hidup saya.

Ini berlaku bagi wanita maupun pria. Pria tidak punya hak untuk melakukan apapun yang dia mau (sekalipun orang yang tidak percaya Tuhan mungkin berpikir demikian), begitu juga dengan wanita. Semua orang tunduk kepada Tuhan. Dimana feminisme sudah melanggar firman Tuhan atas nama hak azasi manusia, disitu kita harus menolaknya. 

Feminisme bukan hak untuk man-hating atau menuntut berlebihan agar wanita dihormati. 

Menuntut agar wanita tidak direndahkan secara verbal, fisik, maupun seksual? Kita dukung. Membenci pria karena dianggap penjahat terhadap wanita? Waduh, jangan buru-buru.

Kadang feminisme yang ekstrim berlaku seolah-olah pria adalah musuh wanita. Pria digambarkan sebagai pihak yang memperlakukan wanita sebagai objek, tidak menghormati wanita, merendahkan wanita. Ini tidak adil bagi pria. Banyak aktivis feminisme gelombang pertama dan kedua adalah pria yang percaya bahwa wanita tidak semestinya direndahkan hanya karena mereka wanita.

Baik pria maupun wanita adalah manusia yang berdosa. Keduanya berbuat kesalahan. Saya yakin bukan hanya pria yang bisa berpikiran kotor, nonton film porno, masturbasi, atau berzinah. Wanita juga berdosa dalam hal-hal itu. Banyak pria melakukan kekerasan secara fisik terhadap wanita; tetapi berapa banyak wanita yang jahat terhadap pria melalui kata-kata mereka yang kasar dan menyakitkan? Yang terjadi adalah, wanita dan pria yang berdosa sama-sama saling menyakiti.

Wanita tidak superior dari pria hanya karena kita secara fisik lebih lemah dan secara emosional lebih sensitif. Jadi jangan sampai tameng “feminis” membuat kita menuntut agar pria menempatkan kita di menara gading dan harus selalu memperlakukan wanita sebagai princess. Selain hak, kita juga memiliki kewajiban dalam keluarga, gereja, dan masyarakat. Jangan sampai kita terlalu banyak menuntut dan melalaikan kewajiban kita. 

Tuhan adalah pelopor feminisme. 

Kok bisa begitu? Ya jelas, karena Dia yang menciptakan perempuan.

Kalau kita baca Kejadian 1-2, setiap kali Tuhan selesai menciptakan sesuatu, Dia melihat ciptaan-Nya dengan puas dan berkata bahwa semuanya itu sungguh sangat baik. Dan manusia adalah yang terbaik dari segala ciptaan-Nya. Hanya manusia yang diciptakan berdasarkan blueprint, dan blueprint itu adalah Allah sendiri.

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya
Menurut gambar Allah, diciptakan-Nya dia;
Laki-laki dan perempuan, diciptakan-Nya mereka.
(Kejadian 1:27)

Sebenarnya sampai di baris kedua pun ayat tersebut sudah jelas (baris kedua adalah baris pertama diulang lagi, dengan urutan yang dibalik). Tetapi firman Tuhan menekankan kepada kita bahwa gambar Allah “dibagi” kepada dua jenis manusia yang Dia ciptakan: laki-laki dan perempuan.
Sebagai hasilnya, laki-laki punya sifat-sifat dominan yang mewakili sifat-sifat Allah, seperti naluri untuk memimpin dan melindungi, keberanian dan ketangguhan, fokus dan kekuatan. Sifat-sifat ini juga dimiliki perempuan, tetapi tidak dominan. Di pihak lain, perempuan punya sifat-sifat dominan yang juga mewakili sifat-sifat Allah: memelihara, mengadministrasi, belas kasihan dan kelembutan, multitasking dan ketekunan. Ketika seorang laki-laki yang mengasihi Tuhan menikah dengan seorang perempuan yang mengasihi Tuhan, kedua orang itu menjadi satu dan sifat-sifat Tuhan terwakili secara lengkap.
Di dalam kita, para wanita yang mengikut Kristus, ada DNA Tuhan. Ada sifat-sifat-Nya, ada blueprint-Nya. Dan semua itu sungguh sangat baik di mata Tuhan.

Feminisme yang Alkitabiah adalah yang self-respecting dan memuliakan Tuhan. 

Salah satu media yang paling banyak dieksploitasi oleh para feminis yang bergerak di bidang seni adalah tubuh perempuan. Eksploitasi ini merupakan lambang pemberontakan, dengan anggapan bahwa selama ini wanita selalu diatur dengan norma sosial tentang bagaimana cara berpakaian—padahal pria tidak demikian. Pria bebas telanjang dada di tempat umum, dan orang-orang tidak peduli. Tetapi kalau wanita yang telanjang dada?! God forbid! Dari situlah muncul kampanye seperti #freethenipple (yang cukup banyak di-endorse para penyanyi Amerika Serikat).

Yang jadi pertanyaan, untuk siapa kita menjaga cara berpakaian kita? 
Untuk para pria? 
Untuk diri sendiri? 
Atau untuk Tuhan? 

Disini saya merasa ayat ini sangat berguna: “Jika engkau makan, atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31). Yang saya inginkan adalah Tuhan setuju dengan cara berpakaian saya, dengan perbuatan saya, dengan kegiatan media sosial saya; kalau Tuhan suka dengan perilaku saya, manusia tidak akan punya alasan untuk meremehkan saya. “Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, adalah kudus,” kata-Nya, “dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain supaya kamu menjadi milik-Ku” (Imamat 20:26). Ketika saya melakukan firman Tuhan, saya bertindak kudus—saya memisahkan diri dari orang-orang yang tidak mengenal Dia; I respect myself.

Jadi standarnya bukan lagi penilaian masyarakat, bukan juga penilaian saya sendiri terhadap diri saya, tetapi penilaian Tuhan. Kalau saya hidup dan bertingkah laku sebagaimana yang Tuhan kehendaki, berarti saya mengikuti tuntunan Pencipta saya, dan hidup saya pasti sesuai dengan blueprint.

Saya ingin menutup dengan pernyataan ini.

Banyak wanita sibuk memperjuangkan apa yang menurut mereka adalah hak-hak mereka, sehingga mereka tidak menjalankan peran mereka sebagai wanita. Ini kontra-produktif. Dunia butuh wanita. Pria butuh wanita. Tuhan menciptakan wanita untuk menjadi alat-Nya yang memuliakan-Nya. Jangan sampai kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang kita inginkan sampai kita melupakan tujuan kita diciptakan dan apa yang bisa kita lakukan sekarang. Feminisme yang sejati terjadi ketika seseorang wanita menemukan identitasnya di dalam Kristus, dan menjadi wanita, anak, kakak, adik, isteri, ibu, nenek, pekerja, ibu rumah tangga, yang menjalankan perannya di dunia sesuai tujuan Tuhan.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^