Monday, September 9, 2019

Safira: Pengaruh Seorang Istri


by Alphaomega Pulcherima Rambang


Kisah Safira bisa kita baca di Kisah Para Rasul 5:1-11. Ada tiga ayat yang menjadi perhatian kita kali ini.

Dengan setahu isterinya ia menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lain dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul.
(Kisah Para Rasul 5:2)

Kata Petrus kepadanya: "Katakanlah kepadaku, dengan harga sekiankah tanah itu kamu jual?" Jawab perempuan itu: "Betul sekian." Kata Petrus: "Mengapa kamu berdua bersepakat untuk mencobai Roh Tuhan? Lihatlah, orang-orang yang baru mengubur suamimu berdiri di depan pintu dan mereka akan mengusung engkau juga keluar."
(Kisah Para Rasul 5:8-9)

Melalui kisah Safira, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari. 
1. Tidak bersepakat dalam hal dosa dengan suami.
Suami isteri diharapkan sehati sepikir tapi TIDAK DALAM DOSA. Kalau ada yang menyimpang, suami/istri tetap harus mengingatkan pasangannya lalu melakukan hal yang benar! 
2. Pentingnya memberikan pengaruh positif untuk suami dan mau mengingatkan. 
Tidak seperti Safira yang tahu perbuatan Ananias suaminya lalu mendiamkannya, sebagai isteri, kita harus mau dan mampu memengaruhi suami untuk melakukan yang benar. 

***

Jauh lebih dari yang disadari, setiap istri memiliki pengaruh terhadap suami. Pertanyaannya, pengaruh macam apa yang diberikan kepada suami? Jangan-jangan kita telah menjadi Safira zaman now. Ananias berbohong dengan sepengetahuan Safira, bahkan dikatakan kalau mereka berdua bersepakat untuk mencobai Roh Tuhan. Alkitab tidak mencatat siapa yang memunculkan ide ini pertama kali, entah Ananias atau Safira. TAPIIII…. akibat dosa ini ditanggung oleh mereka bersama. Seandainya Safira memengaruhi suaminya untuk membohongi Petrus dan para rasul yang lain, berarti dia telah berhasil memengaruhi suaminya secara negatif. Tapi, kalau ide ini berasal dari Ananias berarti Safira gagal memengaruhi suaminya untuk melakukan yang benar. Seorang wanita punya kekuatan memengaruhi orang-orang di sekelilingnya, disadari atau tidak. Sayang sekali kalau sebagai seorang wanita kita gagal menggunakan pengaruh yang dimilikinya secara optimal. 

Mengubah seorang suami dan memengaruhi seorang suami adalah dua hal yang berbeda. Sewaktu kita ingin mengubah seorang pria, berarti kita ingin suami berubah, tidak peduli apakah perubahan itu sebenarnya bukan hal yang diinginkan suami. Istri lah yang mengambil inisiatif dan sibuk melakukan segala sesuatu dan menuntut suaminya berubah, entah dengan kata-kata, intimidasi, tindakan, dll. Sementara memengaruhi berarti istri sibuk mengubah dirinya sendiri sambil berdoa dan berharap perubahannya juga memotivasi suaminya untuk berubah. Kalau begini, fokusnya bukan perubahan suami, tapi diri sendiri. Perubahan itu dirasakan suami sehingga suami berinisiatif mengubah dirinya. 

Sebagai seorang istri, Tuhan ingin membentuk para wanita menjadi lebih mengasihi, lebih bermurah hati, dan penuh kasih karunia melalui kekurangan yang dimiliki suami. Setiap wanita punya suami dengan tipe yang berbeda, kesamaan para suami tersebut adalah sama-sama tidak sempurna. Bagian seorang istri adalah memengaruhi suami dengan menumbuhkan atmosfer yang mendukung suami untuk mengubah kebiasaan dan karakternya tanpa memaksa dan menuntut suami berubah. 

Dalam sebuah grup pembinaan para istri yang saya ikuti, pernah dibahas mengenai 2 (dua) kubu ekstrim mengenai tipe para istri: 
  1. Takut konflik, banyak diam, tidak mau menegur, tidak mau mengingatkan dosa dan kesalahan suami. 
  2. Berani bicara, frontal, tapi kurang respek dan penghormatan pada suami. 
Kedua tipe ini sama-sama tidak akan bisa membuat perubahan yang mereka harapkan. 

***

Kamu tipe yang mana? Terkadang aku jadi tipe yang pertama, kadang jadi tipe yang kedua. Karena malas konflik, aku malas menegur suami, mending diam aja deh. Terkadang aku ngomong, tapi kasar atau nyinyir. Akibatnya sama, suami tidak mau berubah karena merasa pride-nya sebagai suami disinggung. Aku harus belajar untuk berani ngomong, dengan respek dan dengan sikap hati yang benar. Suami bisa merasakan lho kalau kita tidak menaruh respek. Suami tidak akan berubah karena sindiran. Kalau tidak percaya, coba saja. Suami bisa merasakan kalau spirit istri tidak benar. Ini tidak akan memotivasi suami untuk berubah.

Kalau rindu suami baca Firman Tuhan tiap hari, jangan ngomong, “Bang, bacalah Alkitab tu, malas kali kau baca Alkitab sekarang! Kerjaan kok cuma lihatin HP!”. Dijamin, suami sulit berubah. Kalau mau suami berubah maka kita harus doakan hal ini setiap hari dan mulai bertindak selaras dengan Firman Tuhan yang kita baca. Bukan sekedar saat kita baca Firman Tuhan yang perlu dilihat suami, tetapi hidup kita yang terus diubahkan firman pun harus terlihat suami. Mulai ceritakan firman Tuhan yang kita baca. Walaupun suami belum tertarik membaca Alkitab secara rutin, paling tidak dia ikut tahu kebenaran firman Tuhan yang dibaca istri. Cara ini tentu tidak akan membuat suami merasa dirongrong untuk baca Alkitab. Kalau dipaksa, suami kesal, istri pun kesal, kan? Mau? :D

Kalau minta tolong suami mengerjakan sesuatu dan tidak langsung dia kerjakan, para istri tentu tidak suka. Yang aku lakukan kalau terjadi seperti ini dulunya adalah mengerjakan sendiri sambil mengomel. Akibatnya suami pun ikut tidak nyaman. Padahal, suami sedang mengerjakan hal lain, yang membuatnya menunda melakukan yang aku minta. Saat membicarakan hal ini dengan suamiku, ketahuan kalau dia kesal dengan caraku meminta dia melakukan sesuatu. Menurut dia, caraku terkesan bossy, harus sekarang juga, tidak peduli suami lagi ngapain. Karena caraku, suamiku tidak termotivasi dan justru malas-malasan. Sekarang? Aku belajar meminta tolong dengan manis. Walaupun tidak langsung dikerjakan, aku belajar bersabar. Kalau suami lupa? Ya sudah, aku ingatkan. Kalau masih belum juga dikerjakan? No ngambek pokoknya! Aku berusaha kerjakan sendiri sebisaku tanpa ngomel. Berat sih. Mulut ini pengen ngomel sebenarnya, tapi aku belajar mengendalikan mulut mungilku ini. Dan yang terpenting juga, perlu banget belajar menghargai apa yang dilakukan suami, perubahan sekecil apapun perlu diapresiasi. Kiss suami, buatkan makanan yang disukainya, pijat, dan jangan lupa ucapkan terima kasih untuk yang dilakukannya.

Gary Thomas dalam bukunya Sacred Influence berkata, ”Banyak pernikahan hancur secara perlahan-lahan karena adanya sikap apatis selama bertahun-tahun.” Gak boleh lagi mikir, "Ya sudahlah, daripada ribut, mending diam aja, suami emang gitu orangnya". Diam seringkali bukan jalan keluar. Bicara lebih baik. Tapi tentu saja bicara bukan dengan emosi. Harus sadar diri dan koreksi diri, jangan-jangan sikapku yang memancing reaksi suami seperti itu. Stop sok mengampuni dan menganggap masalah tidak ada. Segala sesuatu harus dibicarakan. Saat dibicarakan, belajarlah untuk tidak mengabaikan teguran atau kekecewaan suami, kita pun harus berusaha berubah.

Setiap istri dianugerahi suami yang berbeda tapi sama: sama-sama tidak sempurna. Sebagai istri tentunya kita memahami kekurangan suami dan tahu apa yang paling akan dibutuhkannya untuk bertumbuh. Yuk, kita ciptakan atmosfer yang memotivasi suami terkasih kita menjadi dirinya yang terbaik, pria sejati yang dirancang Allah.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^