by Indri
Setiap
wanita single pasti
pernah memimpikan sebuah pernikahan yang indah seperti di
dongeng-dongeng masa kecil, di
mana suatu hari dia bertemu dengan pangeran
kuda putihnya dan pangeran tersebut menikahinya, kemudian
... happily
ever after. Nah,
di dongeng kan gak pernah diceritakan bagaimana kelanjutan pernikahan
putri dan pangeran tersebut.
Makanya gak heran wanita single
ingin segera menikah, supaya segera hidup bahagia selamanya, berpikir
bahwa setelah menikah hidup akan lebih enak, lebih terjamin,
bebas dari masalah keluarga,
dan seterusnya.
Memang
gak salah 100% sih impian tersebut, tapiiii... ada yang perlu para
single ketahui bahwa
sebuah pernikahan bukanlah akhir dari segalanya,
melainkan sebuah awal dari kehidupan yang baru. Kalau ada teman
menikah kita selalu menulis,
“Selamat Menempuh Hidup Baru.”
Saat
menulis dulu, terus terang saya belum tahu benar maksudnya, saya
nulis kalimat tersebut karena kebiasaan aja hehehe
...
Setelah saya menikah baru benar-benar tahu
maksud dari ucapan tersebut. Ternyata memang pernikahan itu adalah
sebuah lembaran kehidupan yang baru yang berbeda dengan masa single.
Pernikahan
tidak hanya dibangun atas dasar cinta,
“Pokoknya saya sudah cinta mati sama dia, saya gak bisa hidup tanpa
dia apalagi dia baik banget sama saya.”
Pernikahan juga memerlukan pengorbanan dan mematikan ego
masing-masing.
Tujuan
Tuhan menciptakan pernikahan adalah untuk pria dan wanita saling
melengkapi, saling menguatkan dan saling membangun supaya
masing-masing menjadi serupa dengan Tuhan Yesus. Menikah tidak
sekedar kebutuhan biologis dan supaya kita tidak kesepian tetapi
menikah mempunyai tujuan yang mulia yaitu membentuk keluarga ilahi di
mana orang lain bisa melihat ada Tuhan Yesus di dalam keluarga kita.
Marriage
is a verb,
not a noun! (Pernikahan merupakan kata kerja,
bukan kata benda!)
Jadi
tidak hanya berakhir di pesta pernikahan kemudian semua beres dan
kita tinggal duduk diam menikmati buahnya. No..no..no...
Sebuah
pernikahan itu harus dijalani dan diperbarui terus-menerus.
Bisa dibayangkan seperti ini. Contohnya saya menikah usia 31 tahun.
Kalau Tuhan kasih saya anugerah sbisa hidup sampai 80 tahun, nah itu
berarti saya harus hidup bersama dengan orang yang sama (suami)
selama minimal 50 tahun. Wow!! 50 tahun sodari-sodari!
Hehehe...
bukan waktu yang sebentar bukan?
Seperti
yang dimuat di edisi yang lalu, pernikahan tidak sekedar menyatukan
dua insan tapi juga dua keluarga. Dua keluarga yang pasti mempunyai
kebiasaan dan ‘adat’ yang berbeda. Nah,
biasanya perbedaan-perbedaan itu baru
terlihat setelah kita memasuki pernikahan yang sebenarnya. Sewaktu
saya dan suami menikah, kami memakai ayat 1 Kor.
13: 4-7
Kasih
itu sabar,kasih itu murah hati,
ia
tidak cemburu. Ia
tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ia
tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri
sendiri.
Ia
tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
ia
tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Ia
menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu,
mengharapkan
segala sesuatu, sabar
menanggung segala sesuatu
Kasih
adalah fondasi untuk membangun sebuah rumah tangga/pernikahan, karena
kasih itu adalah sifat Allah sendiri. Kasih yang benar memiliki 13
sifat, yaitu: sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan
diri, rendah hati, sopan, tidak egois/menang sendiri, bukan pemarah,
bukan pendendam, membela yang benar, dipercaya menyimpan rahasia,
optimis dan sabar menanggung segala sesuatu (tahan menderita).
Memang
lebih mudah untuk mengasihi orang yang tidak
dekat dengan kita, dan jauh
yang lebih sulit untuk
mengasihi orang yang sangat dekat dengan kita, di mana tiap hari
pasti kita melihat wajahnya dan berinteraksi dengannya. Tidak heran
saat sudah tidak ada kasih,
banyak pasangan suami istri saling menyerang dengan perkataan dan
perbuatan mereka, bahkan untuk berkata,
“Maaf” pun sangat sulit, yang ada justru dendam kesumat.
Everyday
is a brand new day
Cerita
sedikit pengalaman saya saat memasuki pernikahan (maklum masih
penganten baru jadi masih fresh
rasanya hahaha). Saya dan
suami dari kota yang berbeda, saya dari Semarang dan suami dari Kudus
(note: saya anggap itu
‘kota kecil’
hehehe).
Saat single, saya bisa
saja bangun jam berapapun (biarpun saya bangun gak sampe jam 10
sih..), tidur sampai tengah malam atau lembur sampai pagi juga gak
masalah, karena tanggung jawabnya hanya kerjaan dan urusan rumah
sendiri. Kemudian saya menikahi seorang pria yang hidupnya sangat
teratur, tidur pukul 8 malam, bangun pagi sekali pukul 4–5 pagi dan
jam 6 pagi sudah buka toko. Sebenarnya saya sudah gak kaget dengan
kebiasaan suami, karena di saat pertemanan (saya gak sebut ‘pacaran’)
suami sering cerita aktivitasnya sehari-hari termasuk kebiasaan
bangun dan tidurnya. Tapi namanya perubahan tetap saja pasti awalnya
aneh dan butuh penyesuaian. Apalagi merubah pola yang sudah
berpuluh-puluh tahun berjalan pasti butuh perjuangan kan? Saya bisa
saja kalau pagi masih enak-enakan tidur, tidak perlu menyediakan
sarapan, cuekin suami yang berangkat kerja tapi apakah seperti itu
istri cara melayani suami? Saya lebih memilih untuk praktek kasih di
mana saya tidak mementingkan ego saya
dengan berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan suami. Setiap pagi
saya berusaha bangun dengan semangat dan senyum sukacita sambil
mengatakan, “Selamat pagi.”
Demikian
juga suami, kalau dia terbangun lebih dulu dia langsung berbisik
“Selamat pagi.”
Untuk saya, kata-kata tersebut juga menjadi sebuah penyemangat di
pagi hari.
Itu
hanya sedikit contoh praktis mempraktekkan kasih. Setiap hari, seumur
hidup kita pasti akan dihadapkan dengan ujian kasih.
Contoh
lain: suami
sudah janji akan pulang pukul sekian, tapi ternyata dia mendadak ada
janji dengan orang lain sehingga pulangnya lebih malam. Sebagai istri
bisa saja kita langsung komplain dan SMS,
“Katanya mau pulang jam sekian, tapi kenapa sampai jam segini belum
nyampe rumah?”
Ingat... SMS itu gak ada intonasinya, jadi seringkali menurut istri
itu sebagai wujud perhatian sama suami, tapi suami menangkapnya si
istri gak percaya sama suami. Akhirnya dari hal sepele muncul
konflik. Saat mengalami hal
seperti itu,
para istri bisa memilih untuk bersabar dan menunggu sampai suami di
rumah dan suami pasti akan menceritakan kegiatannya.
Jangan
pernah ragu-ragu dan jemu untuk praktek kasih terhadap suami, karena
kasih yang diperbarui terus-menerus
akan membentuk ikatan keluarga yang kuat. Saat nantinya Tuhan
tambahkan anggota keluarga (anak), anak juga melihat dan belajar
bagaimana cara ortunya mengasihi, sehingga secara tidak langsung anak
belajar praktek kasih. Melalui kasih yang kita kerjakan,
di situ
orang lain bisa melihat ada Tuhan di dalam hidup kita, dan tentunya
nama Tuhanlah yang dimuliakan.
Saat
single saya pernah
berpikir kalau sudah menikah pasti tidak bisa sebebas masa single.
Setiap pergi harus laporan dan minta ijin suami, kalau memutuskan
sesuatu harus diskusi dengan suami.
Saya
juga sempat bayangkan nantinya kalau sudah menikah harus kehilangan
teman dan pelayanan saya di Semarang. Ternyata.... setelah saya
menikah kekuatiran saya tidak terbukti.
Sebaliknya,
suami justru banyak memberi support
dan masukan untuk pribadi saya. Memang sebagai istri, sudah kewajiban
saya harus diskusikan lebih dahulu kegiatan saya dengan suami karena
suami pasti juga tidak ingin istri terlalu capek apalagi saya harus
setir sendiri bolak balik Semarang–Kudus.
Setelah
menikah saya juga berusaha mengisi hidup baru saya dengan aktivitas
yang baru. Saya mulai belajar memasak, hal yang jarang sekali saya
lakukan saat saya masih single.
Banyak teman yang gak percaya saat saya masuk dapur karena saat
single saya masuk
dapur hanya untuk masak air, mie instan dan telor hehehe... Saya
belajar dengan browsing
resep-resep di net dan tanya ke mama saya. Awal belajar masak karena
saya pribadi bosan dengan makanan Kudus yang itu-itu saja, sedangkan
di Semarang begitu banyak pilihan kuliner. Sama sekali tidak ada
tuntutan dari suami untuk saya memasak, apalagi suami saya termasuk
pria yang makannya ‘gampangan’ jadi gak pernah rewel masalah
menu.
Setelah
saya mulai aktivitas baru saya, sungguh di luar dugaan ternyata suami
puas dengan masakan saya, dan tiap hari dia pasti tanya “Hari ini
masak apa,
yang?” Dan
tidak jarang saat makan suami bilang,
“Kalau masakan di rumah enak, kan gak perlu jajan di
luar.”
Hasilnya.. saya tambah semangat belajar masak.
Dan
karena memasak itu jauh lebih murah daripada membeli masakan,
jadi otomatis bisa menabung untuk hal lainnya.
Selain
itu hasil masakan masih bisa dibagi ke mertua dan ipar. Dengan
membagi masakan,
secara tidak langsung saya praktek kasih yang murah hati.
Seperti
itulah contoh dalam keluarga kecil kami, hal yang kelihatannya
bagi kita mungkin kecil dan sepele
ternyata bisa jadi berkat untuk suami dan orang lain.
Yang pasti jangan pernah menyerah untuk
mempraktekan kasih tiap hari, karena kasih tidak berkesudahan.
Berikut
ini tips-tips
pernikahan langgeng bagi yang akan menikah, baru menikah maupun
sudah lama menikah :
- Peganglah pernikahan sebagai sebuah komitmen dan covenant (perjanjian).
Tempel kata-kata janji
nikah yang pernah diucapkan sewaktu pemberkatan di tempat yang Anda
dan pasangan mudah lihat. Jadi setiap saat ingat bahwa itu adalah
sebuah komitmen dan perjanjian Anda dengan Tuhan.
- Kasih sebagai pengikat
"Kita mengasihi, karena Allah
lebih dahulu mengasihi kita." (1 Yoh. 4:19
). Kasih adalah sifat Allah sendiri, dengan
praktek kasih barulah kasih Tuhan dinyatakan dalam kehidupan. Jangan
mengharapkan balasan saat kita belajar mengasihi, karena kasih itu
bicara soal bertepuk sebelah tangan. Kita tetap mengasihi walaupun...
meskipun... (Contoh:
tetap mengasihi suami walaupun perut suami sudah tidak six
pack ).
- Saling percaya dan terbuka antara suami istri
Dari awal pernikahan
bangunlah kejujuran untuk terbuka dan saling percaya satu sama lain.
Dengan demikian ikatan tersebut tidak mudah dihancurkan oleh konflik,
gosip, dan masalah yang menimpa.
- Jangan pendam kemarahan
Sebelum tidur bereskan
dahulu konflik dengan suami, jangan tidur dengan membawa kemarahan.
“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah
matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” (Efesus 4:26).
Kemarahan yang dibiarkan berhari-hari tidak
akan berkurang justru menambah masalah tambah ruwet.
- Bangun terus doa bersama, komunikasi dan kasih mesra
Doa akan memperkuat sebuah
pernikahan, karena dengan doa kita berarti menghadirkan Tuhan sebagai
orang ketiga. Selalu sediakan waktu untuk berkomunikasi, misalnya
saat akan tidur atau bangun tidur, ngobrolah dengan pasangan.
Terutama bagi yang sudah punya anak, pasti sebagian besar waktu akan
tersita untuk anak, namun demikian tetap sediakan waktu berdua saja.
Tidak ada kata tua untuk melakukan sesuatu
yang romantis untuk menjaga kasih mesra, contoh: berikan kado suami
saat berulang tahun, bergandengan tangan walaupun sudah usia 50 tahun
lebih, dan seterusnya.
Tips tersebut saya
bagikan bukan karena pernikahan saya sudah
perfect,
tapi tips-tips itu juga saya praktekkan untuk memperkuat pernikahan
saya.
Pernikahan bukanlah
merupakan akhir segalanya tapi awal dari kehidupan baru di
mana melalui pasangan kita, kita semakin
diproses dan diasah untuk menjadi serupa gambaran Allah. Nikmatilah
setiap proses yang Tuhan sediakan lewat kehidupan pernikahan kita.
Saat
kita taat dan mau diproses.
Tuhan akan sediakan keluarga ilahi
dan nama Tuhan juga
dimuliakan. Soo... never give up!
^^
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^