Monday, January 6, 2020

Ucapan Bahagia



by Glory Ekasari

Biasanya orang-orang akan mengadakan perayaan saat akan memasuki tahun yang baru. Kita berhenti sejenak dari pekerjaan masing-masing; pemerintah menyatakan tanggal 1 Januari sebagai hari libur nasional; berbagai tempat wisata ramai dengan banyak keluarga yang ingin menikmati liburan bersama. Mereka tersenyum dan tertawa—menunjukkan bahwa mereka merasa bahagia atas adanya satu hari libur itu.

Ya, manusia selalu mencari kebahagiaan.

Mengapa orang bekerja keras mencari uang? Supaya kaya dan bisa memiliki apapun yang dia mau, dan dia berbahagia.

Mengapa orang menikah? Supaya ada yang mendampinginya, dan dia berbahagia.

Mengapa orang mengejar prestasi? Supaya dia diakui orang lain, dan dia berbahagia.

Saat ini, banyak orang (mungkin termasuk kita) berusaha mencari kebahagiaan—bahkan dalam momen-momen sederhana yang, dulunya, sering kita abaikan. Makanya ada slogan “Bahagia itu sederhana” dan “Jangan lupa bahagia”. Ironisnya, di zaman kita ini—dimana semua serba ada dan dunia dalam keadaan relatif nyaman—manusia tetap saja tidak berbahagia. Ternyata bahagia tidak sesederhana itu.

Jika demikian, apakah “Ucapan Bahagia” yang ada di Alkitab tidak berlaku
di zaman serba instan ini?

Matius 5:3 adalah kalimat pengajaran (discourse) pertama Yesus dalam Injil Matius, dan Dia memulainya dengan kata, “Berbahagialah.” Dalam bahasa Ibrani, kata ini disebut “ashrei”, yang sering digunakan dalam doa-doa orang Yahudi dan diulang berkali-kali dalam kitab Mazmur. Dalam Perjanjian Lama—yang melatarbelakangi masyarakat pada zaman Yesus—istilah “kebahagiaan” bukan berupa momen-momen sederhana bersama orang-orang terkasih, bukan pula kesuksesan, kekayaan, atau pengakuan dari orang lain. Bagi mereka, kebahagiaan adalah pemberian Allah kepada orang-orang yang dianggap berkenan kepada-Nya.

Inilah yang dibicarakan Yesus dalam khotbah pertama-Nya di bukit saat itu. Dia menjawab kebutuhan manusia—yang mencari kebahagiaan seumur hidup mereka. Yang tidak kalah menariknya adalah bagaimana Dia berbicara kepada para pendengar-Nya. Saya ingin mengajak Pearlians memperhatikan hal-hal ini.

// OTORITAS YESUS
Sebelum memperhatikan kata-kata-Nya, kita perlu memperhatikan Siapa yang berkata-kata. Siapakah Yesus? Bagaimana pendengar-Nya saat itu akan merespon Dia? Orang Yahudi memegang teguh Tanakh (Perjanjian Lama) sebagai kitab suci mereka, dan Yesus memakai kata-kata yang sama dengan Mazmur—salah satu kitab yang paling familiar dalam Perjanjian Lama.

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik,
yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh.
(Mazmur 1:1)

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
(Matius 5:3)

Dengan menggunakan kata-kata yang sama, Yesus menyetarakan kata-kata-Nya sendiri dengan yang Allah berikan dalam Perjanjian Lama. Kalimat Yesus bukan anjuran atau nasehat semata; Dia berbicara dengan otoritas yang sama dengan Firman Allah.

Tidak berhenti di situ, Dia juga membuat pernyataan yang tidak kalah berani dengan berkali-kali berkata, “Kamu telah mendengar firman: (isi Perjanjian Lama), tetapi Aku berkata kepadamu: (kata-kata-Nya sendiri).” Dengan demikian Dia “memaksa” para pendengar-Nya untuk tidak hanya memeriksa perbuatan mereka, tapi juga sampai kedalaman hati mereka—sesuai firman Tuhan: “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.” (Amsal 16:2).

Yesus juga pertama kali memperkenalkan Allah sebagai “Bapa” dalam Matius 5:16, sekaligus mendobrak hubungan manusia dengan Allah yang selama ini diwarnai ketakutan dan keterasingan. Dia mengajar murid-murid-Nya untuk berdoa (seperti yang dilakukan rabi-rabi lain bagi para murid mereka), tetapi membuka doa-Nya dengan kata “Bapa”. Akhirnya, seluruh rangkaian khotbah Yesus dalam Matius 5-7 ditutup dengan pernyataan Yesus bahwa orang yang percaya dan mendengarkan kata-kata-Nya adalah orang yang bijaksana yang mengambil keputusan yang benar dalam hidupnya.

Setelah mendengarkan semua yang Yesus katakan, tidak heran jika timbul kontroversi mengenai diri-Nya. Markus mencatat: “Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat” (Markus 1:22).

// PARADOKS KEBAHAGIAAN
Setelah melihat bagaimana Yesus menegaskan bahwa kata-kata-Nya setara dengan Firman Allah sendiri, mari kita lihat isi pengajaran-Nya. Ketika kita mendengar, “Berbahagialah orang yang …”, mungkin kita akan melanjutkan kalimat tersebut dengan, “Kaya!” atau “Sukses,” atau mungkin juga, “Menemukan cinta sejatinya.” Tetapi Yesus memulai khotbahnya tentang kebahagiaan dengan berkata,

“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”
(Matius 5:3)

Kata “miskin” bukan hanya berarti kekurangan uang untuk bayar cicilan, ya. Yang dimaksud adalah orang yang benar-benar tidak punya apa-apa, keadaannya memprihatinkan, bahkan mengemis meminta belas kasihan orang lain. Tentu kita bertanya-tanya, “Mana mungkin orang seperti itu disebut berbahagia!?” Tetapi kuncinya ada pada frase “miskin di hadapan Allah”. Artinya, dia merendahkan diri di hadapan Allah, menyadari ketidakberdayaannya, dan memohon belas kasihan Allah. Dia tidak datang kepada Allah dengan kepala tegak untuk membanggakan kebaikannya, tetapi dengan kepala tertunduk dan pengakuan dosa. Dia merendahkan dirinya dengan tulus di hadapan Allah. Yesus berkata, hanya orang seperti inilah yang masuk dalam Kerajaan Sorga; bahkan empunya Kerajaan Sorga.

Paradoks masih berlanjut, dan Yesus (seolah-olah) membuat kita berpikir terhadap setiap pernyataan-Nya:
Bagi dunia, yang berbahagia adalah orang yang tertawa dan banyak entertainmentYesus berkata, yang berbahagia adalah yang berdukacita (yaitu, menyesali diri dan dosanya di hadapan Allah).
Bagi dunia, yang berbahagia adalah penguasa, yang bisa semena-mena terhadap orang yang di bawahnya. Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang lemah lembut, yang memakai kuasanya untuk melayani, bukan menindas. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang benar sendiri dan tidak pernah salah.
Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang haus dan lapar akan kebenaran; bukan kebenaran diri, tapi kebenaran Allah. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang memperkaya diri sendiri.
Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang murah hati. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang hidup semaunya sendiri.
Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang suci hatinya. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang membela diri.
Yesus berkata, yang berbahagia adalah yang membawa damai. 
Bagi dunia, yang berbahagia adalah yang cari aman dan menghindari masalah.
Yesus berkata, berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran. 
Tidak ada manusia yang berpikir bahwa dihina, dianiaya, dan difitnah adalah hal yang membahagiakan. Namun Yesus berkata, bila kita menanggung itu semua untuk Dia, maka kita berbahagia.
Yesus bukan sedang sok hipster atau anti-mainstream. Dia sedang menekankan bahwa konsep dunia tentang kebahagiaan itu keliru dan menyesatkan. Semua yang dianggap bisa memberi kebahagiaan, hanya akan menimbulkan kekosongan yang lebih besar. Selain itu, lewat khotbah Yesus, kita melihat bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa lepas dari Allah, karena Allahlah sumber kebahagiaan. Di dunia di mana manusia berpusat pada diri mereka sendiri, Yesus mengingatkan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah, dan hanya akan berbahagia bila kita berpaling kembali kepada-Nya.

// MENDAPAT BAHAGIA
Ada orang-orang yang menganggap Yesus adalah guru agama dan etika yang luar biasa, karena mengajarkan berbagai hal yang sangat indah dan baik. Padahal sebenarnya, pandangan seperti ini menyesatkan. Yesus bukan guru moral dan kata-kata-Nya bukan untuk dikagumi. Yesus adalah Tuhan, dan kata-kata-Nya adalah untuk ditaati. Rasul Yakobus menyamakan orang yang mendengar firman Tuhan tapi tidak melakukannya seperti orang yang berkaca di depan cermin dan melihat penampilannya yang berantakan, lalu pergi tanpa berbuat apa-apa (Yakobus 1:23-24). Bukan itu yang Tuhan Yesus mau. Dia mau kita mengalami kebahagiaan itu, dan satu-satunya cara untuk berbahagia adalah dengan percaya dan menaati-Nya.

Setelah mendengar firman Tuhan, kita harus mengambil keputusan: menerima-Nya dan kebahagiaan yang Ia janjikan, atau bersikeras melanjutkan pencarian kita akan kebahagiaan tanpa mendekat kepada Sumbernya, yaitu Allah sendiri.

~

Happy New Year!
and we wish you true-eternal happiness.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^