Dalam kehidupan, kita pasti pernah mengalami kejadian
yang kurang menyenangkan. Mulai dari diperlakukan tidak adil, difitnah, dilecehkan,
dianggap remeh, dibohongi, diselingkuhi, atau hal-hal lain yang akhirnya
membuat hati kita sakit. Saat semua yang disebutkan tadi terjadi, beberapa dari
kita ada yang melampiaskan dengan emosi yang berapi-api. Namun, ada juga yang
memilih diam membisu seolah tidak terjadi apa-apa. Permasalahan utamanya bukan
pada bagaimana reaksi yang berapi-api atau membisu, tetapi pada apa yang kita
simpan di dalam hati. Di beberapa cerita atau pengalaman mengenai sesuatu yang
disimpan dalam hati berkaitan dengan hal-hal kurang menyenangkan, kebanyakan
orang membungkus rapat-rapat luka hati dan kekecewaannya dalam bentuk sebuah
kotak yang diberi nama “unforgiveness”. Sadarkah kita jika terus-terusan
membawa kotak “unforgiveness” seumur hidup, maka kita sama saja sedang membawa
sebuah beban yang akan menghalangi kita mempunyai hidup yang maksimal, penuh
dengan sukacita, dan penuh damai sejahtera?
Dalam Markus 11: 25 terjemahan Amplified Bible,
disebutkan begini “Whenever you stand
praying, if you have anything against anyone, forgive him (drop the issue,
let it go), so that your Father who is in
heaven will also forgive you, your transgressions and wrongdoings (againts Him
and others).” Perkataan Yesus ini tentu bukanlah tanpa tujuan. Ia pasti
mempunyai maksud saat mengingatkan para murid bahwa jika mereka hendak berdoa,
mereka perlu mengampuni orang yang masih mengganjal di hati mereka. Mengapa
Yesus sampai mengingatkan mereka betapa pentingnya mengampuni sebelum mereka
berdoa dan meminta sesuatu kepada Tuhan? Yesus mengetahui bahwa saat kita
berdoa, kita membutuhkan iman untuk percaya bahwa kita akan menerima apa yang
kita doakan. Sayangnya, iman tidak akan bekerja dengan maksimal saat kita
menyimpan kesalahan orang lain. Dan saat iman tidak bekerja, maka kita pun akan
sulit percaya bahwa kita akan menerima apa yang kita doakan. Seperti saya
katakan sebelumnya, bahwa iman akan membuat kita mampu percaya yang kita minta
di dalam doa.
Coba mari sama-sama kita pikirkan hal ini. Tidak
membutuhkan iman bukan untuk membalas yang jahat dengan yang jahat? Tidak
membutuhkan iman untuk balas mencaci maki saat ada orang yang mencaci maki
kita. Dan tidak membutuhkan iman pula untuk mengutuki orang yang berbuat curang
kepada kita. Lantas apa yang membutuhkan iman? Sesungguhnya iman dibutuhkan
saat kita memilih melakukan kebaikan bagi orang yang berbuat jahat terhadap
kita. Iman dibutuhkan saat kita memilih diam saat dicaci maki. Iman juga
dibutuhkan saat kita mau memberkati orang yang justru berbuat curang terhadap
kita. Tentu bukan hal yang mudah untuk melakukan hal-hal ini. Tapi sesuatu yang tidak mudah bukan berarti
tidak mungkin. Segala sesuatu mungkin di dalam Dia. Kenapa saya yakin untuk
bilang begitu? Matthew 19 : 26 dalam terjemahan New King James Version, “With
men this is impossible, but with God all
things are possible.”
Jadi, jika kita berkata bahwa tidak mungkin saya bisa
mengampuni orang tersebut, tidak mungkin saya bisa berdamai dengan orang
tersebut, tidak mungkin saya bisa bersikap baik kepada orang yang jelas-jelas
sudah berbuat jahat terhadap saya, dan sederet kalimat lain yang diawali dengan
kata tidak mungkin, maka sadar atau tidak, kita sedang mempercayai kekuatan
diri kita sendiri, lebih daripada kita mempercayai kekuatan Tuhan yang
sebenarnya dengan senang hati ingin menolong atau memampukan kita melakukan
hal-hal yang bagi kita tidak mungkin. Saat kita berkata, ‘saya tidak mungkin
mengampuni’, maka secara tersirat, kita sebenarnya sedang mengatakan ‘saya tidak
mau mengampuni’.
Saya teringat sebuah ayat yang diambil dari Matius 5:
46-47. Di ayat 46 begini bunyinya, “Apabila
kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut
cukai juga berbuat demikian?, selanjutnya di ayat 47, “Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja,
apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak
mengenal Allah pun berbuat demikian?”
Dari ayat tersebut, saya melihat bahwa Tuhan menghendaki
kita untuk melakukan hal yang berbeda daripada orang pada umumnya. Ia senang
menjadikan kita berbeda dari orang pada umumnya. Ia mengharapkan sebuah
perilaku yang berbeda dari kita sebagai anakNya. Saya bertanya di dalam hati,
apa ya yang berbeda dari umumnya? Saya pun menemukan sebuah contoh sederhana. Kalau
orang pada umumnya membalas caci maki dengan caci maki, maka kita sebagai orang
yang percaya dan mengenal Allah akan memilih untuk diam dan tersenyum saja.
Kalau orang pada umumya menyimpan dendam karena dikhianati, maka respon kita
sebagai orang percaya adalah melepaskan pengampunan.
Melepaskan pengampunan bukan artinya melepaskan orang
yang menyakiti kita dari tanggung jawabnya. Sebuah logika berpikir yang
seringkali menghalangi kita untuk melepaskan pengampunan adalah bahwa saat kita
mengampuni seseorang maka mereka akan bebas dari hukuman. Kita seolah ingin
menyaksikan betapa mereka diberikan hukuman yang setimpal atas apa yang mereka
telah lakukan terhadap kita. Padahal, melepaskan pengampunan tidaklah ada
hubungannya dengan melepaskan mereka dari penghukuman. Penghukuman mereka itu
adalah urusan Tuhan, bukan urusan kita. Roma 12: 19, “ Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut
pembalasan tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis:
Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman
Tuhan.”
Saat melepaskan pengampunan atas seseorang, kita sedang
menyatakan bahwa perilaku orang tersebut tidak akan mempengaruhi tindakan kita,
tidak akan mempengaruhi emosi kita, tidak akan mempengaruhi hidup kita. Dengan
kata lain, i will choose to forgive and be at peace when they hurt me, because
i know God is my Defender. Di saat kita
memilih untuk memberikan pengampunan, kita sedang membuka pintu untuk iman kita
bekerja. Waktu kita mengampuni, kita
sedang melakukan apa yang benar. Dan apa yang benar selalu memimpin kita kepada
kehidupan. Apa yang benar juga akan mendatangkan kemerdekaan. Dalam NKJV, John
8: 32 dikatakan, “And you shall know the
truth, and the truth shall make you free.”
Pengampunan akan mendatangkan kemerdekaan dalam hidup
setiap kita. Jangan simpan kekecewaan, sakit hati, dendam, amarah, kepahitan,
dan hal-hal sampah lainnya karena sesungguhnya kita diciptakan bukan untuk
hal-hal tersebut. Sejak awal kita dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan,
kita diciptakan untuk sebuah maksud yang mulia. Tertulis di Roma 8: 29-30, “Sebab semua orang yang dipilihNya dari
semula, mereka juga ditentukanNya dari semula, untuk menjadi serupa dengan
gambaran AnakNya, supaya Ia, AnakNya itu menjadi yang sulung di antara banyak
saudara. Dan mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka itu juga
dipanggilNya. Dan mereka yang dipanggil, mereka itu juga dibenarkanNya. Dan
mereka yang dibenarkanNya, mereka itu juga dimuliakanNya.”
Berjalan bersama Tuhan artinya mempunyai sebuah hubungan
dengan Tuhan. Tidak mungkin ada orang yang berjalan bersama tanpa ada sebuah
hubungan. Dan saat kita mempunyai hubungan dengan seseorang, kita pun akan
mengenali sifat dan karakteristik orang tersebut. Bayangkan misalnya kita
mempunyai hubungan dengan seorang teman, maka seiring dengan kita membangun
hubungan dengan orang tersebut, maka lama kelamaan kita pun akan mengetahui dan
mengenali apa yang menjadi sifat dan karakternya. Kita jadi tahu apa yang ia
suka dan apa yang tidak ia suka. Begitu juga dengan hubungan kita dengan Bapa.
Sebagai anak-anak perempuanNya, kita sepatutnya mengenal Bapa kita. Kita sepatutnya
juga mengenal apa yang menjadi kebiasaanNya. Firman Tuhan mengatakan di dalam 1
Yohanes 1: 9, “Jika kita mengaku dosa
kita, maka Ia adalah setia dan adil sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala
kejahatan.”
Dari ayat tersebut, kita dapat melihat sebuah kebenaran
akan kebiasaan yang dimiliki oleh Bapa kita. Apa kebiasaanNya? KebiasaanNya
adalah Ia mengampuni! Ya, hatiNya tidaklah penuh dengan amarah. Bahkan, Ia pun
tidak menyimpan kesalahan-kesalahan yang kita buat. HatiNya penuh dengan
kemurahan. AnugerahNya tersedia untuk menolong kita saat kita terjatuh dan
melakukan kesalahan atau kekeliruan. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa saat
kita datang dan mengaku dosa kepadaNya maka Ia mengampuni segala dosa kita.
Permasalahannya seringkali kita merasa tidak layak untuk menerima pengampunan.
Kita terjebak dalam pemikiran, “saya sudah jatuh berkali-kali, saya ngga layak
lagi terima pengampunanNya.”
Adalah sebuah hal yang mendukakan hatiNya saat kita
menolak anugerah atau kebaikan yang Ia berikan. Pengampunan adalah sebuah
bentuk anugerah yang Ia tawarkan. Terimalah apa yang Ia tawarkan karena apa
yang Ia tawarkan selalu baik. Pengampunan
itu baik untuk kita. Pengampunan itu baik untuk jiwa kita. Pengampunan itu baik
bagi tubuh kita. Pengampunan itu baik bagi seluruh hidup kita. Biarkan
Tuhan mengampuni dan mengasihi kita. Our Father loves to forgives because He
loves us!
Saat kita menerima pengampunan dari Bapa, kita
memposisikan diri untuk siap memberikan pengampunan. Kita tidak akan pernah
bisa memberikan sesuatu yang tidak kita punya. Jadi sebelum kita berpikir untuk
memberikan pengampunan kepada orang lain, pastikan bahwa kita telah mempunyai
pengampunan yang kita terima di dalam Yesus.
Terlintas dalam benak saya, sebuah istilah lama like
Father like Son. Kalimat ini seperti ingin menggambarkan bahwa seorang anak
laki-laki pastilah mempunyai sikap atau sifat yang sama seperti ayahnya.
Ingatlah, bahwa kita adalah anak-anak perempuan Bapa di Surga. Sebagaimana Bapa
kita yang mudah untuk mengampuni, maka kita yang telah dipilih menjadi
anak-anakNya, seharusnya mempunyai sebuah sikap yang sama. Jangan percaya kalau
mengampuni itu sulit. Mengampuni itu adalah sifat alami Bapa kita. Ia tidak
pernah berusaha keras untuk mengampuni. Itu terjadi secara natural. Jadi, kalau Bapa kita saja bisa mengampuni, kita pun pasti
bisa mengampuni.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^