by Lasma Frida
“Ya,
Tuhan!! Aku seorang istri sekarang!!”
Mungkin
itu yang akan kita katakan setiap kali terbangun dan melihat ada
seorang pria di tempat tidur dan
cincin melingkar di jari manis kita. Suatu masa baru yang akan kita
sambut dengan penuh semangat.
Tidak jarang kita mulai
membuat daftar hal-hal yang ingin kita lakukan untuk pernikahan kita.
Apa pun itu, asalkan bisa membawa kebahagiaan di dalam keluarga baru
kita, rasanya pasti akan kita lakukan. Mengorbankan diri sekali pun.
Sayangnya, ternyata tidak
semudah itu. Pernikahan bukan sesuatu yang bisa kita bangun
sendirian. Tidak cukup hanya kita yang berkomitmen. Butuh partner
kita dan seorang lagi yang menjadi bagian penting juga dalam
pernikahan kita, siapa lagi kalau bukan Allah Bapa??!! *lampu sorot
untuk Babe.
Saya
dan pasangan merupakan salah satu pasangan
yang baru memulai sebuah pernikahan. Ada saat-saat dimana saya
mengorbankan kesenangan saya (dengan
penuh sukacita dan cintaaa) demi suami
saya. Tapi sampai titik tertentu, saya mulai merasa lelah. Penuduhan
dan intimidasi mulai banyak menguasai pikiran saya. Apalagi saya
sudah tidak bekerja. Tidak banyak kesibukan yang saya kerjakan selain
online,
baca buku, mencari inspirasi, atau masak
sekadarnya. Keuangan
yang terbatas membuat saya terbatas untuk bisa kemana-mana.
Mengeluh??
Tentu saja pasti saya mengeluh. Ada
saat-saat dimana saya merasa bahwa saya istri yang tidak baik, tidak
bisa membahagiakan suami dan blablabla
lainnya. Sendiri, tidak melakukan apa pun,
adalah pergumulan terbesar karena saya harus bergumul dengan
penuduhan-penuduhan tersebut. Saya merasa keluarga kami tidak
diberkati, Tuhan tidak beserta kami, dan banyak hal lainnya.
Saya
mulai putus asa dan stres. Saya mulai
membandingkan apa yang saya punya dengan apa yang orang lain punya.
Saya mulai hitung-hitungan dengan Tuhan, bahkan berkompromi dengan
perpuluhan.
Ada apa sebenarnya?? Apakah
saya kurang baik sebagai istri?? Apakah suami saya kurang baik?? Apa
yang salah??
Yang
salah adalah saat saya tidak menerima berkat-berkat yang Bapa beri
pada keluarga kami. Saya hitung-hitungan dengan apa yang Bapa
beri. Saya tidak bisa menikmati apa yang ada di
hadapan saya dan saya tidak bersyukur. Rasa tidak bersyukur ini
membuat saya merasa berat, merasa tidak akan ada jalan keluar bagi
kami.
Namun, puji syukur pada Bapa
di Surga, Dia tidak pernah meninggalkan kita sendirian dalam keadaan
apa pun. Saat firman ini terus bergema di kepala saya, saya mendapat
kekuatan baru.
Bersukacitalah
senantiasa.
Tetaplah
berdoa.
Mengucap
syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di
dalam Kristus Yesus bagi kamu.
(1
Tesalonika 5:16-18)
Roh Kudus menguatkan hati
saya untuk berdoa dengan ucapan syukur, untuk bisa tersenyum dan
memberi penghiburan bagi suami saya.
Bersungut-sungut berarti
tidak menerima
Apa
yang menjadi masalah saya saat itu?? Saya tidak menerima apa yang
Tuhan berikan dalam hidup saya. Saya bersungut-sungut dan merasa
takut seolah melemparkan semua pemberian-Nya dan berkata, “Ini
tidak cukup, Tuhan! Bagaimana kami bisa hidup dengan ini semua?!?”
Yah,
saya memang tidak mengatakannya tepat seperti
itu, tapi kasarnya memang begitu. Saya
menolak semua yang Tuhan berikan dan memilih menggerutu atas hidup
saya. Tidak bersyukur dan tidak bersukacita.
Sampai Roh Kudus tegur dan
mengingatkan ayat di atas, ternyata saya tertipu oleh pikiran saya
sendiri. Mengapa saya tidak bisa menerima pemberian Tuhan??
Roh
Kudus menuntun saya untuk berdoa dan mengucap syukur mulai dari
hal-hal yang paling kecil. “Terima kasih
Tuhan untuk makanan hari ini. Terima kasih Tuhan untuk tempat tinggal
yang Engkau sediakan. Terima kasih Tuhan untuk suami yang begitu baik
dan selalu membuat saya tertawa. Terima kasih Tuhan untuk
kesehatannya. Terima kasih Tuhan untuk apa yang telah Engkau lakukan
dalam kehidupan kami. Terima kasih Tuhan.”
Waktu
itu Roh Kudus juga mengingatkan saya bagaimana Tuhan membela
persiapan pernikahan kami dengan melancarkan segalanya. Bagaimana Dia
bertindak dan tidak tinggal diam.
Maluuuu luar biasa.
Bagaimana mungkin saya yang telah begitu banyak melewati hal-hal yang
sulit bersama Tuhan, bisa tidak percaya akan hati-Nya?? Akan
janji-Nya??
Saat
itu saya menerima kembali apa yang Tuhan beri dan berterima kasih
pada Dia yang telah banyak menyediakan hal yang kami perlukan. Roh
Kudus memalingkan wajah saya dari apa yang tidak saya miliki pada apa
yang saya miliki. Ketika itu juga saya merasa cukup dan merasa kaya.
Jika kita tidak menerima
bagaimana kita bisa memberi??
Semua orang tahu, jika kita
mengasihi seseorang, kita ingin memberikan banyak hal untuknya. Apa
pun akan kita lakukan asal dia bahagia. Sayangnya, di saat kita tidak
bahagia, bagaimana kita bisa membahagiakan orang lain??
Saya baru mengerti hal ini
saat Roh Kudus mengingatkan saya bahwa kita adalah perpanjangan
tangan Tuhan. Jika saya ingin suami dan keluarga saya bahagia, maka
saya harus bahagia. Bagaimana suami saya akan bahagia jika melihat
saya setiap pagi terbangun dengan wajah yang kusut dan lesu tanpa
ada semangat.
Apa yang bisa saya berikan
jika saya tidak memilikinya?? Apa bisa saya memberikan kebahagiaan
sementara hati saya berisi badai dan keputus asaan?? Yang ada malahan
muncul penghakiman dan menuntut.
“Bercukacitalah
senantiasa...”
Ayat ini terus
terngiang-ngiang di kepala dan hati saya. Jika saya bersukacita dan
bersyukur, maka suami saya akan merasakan hal yang sama.
Cukuplah dia pusing dengan
pekerjaannya dan jangan sampai ia melihat istrinya ikut pusing dengan
segala perkara yang saya sendiri pun tidak bisa melakukan banyak hal.
Yang saat ini bisa saya berikan hanyalah sukacita, penghiburan, dan
rasa aman.
Bagaimana saya bisa
memberikannya?? Saya harus merasakannya terlebih dulu. Bagaimana saya
bisa merasakannya?? Hanya dengan menerima kasih dan berkat yang Tuhan
beri.
Lalu, beberapa bulan lalu
Tuhan membuktikan janji-Nya. Ia mencukupkan apa yang kami perlukan.
Setiap ketakutan yang saya rasakan menjadi tidak beralasan. Dia masih
Tuhan yang sama, yang menolong tepat pada waktunya.
Kurang lebih 4 bulan
usia pernikahan kami dan Tuhan menyatakan banyak hal. Sebagai istri,
kita tidak bisa memiliki kantung anggur yang
kosong jika ingin menuangkan anggur di tengah-tengah keluarga kita.
Kasih, iman dan pengharapan, tidak akan bisa kita bagikan pada suami
kita, apalagi nanti anak-anak kita, jika kita sendiri sebagai istri
tidak memilikinya. Kita tidak bisa memberikan apa yang tidak kita
miliki dan untuk bisa memilikinya kita harus menerimanya. Dengan cara
apa?? Mengucap syukur atas apa yang telah Tuhan lakukan di masa lalu,
sekarang, dan yang akan datang.
Janganlah
hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam
segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan
dengan ucapan syukur.
(Filipi
4:6)
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^