Monday, June 19, 2017

Patients Need Our Patience



by Azaria Amelia Adam

Pendidikan profesi tenaga kesehatan seperti dokter atau perawat memang sangat menguras tenaga. Profesi ini menuntut kami bekerja melebihi jam kerja pada umumnya. Bukan cuma 40 jam per minggu, tapi bisa 80-96 jam per minggu. Kami juga cenderung tidak bisa tidur cukup saat harus menjalani 24 hours shift. Pendidikan profesi berbeda jauh dengan pendidikan akademik di kampus. Di kampus kami belajar teori, cuma berhadapan sama buku dan dosen. Sedangkan di Rumah Sakit, kami berhadapan dengan pasien. Di kampus kami diajari tentang komunikasi dengan pasien, bagaimana seorang dokter harus memiliki empati. Di rumah sakit, kami belajar untuk mempraktekkannya.

Pendidikan profesi diisi dengan jadwal jaga, pelayanan pasien di poliklinik, IGD dan rawat inap. Selain itu, namanya juga pendidikan, pasti ada laporan jaga dan tugas ilmiah. Kalau bisa pulang rumah, ga bisa langsung naik tempat tidur, tapi buka laptop lagi buat ngerjain tugas. Disini kesabaran kita dilatih.

Kesabaran bukan masalah hanya menunggu dengan tenang, di tempat duduk yang nyaman, ruangan ber-ac, sambil mendengarkan musik atau nonton film. Kita dituntut untuk sabar meskipun kita tidak berada di tempat yang memudahkan kita untuk bersabar. 

Ada dua terjemahan bahasa Yunani untuk kata “kesabaran” di Perjanjian Baru. 
  1. Hupomonē, yang artinya “bertahan dibawah,” bertahan menahan beban. Hupomone berarti tetap berdiri kokoh dalam kondisi lingkungan yang berat. 
  2. Makrothumia, yang disebutkan dalam Galatia 5:22, berasal dari kata makros (“lama”) dan thumos (“passion” or “temper”)
Kesabaran dalam Galatia 5:22 artinya memiliki kemampuan untuk menahan atau mengontrol emosi dalam waktu yang lama. Kesabaran seperti ini dalam terjemahan KJV disebut “long suffering.” Ini adalah tentang bagaimana kita tetap bisa bertahan dalam proses yang berat itu tanpa mengeluh, bagaimana kita bukan hanya bisa menikmati proses, tetapi tetap bertahan sekalipun proses itu tidak bisa dinikmati.

Hari-hari pendidikan profesi adalah hari-hari penuh perjuangan berat. Pelayanan pasien gawat di IGD butuh konsentrasi tinggi, pasien rawat jalan yang menunggu di poliklinik, kurang waktu istirahat, deadline tugas ilmiah. Semua itu membuat kami sering kesulitan mengontrol emosi. Hal yang menjadi fokus dalam pikiran hanyalah menangani kondisi medis pasien secara fisik. Kami sudah terlalu lelah untuk memperhatikan perasaan pasien dan mempraktekkan empati. 

Pokoknya pasien diperiksa, dikasi obat, selesai. Rasanya sulit sekali mengumpulkan niat untuk bertanya, “apa yang Ibu/Bapak rasakan?” Pernyataan yang bisa disampaikan hanya, “Iya, saya mengerti apa yang Ibu/Bapak rasakan. Obatnya diminum ya, supaya cepat sembuh.” And, it’s done...

Satu hal yang berpotensi membuat kita kehilangan kesabaran adalah saat menghadapi pasien rewel dan merepotan. Jujur, susah sekali untuk tersenyum dan dengan tenang melayani pasien seperti itu. Perlu kesabaran yang lebih dari sekedar teori empati untuk melayani. Bagaimana kami bisa tersenyum tulus jika diperhadapkan dengan kondisi seperti itu, belum lagi kalau mengingat, ada laporan kasus yang belum selesai dan harus dipresentasikan 2 jam lagi. 

Beban kerja yang tinggi dalam waktu yang lama membuat kita menganggap pelayanan pasien bukan sebagai pekerjaan yang digerakkan dengan passion, tetapi sebuah rutinitas biasa kita, bukan lagi menganggap kesempatan melayani pasien sebagai suatu privilage, tapi malah membosankan.

Suatu kali saya membaca catatan tentang keluhan seorang pasien.
This may be a normal day at work for you, but it’s a big day in my life.
The look on your face and the tone of your voice can change my entire view of the world.
Remember, I’m not usually this needy or scared.
I am here because I trust you; help me stay confident.
I may look like I’m out of it, but I can hear your conversations.
I’m not used to being naked around strangers.
Keep that in mind.
I’m impatient because I want to get the heck out of here. Nothing personal.
I don’t speak your language well.
You’re going to do what to my what?
I may only be here for four days, but I’ll remember you the rest of my life.
Dia benar. memang buat kita itu hanyalah hari-hari biasa. Tetapi buat pasien, itulah hari yang akan diingatnya seumur hidupnya.

Kalau dia seorang anak penderita leukemia, saat ini dia terbaring lemah melihat tetesan infus cairan obat kemoterapi. Dia bukan anak ceria yang bisa bermain bebas. Kalau dia seorang bapak yang menderita serangan jantung, dia tidak bisa bekerja. Menarik napas bisa sangat menyakitkan baginya. Kita merasa hidup kita sangat berat. Ketika orang butuh bantuan datang kepada kita, kita ga sadar kalau sebenarnya, pasien-pasien itu punya masalah hidup yang lebih berat dari kita.

Sebanyak apa pun pasien di bangsal, laporan jaga atau tugas ilmiah. Sekalipun waktu istirahat ga ada. Setidaknya, kita masih diberikan berkat kesehatan. Mata yang sehat, sistem imun tubuh yang berfungsi optimal, tangan dan kaki yang kuat untuk bekerja. Kadang kita lupa bersyukur, sehingga kehilangan kemampuan bersabar dan bertahan dalam kondisi sulit.

Artikel ini saya buat bukan hanya karena latar belakang saya seorang dokter, tetapi karena saya ingin menguatkan teman-teman yang bekerja di bidang sosial, seperti pelayanan rumah singgah, panti asuhan, pekerja di panti jompo dan sebagainya.

Mau kita punya passion sekuat apapun, suatu hari kita pasti lelah dengan tantangan yang ada. Kadang kita lelah, ga sabar, dan akhirnya mengerjakan semua itu hanya sebagai rutinitas. Tetapi, kalau kita punya buah roh kesabaran, kita pasti bisa bertahan. Kesabaran merupakan buah roh, artinya, kita hanya bisa memiliki kesabaran melalui kuasa dan pekerjaan Roh Kudus dalam hidup kita. Orang yang sabar bisa lambat untuk marah karena punya Tuhan yang memberikan ketenangan. Tuhan yang akan memberikan hukuman pada setiap kesalahan. Pembalasan bukan tujuan kita. Pembalasan hanya menunjukkan kalau kita lemah. Tuhan mau kita tetap memiliki kasih. (Roma 12:19; Imamat 19:18). 

Lawan dari kesabaran adalah kegelisahan, kekesalan, putus asa dan keinginan untuk membalas (Mazmur 42:5). Tuhan tidak mau anak-anaknya hidup dalam kegelisahan tapi dalam damai (Yohanes 14:27). Tuhan ingin mengganti keputus-asaan dengan harapan dan pujian. Kita bisa menjadi sabar dan bertahan dalam kesukaran karena memiliki harapan yang berasal dari Tuhan.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^