by Natalia Setiadi
Salah satu perintah paling populer tapi paling SUSYEH buat para istri, terutama istri yang agak bedegong (= semau gue) seperti saya, adalah:
“Hai isteri-isteri, TUNDUKLAH kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”
(Kolose 3:18)
Tunduk itu apa sih? Kata Kamus Bahasa Indonesia (http://kamusbahasaindonesia.org), kata kerja TUNDUK bermakna:
1) Takluk; menyerah kalah
2) Patuh; menurut (perintah, aturan, dsb)
Kalo kata Encarta Dictionary, kata SUBMIT yang diterjemahkan jadi kata kerja TUNDUK dalam bahasa Indonesia punya makna:
1) Yield: to accept somebody else's authority or will, especially reluctantly or under pressure
2) Agree: to agree to undergo something
3) Defer: to defer to another's knowledge, judgment, or experience
Seorang wanita misionaris yang sangat saya hormati dan sudah menginspirasi buanyaakkk sekali orang pernah bilang, “Kalo kamu tidak pernah bergumul untuk tunduk kepada suamimu, mungkinkah itu artinya kamu belum benar-benar berusaha tunduk?”
JLEB. Daleeemmm…
Jujur, sebelom itu emang saya ga pernah mikirin soal tunduk sih huekekeke… setelah baca banyak tulisan soal submission, dan setelah saya mulai belajar untuk benar-benar tunduk kepada suami saya, barulah CELIK MATAKU… *.*
Kadang-kadang kalo abis gagal tunduk, dalam hati saya bersungut-sungut, “Kalo aja suamiku bisa lebih bae dalam memimpin, mungkin saya bisa lebih mudah tunduk…“
Atau “Hmmm… rasanya dalam hal X, Y, Z saya masih lebih ‘godly’ deh daripada suami, seandainya aja dia bisa lebih worth submitting under dalam hal-hal itu!”
Padahal sih walopun suami udah jadi pemimpin yang baik, udah godly dan bae dalam hal X, Y, Z, percaya deh pasti adaaaa aja hal-hal laen yang bisa saya jadiin alasan. Karena suami saya manusia biasa yang tidak sempurna. Dan karena dalam keengganan saya untuk tunduk, saya berusaha cari pembenaran diri (yang tidak benar ini).
Bukankah Alkitab ga pernah bilang, “Tunduklah kalau suamimu pemimpin yang baik, kalau dia kurang baik, tunduk saja sama tetangga…” dan bahkan ga ada tulisan “Tunduklah kalau suamimu orang percaya, kalo dia belum percaya ga usah lah yauw…”
Jadi? Seandainya pun suami belum percaya, kita TETAP DIPERINTAHKAN untuk tunduk!
Perintah yang sama ini diulangi di
“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”
(Efesus 5:22)
dipertegas di
“karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat”
(Efesus 5:23)
dan diulangi lagi dalam
“Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.”
(1 Petrus 3:1)
Ada apa dengan TUNDUK? Kenapa sampe ditulis berulang-ulang? Biasanya apa yang pengen kita tekankan ke anak kita pasti sering kita ulang-ulang kan? Begitu juga soal submission ini. Diulangi berkali-kali karena memang penting, dan supaya yang baca bener-bener ngeh dan menyadari pentingnya. Saya sama sekali bukan expert soal Firman Tuhan, so ga berkompeten (banget) untuk mengulas panjang lebar dan dalam soal ayat-ayat tentang ketundukan ini, tapi di sini saya share aja berkat & pencerahan yang saya dapet secara pribadi ya…
Soal tunduk menurut saya berhubungan erat dengan tipe kepribadian masing-masing orang. Ada orang-orang yang emang senang dipimpin, jadi bisa tunduk dengan lebih mudah. Ada orang-orang yang emang “dari sononya” dominan, suka memimpin dan selalu punya pendapat sendiri, susah banget nerima pendapat orang lain atau nurut apa kata orang lain.
Tapi saya rasa semua ibu rumah tangga tuh udah ditempa oleh situasi dan kondisi, harus bisa mengatur rumah tangga, jadi udah terbiasa bikin banyak keputusan sehari-hari. “Hari ini masak apa ya? Hm... Ikan aja deh...” atau “Kayanya mau hujan, mendingan nyuci baju hari ini apa besok ya? Besok aja deh...” dst. Belom lagi kalo udah punya anak. Yang udah biasa ngurus baby pasti manggut-manggut tuh :) Soale dengan punya baby itu kita kudu bikin SEMUA keputusan buat si baby; kapan nyusu, kapan mandi, kapan mulai MPASI, mau kasih imunisasi apa aja, dst.
So, sejak bergelar “nyonya” apalagi “mama”, kita udah terkondisi untuk selalu punya pendapat atau keputusan tentang berbagai macam hal. Nah karena suami-suami tuh relatif lebih banyak di luar rumah, otomatis kita semakin “merajai” urusan rumah tangga, dan sampai titik tertentu memang begitulah seharusnya, kan kita ini helpmeet-nya suami, ya gak, ibu-ibu? :)
Tapi susahnya, dengan terbiasa jadi tukang ngatur gitu, makin lama kita makin tau dan makin mahir, dan makin MERASA LEBIH TAU dan MERASA LEBIH MAHIR, terutama soal anak. Karena kita seharian bareng anak, otomatis kita memang lebih tau jadwal rutinnya anak, apa yang boleh dimakan atau dilakukan sama anak, dan kapan waktunya. Sedangkan suami yang seharian di kantor mana tau anaknya setengah jam yang lalu makan apa?
So, yang sering kejadian adalah: begitu suami pulang dan nongolin muka di pintu depan, anak udah nodong dengan pertanyaan, “Papa, boleh ngga saya makan es krim sekarang?”
Karena papanya kangen dan ngga tega nolak atau udah cape ga berminat dibikin pusing lagi sama anak yang ngambek, bilang boleh.
Trus mulai deh istrinya ngomel, “Papa ini gimana sih, dia baru aja ngabisin es duren semangkok, masa sekarang boleh makan es krim lagi?”
Papa jawab dengan agak kesel, ”Yah, meneketehe atuh…”
Kalo istrinya jawab lagi jadi ribut deh… -.-‘
[Disclaimer: ini bukan peristiwa yang sebenarnya dan bukan pengalaman pribadi. Saya cuma ngarang. Beneran! :P]
Poinnya adalah bahwa perkara tunduk ini bener-bener nyerep banget deh di kehidupan sehari-hari, masuk di segala aspek kehidupan! Karena itu, sebenernya ada banyak kesempatan di mana kita bisa praktik atau minimal belajar seni tunduk kepada suami.
Kalo saya mah jangan dicontoh ya. Tunduk bagi saya SUSYEHNYA ajubileh deh… Saya mendingan markirin mobil di tempat sempit sambil diklaksonin orang daripada tunduk! -.-‘ Saya masih buaanyaaak banget gagalnya.
Karena situasi mengharuskan saya mandiri, saya terbiasa untuk bikin keputusan sendiri tanpa konsultasi sama suami (yang memang ga setiap saat bisa jawab telepon semaunya). Untuk hal-hal besar atau ngga mendesak sih udah otomatis berunding dulu, tapi untuk hal-hal kecil yang kurang penting atau yang mendesak, saya cenderung ga sabar and buru-buru jalan tanpa minta pertimbangan suami.
Saya sadar ini salah, dan saya berjanji sama diri sendiri untuk bertekun dalam usaha saya tunduk, tidak mengutuk diri sendiri kalau saya gagal atau jatuh, dan menjadikan pengalaman kegagalan yang buanyak itu sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Hasil brainstorming saya sama suami, dalam situasi-situasi yang mirip dengan kasus es krim di atas, kami sepakat untuk tidak langsung kasih jawaban kepada anak. Saya & suami harus komunikasi dulu, dan pada akhirnya harus suami yang kasih keputusan final kepada anak, boleh atau tidaknya. Suami DILARANG KERAS bilang, “Tanya aja sama mama…” karena itu bisa bikin anak berpikir bahwa mama-lah yang jadi pembuat keputusan akhir.
Tanya: Kalo saya orangnya dominan atau emang berwatak koleris gimana dong?
Jawab: Ya berubah lah! Gak ada cara lain :) Maksud saya bukan berubah watak kudu jadi lemah gemulai ya... Kalo begono mah ampe taon kuya juga gak bakal bisa kali, yang ada setreessss!
Maksud saya berubah adalah minta Tuhan ubahkan sikap hati kita dan kuatkan tekad kita dan memampukan kita untuk tunduk. Karena perintah ini bukan cuma buat orang-orang yang berwatak flegmatis, tapi buat SEMUA istri. Minta Tuhan beri kita a gentle and quiet spirit, alias roh yang lemah lembut dan tenteram. Walopun koleris bukan berarti kita harus gahar en gak bisa lebih kaleman dikit kan?
Tanya: Kalo suaminya bener-bener ga OK (contoh ekstrim: masih berkubang dalam dosa seperti pemabuk, penjudi, pemarah, dll) gimana?
Jawab: Yang kayak gini memang ujian buesarrr dalam hal ketundukan, dan saya sendiri ga punya wawasan tentang hal ini. Tapi saya percaya bahwa tugas kita para isteri adalah tetap MENGASIHI, TUNDUK, dan BERDOA buat suami, sedangkan MENGUBAH suami adalah bagiannya Tuhan. Just submit, love, and pray, and let God do His thing with your hubby.
Dalam hal ini, 1 Petrus 3:1b bisa jadi janji yang menguatkan kita, “… Supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.” Bisa share Firman Tuhan secara verbal itu baik, tapi seandainya hal ini ga mungkin dilakukan, kelakuan juga BISA BERBICARA banyak.
Tunduk itu dahsyat!
Submission is powerful!
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^