Monday, January 27, 2020

Ajarlah Kami Berdoa


by Glory Ekasari

Saat bersekolah di sebuah SD Katolik, saya diajarkan untuk berdoa seperti yang Yesus ajarkan—Doa Bapa Kami. Semua murid wajib menghafalkan doa itu, dan setiap pagi kami berdoa sebelum mulai kelas. Selama bertahun-tahun saya tidak pernah memikirkan makna doa ini, sel1ain memandangnya sebagai doa hafalan. Namun setelah membaca buku tulisan Warren Wiersbe yang berjudul On Earth As It Is In Heaven, saya mulai merenungkan makna di balik Doa Bapa Kami.

Pada masa kehidupan Yesus di dunia, para rabi (“guru” dalam bahasa Ibrani) Yudaisme mengajar murid-murid mereka untuk berdoa. Satu rabi memimpin satu “perguruan”, dan memiliki pengikut yang tekun belajar dari dirinya. Tidak heran jika murid-murid Yesus mengajukan permintaan kepada-Nya, “Tuhan, ajarlah kami berdoa, sama seperti yang diajarkan Yohanes kepada murid-muridnya.” (Lukas 11:1). Mendengar permintaan ini, Yesuspun mengajarkan Doa Bapa Kami pada mereka. Berbeda dari doa-doa yang diajarkan para rabi (yang “hanya” menekankan kekudusan Tuhan dan ketidaklayakan manusia untuk menghampiri tahta-Nya karena dosa), Doa Bapa Kami justru adalah doa yang menggambarkan kedekatan antara anak-anak Allah dengan Sang Bapa—tanpa menghilangkan unsur kekudusan-Nya.

Mungkin sebagian kita merasa mudah untuk berdoa. Iyalah, lha tinggal ngomong aja sama Tuhan. Gitu aja repot. Tapi ternyata, banyak orang justru menolak ketika diminta berdoa, “Jangan, deh. Aku ga bisa berdoa. Malu kalo diketawain.”

Well… ternyata berdoa itu gampang-gampang susah, Pearlians. Tapi pernah nggak kita berpikir alasan di balik jawaban tersebut?

Sebenarnya sederhana saja: kita tidak tahu bagaimana harus bicara dengan Tuhan, sehingga mereka menghafalkan doa tertentu, mengulang-ulang kalimat, mematenkan ritual, dan sebagainya. Lah, kalo gitu, gimana kalo Tuhan sendiri yang mengajari kita untuk berbicara kepada-Nya? Nah, ini baru bener. Dengan demikian, kita jadi tahu apa yang Tuhan inginkan dalam doa kita. Tapi bukan berarti kita bisa bicara seenaknya ya, Pearlians. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam pengajaran Tuhan Yesus kepada para murid-Nya tentang bagaimana harus berdoa:

// Berdoa Kepada Siapa?
Kesalahan pertama yang sering dilakukan orang dalam berdoa adalah berdoa untuk dilihat orang. Ini terdengar aneh, karena seharusnya kan, orang berdoa kepada Tuhan. Tapi inilah yang terjadi. Tuhan memberikan contoh dari kalangan “rohaniwan” Yahudi sendiri:

“Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.”
(Matius 6:5)

Orang Yahudi punya jam-jam doa yang telah ditentukan. Ketika jam doa tiba, maka para alim ulama Yahudi, di manapun mereka berada, akan langsung berhenti beraktivitas dan mulai berdoa—kadang-kadang dengan suara lantang. Oleh karenanya, semua orang akan melihat betapa “salehnya” mereka karena menaati jam doa, tidak seperti orang lain yang sibuk bekerja.

Tidak disangka, Tuhan tidak berkenan kepada doa seperti ini. Doa yang demikian justru salah alamat karena tidak ditujukan untuk Tuhan, melainkan untuk show off diri mereka sendiri. Yesus menegaskan, “Kamu cari penghormatan dari orang? Kamu sudah mendapatkannya. Tidak ada lagi yang Tuhan berikan sebagai respon dari “doa”-mu.”

Kesalahan lain adalah berdoa dengan bertele-tele. Yang biasanya berdoa seperti ini—dengan kata-kata yang diulang-ulang atau dirangkai indah tapi tanpa makna—adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. What an irony!

“Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan.”
(Matius 6:7)

See? Yesus menekankan bahwa doa dikabulkan bukan karena banyaknya kata yang digunakan. Lalu kenapa doa orang-orang ini tidak dikabulkan oleh Allah? Karena mereka tidak mengenal Dia. Dari sinilah Yesus mengambil titik tolak untuk menjelaskan kepada kita tentang doa yang dikehendaki Allah. Secara tersirat, Dia juga menunjukkan bahwa yang terpenting bukan pendapat orang tentang kita (bahwa kita orang yang rohani, saleh, tekun berdoa, dan sebagainya), tetapi apa pandangan Allah tentang kita.

Yesus memulai doa-Nya dengan frase yang luar biasa, “Bapa kami yang di sorga.” Secara teori, kita tahu bahwa kita tidak berdoa kepada “semesta”, bukan pada dewa yang menakutkan, bukan juga kepada mahkluk yang mahakuasa—namun bodoh dan bisa dirayu dengan kata-kata indah. Tidak. Kita berdoa kepada Bapa di sorga. Satu kata ini saja menunjukkan superioritas Allah dibanding kita, sekaligus hubungan yang manis antara Dia dengan kita. Dia bukanlah Pribadi yang jauh, Dia tidak memusuhi kita, dan kita bisa mengenal Dia. Pengenalan inilah yang menjadi kunci doa-yang-didengar-oleh-Allah.

Tidak ada anak yang berbicara kepada bapaknya dengan kalimat yang bertele-tele atau berseru keras-keras di depan orang banyak. Betapa anehnya bila ada anak berkata kepada papanya, “Pa, saya tahu Papa adalah orang tua yang bertanggung jawab sebagai penyedia dalam keluarga kita. Papa senantiasa menjadi teladan istimewa bagi saya dalam segala hal. Pada saat ini, Pa, sehubungan dengan kuliah saya yang semakin intens, biaya yang saya butuhkan pun makin banyak…” Tidak ada anak bicara seperti itu pada orang tuanya. Yang ada justru anak akan bercerita masalahnya dan kebutuhannya to the point, ketika dia bersama orang tuanya saja. Ini juga yang Tuhan tekankan:

“Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
(Matius 6:6)

Kehidupan doa kita tidak perlu dilihat dan diketahui orang lain, kecuali mungkin mereka yang hidup bersama dengan kita. Namun dampaknya harus dirasakan oleh semua orang di sekitar kita.

// Permintaan Yang Terpenting
Kabar baiknya, rata-rata orang Kristen (termasuk kita) bisa berdoa—walaupun “hanya” menggunakan kata-kata sederhana. Tapi tidak masalah. Yang jadi pertanyaan, ketika kita mulai berdoa, apa yang kita katakan kepada Tuhan? Apa yang kita minta dari Dia? Yang terpenting, top of our mind, pasti disebutkan pertama kali. Nah, perhatikanlah doa yang diajarkan Tuhan Yesus, dan permintaan apa yang pertama kali disebutkan-Nya.

Ada dua kategori permintaan, yaitu permintaan bagi Allah dan permintaan bagi diri kita sendiri. Tentu saja meminta sesuatu bagi Allah bukan berarti Allah membutuhkan apapun. Kita harus ingat bahwa Tuhan Yesus sedang mengajari murid-murid-Nya untuk berdoa. Artinya, Dia mengajari mereka untuk mengetahui apa yang harus jadi prioritas dalam hidup mereka.

“Bapa kami yang di sorga,
dikuduskanlah Nama-Mu,
datanglah Kerajaan-Mu,
jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.”
(Matius 6:9-10)

Melalui Alkitab, kita melihat bahwa Allah adalah tokoh utama dan Yesus adalah Tuhan yang ditinggikan—Nama-Nya adalah Nama di atas segala nama. Pearlians masih ingat pada perintah pertama dalam 10 Hukum, kan?

“Jangan ada Allah lain di hadapanmu…”

Dengan kata lain, Allah harus menjadi satu-satunya Pribadi yang kita sembah. Tidak hanya itu, dalam Ulangan 6:5 (yang dikutip Yesus dalam “Hukum yang Terutama” (Matius 22:37-40)) dituliskan, “Kasihilah TUHAN, Allahmu.” Bila Tuhan adalah yang terutama bagi kita, maka sepantasnya hal ini tercermin dalam doa kita.

Melalui kata-kata dalam doa ini, Yesus menunjukkan bahwa Allah adalah Pribadi yang kudus; Dia adalah Raja atas segalanya, dan kehendak-Nya tidak bisa dibatalkan oleh manusia. Dengan mengucapkan kata-kata ini dalam doa kita, kita sedang mengingatkan diri sendiri untuk menghormati Tuhan dan berserah kepada kehendak-Nya.

// Menyadari Siapa Kita dan Siapa Dia
Bagian kedua dari permintaan dalam doa Bapa Kami berkaitan langsung dengan hidup kita:

“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.”
(Matius 6:11-13)

Biasanya saat berdoa, kita akan langsung ke permintaan kita, dan—umumnya—kita minta diberkati. Sebenarnya doa-doa kita biasanya hanya berisi satu bagian ini, satu potongan dari doa yang jauh lebih luas yang diajarkan Tuhan Yesus. Itu pun kita bukan minta makanan “yang secukupnya”, tapi hal-hal yang (sebenarnya) bukan kebutuhan; sementara dua permintaan lainnya—pengampunan dan kelepasan dari pencobaan—bukan hal yang biasa kita minta dalam doa. Namun melalui tiga permintaan ini, Tuhan menunjukkan bahwa kita harus bergantung penuh kepada-Nya. Sekeras apapun kita bekerja, bila Tuhan tidak memberkati kita, kita tidak akan berhasil. Karena itulah kita merendahkan diri di hadapan Tuhan dan meminta berkat dari-Nya. Kita percaya bahwa Dia yang menciptakan kita, pasti juga sanggup memelihara hidup kita.

Kemudian kita meminta pengampunan, yang dalam bahasa aslinya berarti “pembebasan utang”. Mengapa? Karena kita perlu menyadari bahwa kita adalah orang-orang yang selamanya berutang kepada Allah. Dia telah mengampuni semua dosa kita dengan kemurahan hati-Nya melalui Kristus, sehingga kita juga harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Perumpamaan tentang pengampunan dalam Matius 18 adalah a blowing mind parable tentang betapa besarnya utang kita di hadapan Tuhan—bila dibandingkan utang sesama terhadap kita. Artinya, orang yang tidak merasa diampuni oleh Allah, akan sulit mengampuni orang lain.

Last but not least, kita meminta kelepasan dari pencobaan. Sepanjang hari, kita menghadapi pencobaan. Well, karena dunia ini adalah medan pertempuran rohani, Pearlians, sehingga kita tidak bisa mengandalkan kekuatan sendiri untuk menghadapinya. Dengan berdoa, kita mengakui kelemahan diri kita, dan meminta pertolongan kepada Tuhan agar kita mampu hidup sesuai kehendak-Nya—serta melawan pencobaan dengan kekuatan dari-Nya. Ini adalah kabar baik, bukan? Dia bukan Tuhan yang leha-leha saat melihat kita bergumul sendirian, tapi justru melepaskan kita dari apa yang jahat.

--*--

Doa yang diajarkan Tuhan Yesus menunjukkan siapa Allah dan siapa kita. Yaps, kita bukanlah mahkluk yang independen, yang tidak membutuhkan Tuhan, yang hanya datang kepada-Nya saat kita perlu sesuatu, dan bisa melupakan-Nya setelah itu. Tidak. Setiap tarikan nafas kita adalah bukti bahwa kita adalah ciptaan yang harus bergantung penuh kepada-Nya, Sang Pencipta yang mengasihi kita. Melalui Doa Bapa Kami, kita diingatkan untuk menjadi orang-orang yang rendah hati, sekaligus memberi kelegaan besar karena kita tahu bahwa hidup kita dijamin oleh Allah.

Mari kita datang kepada Yesus, dan dengan kerendahan hati meminta Dia untuk membuka pikiran kita, serta berkata bersama para murid-Nya di masa itu, “Tuhan, ajarlah kami berdoa.”

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^