Friday, May 22, 2015

Menerima Untuk Memberi


by Lasma Frida

Ya, Tuhan!! Aku seorang istri sekarang!!

Mungkin itu yang akan kita katakan setiap kali terbangun dan melihat ada seorang pria di tempat tidur dan cincin melingkar di jari manis kita. Suatu masa baru yang akan kita sambut dengan penuh semangat.
Tidak jarang kita mulai membuat daftar hal-hal yang ingin kita lakukan untuk pernikahan kita. Apa pun itu, asalkan bisa membawa kebahagiaan di dalam keluarga baru kita, rasanya pasti akan kita lakukan. Mengorbankan diri sekali pun.

Sayangnya, ternyata tidak semudah itu. Pernikahan bukan sesuatu yang bisa kita bangun sendirian. Tidak cukup hanya kita yang berkomitmen. Butuh partner kita dan seorang lagi yang menjadi bagian penting juga dalam pernikahan kita, siapa lagi kalau bukan Allah Bapa??!! *lampu sorot untuk Babe.


Saya dan pasangan merupakan salah satu pasangan yang baru memulai sebuah pernikahan. Ada saat-saat dimana saya mengorbankan kesenangan saya (dengan penuh sukacita dan cintaaa) demi suami saya. Tapi sampai titik tertentu, saya mulai merasa lelah. Penuduhan dan intimidasi mulai banyak menguasai pikiran saya. Apalagi saya sudah tidak bekerja. Tidak banyak kesibukan yang saya kerjakan selain online, baca buku, mencari inspirasi, atau masak sekadarnya. Keuangan yang terbatas membuat saya terbatas untuk bisa kemana-mana.

Mengeluh?? Tentu saja pasti saya mengeluh. Ada saat-saat dimana saya merasa bahwa saya istri yang tidak baik, tidak bisa membahagiakan suami dan blablabla lainnya. Sendiri, tidak melakukan apa pun, adalah pergumulan terbesar karena saya harus bergumul dengan penuduhan-penuduhan tersebut. Saya merasa keluarga kami tidak diberkati, Tuhan tidak beserta kami, dan banyak hal lainnya.

Saya mulai putus asa dan stres. Saya mulai membandingkan apa yang saya punya dengan apa yang orang lain punya. Saya mulai hitung-hitungan dengan Tuhan, bahkan berkompromi dengan perpuluhan.
Ada apa sebenarnya?? Apakah saya kurang baik sebagai istri?? Apakah suami saya kurang baik?? Apa yang salah??

Yang salah adalah saat saya tidak menerima berkat-berkat yang Bapa beri pada keluarga kami. Saya hitung-hitungan dengan apa yang Bapa beri. Saya tidak bisa menikmati apa yang ada di hadapan saya dan saya tidak bersyukur. Rasa tidak bersyukur ini membuat saya merasa berat, merasa tidak akan ada jalan keluar bagi kami.

Namun, puji syukur pada Bapa di Surga, Dia tidak pernah meninggalkan kita sendirian dalam keadaan apa pun. Saat firman ini terus bergema di kepala saya, saya mendapat kekuatan baru.


Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.
(1 Tesalonika 5:16-18)

Roh Kudus menguatkan hati saya untuk berdoa dengan ucapan syukur, untuk bisa tersenyum dan memberi penghiburan bagi suami saya.

Bersungut-sungut berarti tidak menerima

Apa yang menjadi masalah saya saat itu?? Saya tidak menerima apa yang Tuhan berikan dalam hidup saya. Saya bersungut-sungut dan merasa takut seolah melemparkan semua pemberian-Nya dan berkata, “Ini tidak cukup, Tuhan! Bagaimana kami bisa hidup dengan ini semua?!?

Yah, saya memang tidak mengatakannya tepat seperti itu, tapi kasarnya memang begitu. Saya menolak semua yang Tuhan berikan dan memilih menggerutu atas hidup saya. Tidak bersyukur dan tidak bersukacita.

Sampai Roh Kudus tegur dan mengingatkan ayat di atas, ternyata saya tertipu oleh pikiran saya sendiri. Mengapa saya tidak bisa menerima pemberian Tuhan??

Roh Kudus menuntun saya untuk berdoa dan mengucap syukur mulai dari hal-hal yang paling kecil. “Terima kasih Tuhan untuk makanan hari ini. Terima kasih Tuhan untuk tempat tinggal yang Engkau sediakan. Terima kasih Tuhan untuk suami yang begitu baik dan selalu membuat saya tertawa. Terima kasih Tuhan untuk kesehatannya. Terima kasih Tuhan untuk apa yang telah Engkau lakukan dalam kehidupan kami. Terima kasih Tuhan.”

Waktu itu Roh Kudus juga mengingatkan saya bagaimana Tuhan membela persiapan pernikahan kami dengan melancarkan segalanya. Bagaimana Dia bertindak dan tidak tinggal diam.

Maluuuu luar biasa. Bagaimana mungkin saya yang telah begitu banyak melewati hal-hal yang sulit bersama Tuhan, bisa tidak percaya akan hati-Nya?? Akan janji-Nya??

Saat itu saya menerima kembali apa yang Tuhan beri dan berterima kasih pada Dia yang telah banyak menyediakan hal yang kami perlukan. Roh Kudus memalingkan wajah saya dari apa yang tidak saya miliki pada apa yang saya miliki. Ketika itu juga saya merasa cukup dan merasa kaya.

Jika kita tidak menerima bagaimana kita bisa memberi??

Semua orang tahu, jika kita mengasihi seseorang, kita ingin memberikan banyak hal untuknya. Apa pun akan kita lakukan asal dia bahagia. Sayangnya, di saat kita tidak bahagia, bagaimana kita bisa membahagiakan orang lain??
Saya baru mengerti hal ini saat Roh Kudus mengingatkan saya bahwa kita adalah perpanjangan tangan Tuhan. Jika saya ingin suami dan keluarga saya bahagia, maka saya harus bahagia. Bagaimana suami saya akan bahagia jika melihat saya setiap pagi terbangun dengan wajah yang kusut dan lesu tanpa ada semangat.

Apa yang bisa saya berikan jika saya tidak memilikinya?? Apa bisa saya memberikan kebahagiaan sementara hati saya berisi badai dan keputus asaan?? Yang ada malahan muncul penghakiman dan menuntut.

Bercukacitalah senantiasa...”

Ayat ini terus terngiang-ngiang di kepala dan hati saya. Jika saya bersukacita dan bersyukur, maka suami saya akan merasakan hal yang sama.

Cukuplah dia pusing dengan pekerjaannya dan jangan sampai ia melihat istrinya ikut pusing dengan segala perkara yang saya sendiri pun tidak bisa melakukan banyak hal. Yang saat ini bisa saya berikan hanyalah sukacita, penghiburan, dan rasa aman.

Bagaimana saya bisa memberikannya?? Saya harus merasakannya terlebih dulu. Bagaimana saya bisa merasakannya?? Hanya dengan menerima kasih dan berkat yang Tuhan beri.

Lalu, beberapa bulan lalu Tuhan membuktikan janji-Nya. Ia mencukupkan apa yang kami perlukan. Setiap ketakutan yang saya rasakan menjadi tidak beralasan. Dia masih Tuhan yang sama, yang menolong tepat pada waktunya.

Kurang lebih 4 bulan usia pernikahan kami dan Tuhan menyatakan banyak hal. Sebagai istri, kita tidak bisa memiliki kantung anggur yang kosong jika ingin menuangkan anggur di tengah-tengah keluarga kita. Kasih, iman dan pengharapan, tidak akan bisa kita bagikan pada suami kita, apalagi nanti anak-anak kita, jika kita sendiri sebagai istri tidak memilikinya. Kita tidak bisa memberikan apa yang tidak kita miliki dan untuk bisa memilikinya kita harus menerimanya. Dengan cara apa?? Mengucap syukur atas apa yang telah Tuhan lakukan di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.
(Filipi 4:6)

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^