Monday, January 13, 2020

Garam dan Terang Dunia


by Tabita Davinia Utomo
“Be the salt and light of the world!”
Mungkin kalimat di atas sering kita temukan sebagai quote yang beredar di media sosial—entah di status maupun isi dari posting-an. Sekilas tidak ada yang salah dengan ungkapan tersebut, bukan? Padahal kalau kita baca dengan lebih cermat, sebenarnya Yesus tidak sedang berkata, “Jadilah garam dan terang,” melainkan, “Kamu adalah garam dunia. Kamu adalah terang dunia” (Matius 5:13a, 14a).

Sebelum membahas isi pengajaran kedua Yesus di bukit ini, kita perlu mengingat satu hal penting yang ditekankan penulis Injil Matius, yaitu tentang siapa yang menjadi pendengar khotbah Yesus. Mungkin sebagian besar orang akan menjawab, “Semua orang yang ada di situ.” Padahal sebenarnya, fokus khotbah Yesus saat itu adalah para murid—meskipun ada banyak orang datang mengikuti-Nya. Kalau kita membaca pasal sebelumnya, dikisahkan bahwa Yesus baru saja kembali dari padang gurun setelah dicobai Iblis (4:1-11) dan memulai pelayanan-Nya di Galilea (4:12-17). Matius 4:18-22 menceritakan momen ketika Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama: Simon Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes. Selanjutnya, Yesus menyembuhkan orang-orang sakit, sehingga membuat masyarakat Galilea, Dekapolis, Yerusalem, Yudea, dan seberang Yordan berbondong-bondong mengikuti-Nya. Nah, setelah melihat mereka, Yesus naik ke bukit dan mengajar para murid-Nya (Matius 5:1-2).

Dari sini kita bisa menangkap pesan dari sang penulis Injil; yaitu sebagai orang yang telah diselamatkan dan dipanggil untuk menjadi murid Kristus, kita perlu menjadi “berbeda” dari dunia ini. Jadi “berbeda” di sini bukan berarti sok hipster (kalau kata Kak Glory–baca artikel sebelumnya, tapi kita menjadi percaya dan meneladan diri-Nya. Karena itulah, Yesus juga menjelaskan tentang identitas para murid-Nya sebagai garam dan terang dunia—dua hal yang sangat penting bagi masyarakat Yahudi saat itu.
1. Garam yang Mengasinkan
Secara teori, kita tahu kalau garam itu pasti asin. Bahkan sejak SD, kita sudah belajar cara pembuatan garam—yaitu melalui proses penguapan air laut. Proses inilah yang digunakan orang-orang zaman dulu untuk membuat garam—termasuk oleh orang Yahudi. Tanpa proses penguapan yang sempurna, akan ada bahan-bahan selain yodium yang tercampur sehingga menghasilkan garam yang tawar—bukan garam murni. Bayangkan kalau garam seperti inilah yang ada dalam masakan kita. Sebanyak apapun garamnya, rasanya pasti hambar dan membuat kita tidak berselera makan (bahkan makanan manis pun setidaknya membutuhkan sedikit garam untuk menyeimbangkan rasa manis).

Begitu pula dengan identitas para murid Yesus; mereka dipanggil untuk “mengasinkan” dunia. Saat itu, masyarakat Yahudi sedang berada di bawah penjajahan Romawi dan masih mengharapkan kedatangan Mesias—yang telah dinubuatkan sejak berabad-abad sebelumnya. Namun bagian khotbah Yesus ini menegaskan bahwa para murid-Nya—yang telah memperoleh identitas baru—harus menunjukkan perbedaan di antara orang-orang yang bukan murid-Nya, yaitu dalam segala aspek kehidupannya. Nantinya, setelah kenaikan Yesus dan turunnya Roh Kudus, para muridpun benar-benar menjadi garam melalui kehadiran mereka yang mengubahkan masyarakat, bahkan dunia, dengan keselarasan antara hidup dan Injil yang diberitakan. Jika tidak berfungsi sebagaimana mestinya (baca: sebagai garam yang mengasinkan), mungkin Injil tidak akan disebarluaskan sampai detik ini. Status para murid pun sama seperti orang lain yang belum mengenal-Nya—bahkan justru “dibuang dan diinjak orang” (Matius 5:13b) karena dinilai tidak ada gunanya.

2. Terang yang Menunjukkan Dirinya
Dalam salah satu komik yang saya baca, ada seorang tokoh yang berpikir, “Terang kan, nggak bisa dikalahkan kegelapan. Makanya Dia (Tuhan), nggak bisa ditutupi siapapun karena Dia itu terang.”

Di zaman itu belum ada lampu kayak sekarang ya, Pearlians, soalnya Edison belum lahir. Hehe… Karena itu, masyarakat Yahudi masih pakai pelita sebagai penerangan. Yesus pun menjelaskan, “Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.” (Matius 5:15). Kegunaan pelita ini sangat besar, baik saat malam hari maupun untuk mencari barang yang sulit dijangkau (seperti perumpamaan tentang dirham yang hilang di Lukas 15:8-10). Ya, tanpa cahaya, kita tidak akan bisa melihat apapun. Apalagi di zaman dulu, di mana untuk menyalakan pelita masih perlu minyak—sedangkan kita bisa langsung menekan saklar lampu untuk mendapatkan cahaya.

Yesus menggunakan analogi pelita ini untuk menunjukkan peran para murid-Nya sebagai pembawa Sang Terang, yaitu diri-Nya sendiri. Kalau kita baca Yohanes 1, penulis Injil itu menjelaskan bagaimana Allah, yang adalah Sang Terang, hadir ke dunia sebagai manusia dalam diri Yesus. Secara tersirat, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai terang itu sendiri, dan Dia memberikan tugas khusus pada para murid-Nya untuk memiliki citra-Nya tersebut. Yesus juga menyebutkan salah satu ciri cahaya, yaitu tidak dapat disembunyikan—bagaimanapun caranya. Di masa penjajahan oleh bangsa-yang-menyembah-banyak-dewa itu, para murid dipanggil untuk memberitakan kabar keselamatan yang hanya diberikan oleh Satu-Pribadi-yang-layak-disembah. Tentu ini sesuatu yang menantang, karena nyawa taruhannya. Namun di kemudian hari mereka, beserta orang-orang percaya lainnya, juga dimampukan untuk membuktikan identitas baru mereka (dengan pertolongan Roh Kudus) sebagai terang dunia… walaupun harus menghadapi penganiayaan.

Lalu bagaimana dengan kita? Secara teori (lagi-lagi), kita juga tahu kalau sebagai orang Kristen, kita adalah garam dan terang dunia. Tapi seberapa jauh kita menghayati makna di balik metafora tersebut? Well, ada beberapa hal yang bisa kita renungkan, Pearlians:

1. Ketika di rumah, apakah kehadiran kita membawa sukacita bagi keluarga kita… atau justru membuat keadaan tidak berubah—bahkan semakin parah? Bisa saja, tanpa disadari, kita memperparah keadaan karena kemalasan kita, karena kata-kata yang menghujam anggota keluarga, maupun karena pikiran kita yang negatif.

2. Ketika di sekolah/tempat kerja, apakah kita menjadi berkat melalui apapun yang kita lakukan? Misalnya melalui encouragement words yang diucapkan dengan tulus, hadiah sederhana yang jadi kenangan manis bagi sang penerima, maupun tindakan-tindakan yang menghangatkan hati mereka. Jangan-jangan, meskipun orang lain berkata baik tentang kita, sebenarnya mereka justru meragukan identitas kita sebagai orang percaya karena ketidaksinkronan pemahaman Alkitab terhadap seluruh aspek kehidupan kita.

3. Ketika melayani (baik di gereja, parachurch, dll.), apakah kehadiran kita menjadi batu sandungan bagi orang lain, dan bukannya garam dan terang? Apakah kita tulus dan jujur dalam melayani Tuhan? Apakah kita lemah lembut dan sabar, atau malah menyakiti orang lain dengan sikap dan perkataan kita?

Sebenarnya masih ada banyak hal praktis yang bisa kita renungkan dan lakukan; tapi yang jelas, jangan sampai Firman Tuhan hanya berhenti di otak kita saja. Kita memang harus memiliki pengetahuan Alkitab yang cukup, tapi juga harus menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, perlahan-lahan, kita akan semakin dibentuk untuk benar-benar menghidupi identitas kita sebagai “garam dan terang dunia”, seperti yang Yesus katakan.

Selamat berproses sepanjang dekade ketiga di abad ke-21 ini! :)

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^