by Tabita Davinia
Siapapun pasti pernah marah. Entah karena keinginan yang
nggak dibolehin sama ortu, melihat pasangan sedang jalan sama lawan jenis
(apalagi kalau si pengamat itu orang yang posesif), kerjaan semakin menumpuk,
teman kita berbohong... dan masih ada segudang alasan kenapa kita marah. Benar,
kan?
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana kita
meluapkan kemarahan itu? Apakah kita akan meluapkannya dengan membanting pintu,
menggebrak meja, mengumpat-umpat (atau mungkin memelesetkan kata-kata kasar),
diam seharian, mogok makan, atau menghilang dari peredaran sosial (baca: nggak
nongol di mana-mana)? Dan apakah Tuhan berkenan dengan semuanya itu? Kita tahu
jawabannya.
Bayangkan kalau Tuhan Yesus menjadi marah kepada
orang-orang yang mengolok-olok-Nya saat Dia disalibkan. Mungkin Dia akan
memerintahkan malaikat-malaikat untuk membebaskan-Nya, lalu membunuh setiap
orang yang mengejek-Nya. But He didn’t.
Sebaliknya, Tuhan Yesus justru berdoa, “Ya
Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Sikap seperti inilah yang
harus kita teladani. Daripada mengumpat-umpat tentang orang yang membuat kita
kesal, lebih baik kita cooling down
dengan mendoakannya. Sulit? Ya! Tapi dengan melepaskan pengampunan, kita pun
akan jadi merasa tenang.
Bahkan Paulus, dalam Galatia
5:22—23, menuliskan tentang salah satu unsur dari buah Roh yang harus kita
miliki, yaitu penguasaan diri. Ya, sebagai anak-anak Tuhan, kita seharusnya
lebih bisa mengontrol kemarahan kita. Jangan sampai kemarahan itu malah
mengundang si jahat untuk menjatuhkan kita.
Di dalam suratnya yang lain, Paulus juga mengatakan agar
“... hendaklah amarahmu padam sebelum
matahari terbenam”. Menurutku, dia sebenarnya ingin mengatakan agar kita
tidak terus-menerus menyimpan kemarahan kita. Bayangkan kita merasa sangat
kesal dengan seseorang, lalu kita mendiamkannya seharian. Tentu lama-kelamaan
rasanya jadi nggak enak. Dia mungkin merasa nggak ada yang harus diselesaikan,
tapi kita malah “dihukum” kemarahan kita sendiri.
Beberapa waktu yang lalu, aku sempat marah kepada
sahabatku karena sebuah masalah (aku lupa apa masalahnya haha). Tapi gara-gara
masalah itu, aku jadi kesal sendiri, lalu melemparkan boneka pemberiannya.
Ternyata, sahabatku juga ikutan marah dan memukul lantai kamarnya. Hm, kesannya
jadi seperti sinetron, ya. Tapi begitulah. Walaupun aku telah menerima Kristus
sebagai Tuhan dan Juruselamat kami, tapi saat itu aku seolah-olah
mengabaikan-Nya. Aku nggak tahu apa yang Dia pikirkan saat aku menangis setelah
melempar bonekaku. Mungkin Dia berpikir, “Duh, bukannya Aku pernah mengajarimu
bagaimana harus menguasai perasaanmu? Dan bukannya kamu yang dikendalikan
olehnya?”. Setelah menangis, aku mencoba untuk menata perasaanku, lalu
melakukan rekonsiliasi dengan sahabatku. And
thanks God, the problem had been solved :)
Salahkah kita marah? Selama ada alasan yang jelas,
sebenarnya tidak apa-apa kalau kita marah. Tapi akan lebih baik kalau kita
segera menyelesaikan pemicu kemarahan kita itu. Berdamai dengan masalah akan
membuat hatimu jadi lega :) Ingat, walaupun kita telah diselamatkan dari
hukuman kekal (alias maut), tapi kita akan tetap bergumul melawan dosa seumur
hidup kita. Termasuk dalam hal kemarahan. Hendaklah kita terus meminta
pertolongan Roh Kudus agar kita dimampukan untuk menguasai diri dari kemarahan
yang menyala-nyala itu, dan agar Dia senantiasa menjagai kita dari si jahat
yang akan terus mencari celah untuk menggoyahkan kita.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^