Monday, August 10, 2020

Mengasihi Walau Pedih


by Poppy Noviana

Suatu pagi, adik saya berinisiatif untuk pergi mengunjungi saudara yang sudah lama sekali tidak kami kunjungi—karena ada perselisihan di antara kami. Memang kondisinya semakin diperburuk karena saya merasa berada di posisi yang lebih benar dalam perkara tersebut. Mereka menyakiti saya dan tidak peduli pada hidup saya, bahkan saat ada di titik terendahpun, mereka tidak hadir untuk menolong saya. Mereka sangat arogan dan cenderung egois. Tidak hanya itu, sampai detik ini, saya belum pernah mendengar kata maaf dari mereka. Itulah sebabnya saya lebih suka untuk tidak berhubungan lagi dengan mereka setelah perselisihan yang terjadi. Wajar dong, ya? Kalau kata netizen, itu manusiawi banget!

Pagi itu pun saya cukup kaget, karena saya tidak menyangka bahwa adik saya dan pacarnya akan berkunjung ke sana untuk silaturahmi. Saya sadar ini bukan gerakan pembalasan namun awal suatu pemulihan, sebab saudara kami ini memang baru saja kehilangan seorang anggota keluarganya. Saya tidak melarang adik saya dan justru mendukungnya, namun untuk ikut ke sana? Hm, rasanya saya masih perlu waktu untuk memulihkan diri. Yah… saya bukan memaksudkan cerita ini sebagai sesuatu yang bisa diteladani, sih. Bahkan melalui tulisan ini, saya juga sedang berjuang dalam menyelesaikan masa lalu saya—khususnya melepaskan pengampunan kepada orang-orang yang merasa lebih benar, sementara saya merasa layak untuk marah kepada mereka.

Saya tahu kalau tidak mengampuni akan merugikan diri sendiri; dan menyadari bahwa tanpa kasih, semua yang saya lakukan untuk Tuhan adalah sia-sia. Namun di sisi lain, saya tetap berdoa untuk para saudara saya dan untuk hati ini, agar saya bisa benar-benar mengampuni mereka dengan sepenuh hati dan itu terlihat dari perbuatan saya kepada mereka. Hal ini bukan perkara mudah, namun saya mau melakukannya karena ini perintah Tuhan. Toh Dia juga sudah mengampuni saya—yang sebenarnya tidak layak untuk diampuni atas dosa-dosa saya.

"Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan
apa yang Aku katakan?”
(Lukas 6:46)

Masih ingat dengan peristiwa Yudas yang mengkhianati Yesus? Saat itu, Yudas menjual Yesus sebesar 30 keping perak untuk kepentingan dirinya sendiri. Yesus tahu akan hal itu: Dia tahu bahwa Yudaslah yang akan mengkhianati-Nya, tapi Dia tetap memperlakukan Yudas dengan baik.

Lah? Kok, bisa?

Berbeda dari kita, fokus Yesus adalah pada kekekalan—bukan peristiwa yang terlihat saat itu. Bahkan pada momen klimaks pengkhianatan Yudas yang berupa ciuman (Lukas 22:47-48), emosi-Nya juga stabil. Mungkin saja hal itu terjadi karena di dalam natur kemanusiaan-Nya, Yesus juga sering berhadapan dengan Iblis dan orang fasik yang “suka” menguji kesabaranNya. Bayangkan saja, ketika orang fasik merasa dirinya lebih benar dari Yesus—padahal Dia adalah Tuhan, Sang Sumber Kebenaran!—menurut saya, Dia sangat berhak untuk marah. Duh… Walaupun demikian, Yesus tetap bisa mengendalikan diri dan—nantinya—berdoa agar Allah mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya (Lukas 23:34).

Kisah ini membuktikan bahwa dalam natur kemanusiaan-Nya, Yesus juga pernah disakiti dan dikhianati oleh orang terdekat-Nya. Yesus tidak hanya asal mengajar tentang pentingnya pengampunan melalui perkataan, namun juga memberikan teladan sempurna dalam penyaliban-Nya—sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh manusia berdosa! Mana ada orang yang bisa dengan mudahnya benar-benar mengampuni, apalagi jika dia dilukai oleh orang yang selama ini dipercayainya!?

Semakin dekat relasinya, maka semakin besar pula kesempatan kita untuk melukai orang lain. Kesadaran akan hal ini mendorong saya untuk melatih diri agar hanya mengandalkan Allah sebagai satu-satunya sumber kepuasan dan pertolongan—bukan dari manusia. Ya, sebagai Pencipta, hanya Allah yang paling memahami dan mengasihi saya. Bahkan Dia merelakan Yesus Kristus, Putra Tunggal-Nya, untuk menebus saya di kayu salib—sebuah pengorbanan yang sangat berarti bagi saya secara pribadi.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.
(Matius 5: 39-45)

Ketujuh ayat di atas memang mudah untuk hanya dibaca, namun melakukannya? Duh… rasanya harga diri ini jadi tercabik-cabik, kan? Bukannya ingin kembali menjalin relasi yang telah berubah, kita justru memilih menghindar dengan alasan “masih memulihkan hati”. Hmm… healing takes time, sih. Tapi mungkin luka yang sedang “dipelihara” ini membuat kita menyadari “the unknown me” yang selama ini tidak kita kenali. Ternyata kita adalah manusia yang rapuh dan tidak berdaya untuk memulihkan luka ini sendirian, sehingga untuk mengampuni orang lain pun tidak sanggup. Meski demikian, Yesus menguatkan kita: ketika kita mengasihi dan mengampuni seseorang melebihi dari yang bisa dilakukan oleh yang bukan-orang-percaya, sebenarnya kita sedang menghadirkan citra Bapa bagi orang lain—khususnya yang telah melukai kita.

Lalu bagaimana agar kita bisa mengampuni musuh dan berdamai dengan mereka, seperti yang diperintahkan dan dilakukan Yesus?

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.
(Matius 5:46-48)

Menjadi serupa Kristus berarti memiliki prinsip hidup, cara hidup, dan pengambilan keputusan seperti Kristus. Yah, itulah panggilan hidup bagi setiap kita yang sudah mengakui Yesus sebagai Juruselamat secara pribadi. Artinya, saat kita berani memaafkan orang-orang yang selama ini membenci maupun melukai kita, sebenarnya kita juga sedang mengerjakan panggilan kita dan bertumbuh dewasa menjadi pribadi yang berkarakter seperti Kristus. Walaupun prosesnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar (bahkan bergalon-galon air mata), Roh Kudus juga menolong kita untuk memiliki kehidupan yang lebih sehat secara jiwa dan emosi.

Sebuah pengampunan hanya bisa diberikan ketika kita benar-benar mengenal identitas kita sebenarnya di hadapan Allah. Yaps, kita adalah anak-anak Allah yang diterima-Nya dengan penuh anugerah melalui penebusan Kristus, dan dibebaskan dari penghakiman yang seharusnya kita terima. Kita juga adalah umat pilihan yang sudah dipersiapkan juga untuk suatu pekerjaan baik oleh Allah, dan kita tidak bisa dipisahkan dari kasih Allah. Sebagai orang percaya, kita juga dijadikan-Nya warga kerajaan Allah! Karena itu, kita harus menerima kebenaran ini sebagai suatu yang membebaskan dan mengingatkan kita untuk tidak menempatkan diri pada posisi yang “lebih benar”, “lebih baik”, ataupun “lebih berhak marah kepada mereka yang menyakiti” kita. Ini artinya kita juga harus mengikis ego diri sendiri; toh Bapa telah mengampuni kita—bahkan ketika kita masih berdosa!

Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya. Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah: Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun. Akan tetapi barangsiapa mendengar perkataan-Ku, tetapi tidak melakukannya, ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah di atas tanah tanpa dasar. Ketika banjir melandanya, rumah itu segera rubuh dan hebatlah kerusakannya.
(Lukas 6:47-49)

Salah satu buah dari pertobatan adalah pemberian pengampunan kepada orang lain. Jika demikian, pertanyaannya adalah… haruskah kita mengampuni semua orang—literally? Hmm… tentu kita memerlukan hikmat agar tidak salah dalam menyikapi hal ini. Walaupun rasanya pedih, kita harus mengimani dan mengamini bahwa kita tidak sendirian: ada Allah yang juga merasakan kepedihan itu! Dia juga memahami betapa sulitnya untuk tetap mengasihi orang-orang yang sudah melukai kita. Karena itu, kita perlu jujur kepada Allah tentang hal ini. Kerapuhan kita yang disebabkan oleh dosa membuat kita tidak berdaya untuk memberikan pengampunan dengan tulus kepada orang lain. Kiranya melalui keterbukaan dan penyerahan hati yang hancur ini, kita dimampukan-Nya untuk berkata, “Let my life reflect Your heart”[1], karena kita juga dipanggil untuk memancarkan hati Allah kepada orang-orang yang bahkan telah melukai kita sebagai sebuah bentuk ibadah yang sejati.


[1] Make My Life a Sacrifice, oleh Joseph Martin dan Jan McGuire

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^