Monday, April 6, 2020

Getsemani: Saksi Peperangan Sunyi


by Glory Ekasari

Peperangan yang dialami Tuhan Yesus tidak terjadi di ruang sidang majelis imam saat Dia diadili. Tidak juga di istana Herodes. Tidak juga di ruang gubernur Pilatus. Tidak juga di hadapan orang banyak yang berseru, “Salibkan Dia!” atau bahkan di Golgota saat Ia dipaku ke kayu salib. Peperangan yang dialami Tuhan kita terjadi di Taman Getsemani. Ketika Ia melangkah keluar dari taman itu, Ia sudah berjalan sebagai pemenang.

Tiga dari empat Injil menceritakan apa yang terjadi di Taman Getsemani. Rasul Yohanes tidak menulis tentang peristiwa ini, kemungkinan karena orang-orang Kristen saat itu sudah tahu tentang peristiwa Getsemani saat Yohanes menulis Injilnya (Injil Yohanes adalah Injil yang terakhir ditulis). Pada dasarnya, kisah ini memalukan; terutama bagi ketiga murid Yesus yang terdekat: Petrus, Yohanes, dan Yakobus. Namun penulis Injil jujur menuliskannya bagi kita untuk menunjukkan bahwa, tidak seperti kita yang lemah, Yesus mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi pencobaan terberat dalam hidup-Nya.

// BERPERANG DENGAN BERDOA
Sebagai manusia, Yesus tidak bersikap sok berani menghadapi penderitaan dan salib. Dengan jujur Ia mengatakan apa yang Ia rasakan, sesuatu yang belum pernah kita baca tentang Yesus, yang selalu kelihatan tenang dan penuh kuasa:

Lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.”
(Markus 14:34)

Lukas menulis bahwa Yesus begitu ketakutan sampai “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Lukas 22:44). Tentunya Dia gemetar, bahkan menggigil, dan pakaian-Nya basah kuyup oleh keringat karena intensitas ketakutan yang luar biasa. Mengapa? Karena Yesus tahu apa yang sedang menanti-Nya.

Hukuman salib adalah hukuman yang kejam. Tujuan dari hukuman itu adalah menimbulkan teror dengan cara menyiksa seseorang selama mungkin agar orang lain bisa melihat penderitaannya yang mengerikan sampai akhirnya ia mati. Pemerintah Romawi memakai hukuman ini agar jajahan mereka tidak berani membangkang karena takut akan kekejaman tersebut.

Orang yang akan disalib terlebih dahulu disiksa. Penyiksaan ini kadang bisa begitu brutal sehingga korban sudah mati sebelum disalib. Bila korban bertahan melewati penyiksaan ini, ia kemudian disalib: dipaku tangan dan kakinya pada kayu dan dibiarkan tergantung sampai mati. Setelah kehabisan banyak darah dan tenaga dari penyiksaan, serta didera rasa sakit yang luar biasa dari syaraf yang dipaku, korban harus berjuang hanya untuk sekedar mengambil nafas. Kematian akhirnya terjadi karena tercekik: ia sudah tidak kuat lagi bergerak untuk bernafas. Karena itu tidak ada orang yang disalib dalam keadaan tenang seperti di film-film; orang yang disalib harus bergerak untuk menarik nafas dan membuang nafas, dengan punggungnya yang sudah robek menggesek-gesek kayu salib terus-menerus. Orang yang disalib berharap agar kematian cepat datang dan penderitaan mereka segera berakhir.

Yesus tahu bahwa Ia akan segera menghadapi penderitaan ini. Dan Dia ketakutan. Ini sangat manusiawi. Tapi yang lebih menakutkan dari itu ialah Ia akan menghadapi semuanya itu sendirian.

Saat terjadi banjir di kota saya, ada wawancara dengan seorang warga yang kebanjiran. Dengan wajah yang biasa saja, tidak seperti orang kebanjiran, dia berkata, “Nggak apa-apa… Wong kebanjirannya rame-rame, semua kebanjiran.” Dia merasa tenang karena banyak yang sepenanggungan dengannya.

Berbeda dengan Yesus. Dia harus menghadapi salib sendirian tanpa murid-murid-Nya yang akan segera lari meninggalkan Dia. Tetapi yang lebih penting, tanpa Bapa-Nya, yang sejatinya tidak mungkin terpisahkan dengan Dia. Kematian-Nya bukan karena kesalahan-Nya, tetapi dosa kita. Namun, tidak ada yang mendukung-Nya ketika Ia berkorban bagi kita (termasuk mereka yang menyalibkan Dia). Di atas kayu salib itu Yesus benar-benar sendirian: ditolak oleh dunia, dan dihukum oleh Allah. Sungguh kesepian dan kekosongan yang menakutkan.

Lalu bagaimana Yesus menghadapi semua ketakutannya itu? Lukas menulis:

Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa.
(Lukas 22:44)

Makin bersungguh-sungguh berdoa, itulah cara Yesus menghadapi ketakutan. Yesus memang berharap murid-murid-Nya akan mendukung Dia dalam doa, namun mereka malah tidur (sesuatu yang pasti sangat mereka sesali ketika mereka tahu apa yang kemudian menimpa Yesus). Namun itu tidak melemahkan Yesus. Ia kembali lagi pada doa-Nya. Seorang malaikat dari surga datang untuk menghibur-Nya. Yesus sekali lagi menilik murid-murid-Nya yang tertidur nyenyak, dan kemudian Ia kembali berdoa. Ia berdoa, berdoa, berdoa, sampai Ia menang.

Mengapa saya katakan bahwa Yesus menang? Karena setelah Yesus selesai berdoa dan Ia ditangkap, tidak ada sedikitpun bukti bahwa Yesus ketakutan di hadapan majelis imam, atau di istana Herodes, atau di hadapan Pilatus, atau di hadapan massa, atau di hadapan tentara yang menyalibkan Dia. Perkataan-Nya bukan perkataan orang yang ketakutan; sikap-Nya tidak seperti orang yang ketakutan; bahkan tentara Romawi yang menyaksikan penyaliban-Nya bersaksi, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!” (Matius 27:54). Mereka tidak akan berkata demikian seandainya Yesus kelihatan takut, marah, atau mengasihani diri sendiri saat disalib. Mereka bersaksi demikian melihat ketegaran-Nya dan fenomena alam yang menyertai kematian-Nya.

Jadi Yesus berjalan menuju salib sebagai orang yang menang. Pergumulan yang hebat terjadi justru di Taman Getsemani, saat Ia berdoa dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan semua ketakutan-Nya di hadapan Allah.

// CAWAN YANG DIMINUM YESUS
Sebelum Yesus berdoa di Taman Getsemani, Ia telah makan malam bersama murid-murid-Nya, dan dalam perjamuan itu Ia mengambil roti dan cawan berisi anggur. Tentang cawan itu Ia katakan,

“Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku.”
(I Korintus 11:25)

Yesus tahu bahwa agar perjanjian baru—yang dinubuatkan oleh para nabi dan direncanakan oleh Allah sendiri—dapat disahkan, darah-Nya harus tertumpah. Kematian-Nya di salib, curahan darah-Nya, akan mengisi cawan perjanjian baru, dan semua orang yang minum dari cawan itu mengambil bagian dalam perjanjian baru dengan Allah.

Tetapi ketika di Taman Getsemani, Yesus berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Bapa-Nya:

“Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”
(Markus 14:36)

Doa ini bukanlah penolakan terhadap apa yang harus Yesus alami, tetapi merupakan sebuah pergumulan. Sama seperti Yakub yang bergumul dengan Allah dan tidak mau melepaskan-Nya sampai ia diberkati, demikian pula Yesus bergumul dengan Bapa di dalam doa. Perhatikan bahwa Yesus tidak hanya berkata, “Saya tidak mau,” tapi Ia menutup permohonan-Nya dengan penyerahan diri, “Janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”

Ini bukan berarti kehendak Yesus dengan kehendak Bapa berbeda. Fakta bahwa Yesus datang ke dunia, menjadi manusia, melayani selama tiga tahun lebih, bahkan berlutut di Taman Getsemani pada hari itu, menunjukkan bahwa kehendak-Nya selaras dengan kehendak Bapa. Yang Yesus katakan ialah: Ia tidak menginginkan penderitaan (siapa yang mau menderita?), tetapi Ia lebih ingin kehendak Allah diwujudkan, sekalipun itu berarti Ia harus menderita. Perhatikan perkataan Yesus dalam bagian lain:

“Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini.”
(Yohanes 12:27)

Maka kata Pilatus kepada-Nya: “Jadi Engkau adalah raja?” Jawab Yesus: ‘Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.”
(Yohanes 18:37)

“Untuk itulah Aku datang.” Yesus tahu pasti mengapa Ia harus datang ke dunia: agar Allah dimuliakan dan manusia diselamatkan. Salib adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan itu. Yesus tidak ingin menderita—sebagaimana kita tidak ingin menderita, tapi Dia lebih menginginkan tujuan Allah digenapi, sekalipun itu melalui penderitaan-Nya.

// MENGHADAPI PENCOBAAN
Kontras dengan tindakan Yesus yang begitu serius di Taman Getsemani, murid-murid Yesus melakukan sesuatu yang sungguh memalukan: mereka tidur.

Mereka lelah setelah beraktivitas seharian, mendengarkan Yesus mengajar, dan makan malam. Mereka mengantuk, mata mereka berat. Kita mengerti apa yang mereka rasakan. Namun sayangnya mereka tidak menuruti apa yang dikatakan oleh Guru mereka, perintah-Nya yang terakhir sebelum Ia mati, agar mereka berjaga-jaga dalam doa bersama Dia.

“Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.”
(Matius 26:40-41)

Yesus berkata demikian karena dua alasan: pertama, Ia ingin dibantu dalam doa menjelang penderitaan yang berat yang menanti-Nya; kedua, Ia tahu bahwa sebentar lagi murid-murid-Nya juga akan mengalami pencobaan. Yesus akan diambil dari mereka; dan mereka, seperti domba tanpa gembala, akan tercerai-berai.

Mereka tidak menuruti Yesus, dan karena itu mereka kalah dalam pencobaan dengan memalukan. Saat Yesus ditangkap, mereka bingung dan melarikan diri. Petrus, murid Yesus yang paling vokal, bahkan akhirnya menyangkal Yesus. Murid-murid yang lain entah di mana keberadaannya. Mereka bahkan tidak percaya ketika mendengar kabar bahwa Yesus bangkit. Keadaan mereka menyedihkan dan penuh ketakutan, tidak seperti Yesus yang berjalan menuju salib dengan penuh keberanian.

Kita tidak tahu kapan pencobaan akan datang. Tetapi apapun pencobaan yang datang dalam hidup kita, itu tidak akan lebih serius dari salib yang dihadapi oleh Tuhan Yesus. Karena itu mari kita mengikuti Yesus, yang lebih dahulu menang, yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan (Ibrani 12:2). Dua hal yang harus kita pelajari dari Tuhan kita:

1. Ketika Roh Kudus mengingatkan kita untuk berdoa dan berjaga-jaga, lakukanlah. Jangan tidur seperti murid-murid Yesus. Dalam kesesakan, bergumullah dengan Allah dalam doa. Semakin berat masalahnya, semakin sungguh-sungguh berdoa. Bila Yesus yang harus menghadapi salib saja mencari kekuatan dalam doa, betapa lebih lagi kita yang menghadapi “pencobaan biasa” (I Korintus 10:13).

2. Selalu bersedia mengutamakan kehendak Allah dibanding keinginan kita. Yesus bersedia menderita dan mati demi melakukan kehendak Allah; kita tidak dituntut seberat itu. Bila kita mengasihi Allah, tidak ada yang boleh menghalangi kehendak Allah dalam hidup kita, bahkan (atau terutama) kehendak kita sendiri. Taklukkan kehendak kita itu di Taman Getsemani pribadi kita dengan Allah, dan berjalanlah keluar dari taman itu, menghadapi salib yang harus kita pikul, dengan penuh kemenangan.


Marilah kita berlomba dengan tekun, dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan; yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.
(Ibrani 12:2)

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^