Monday, June 17, 2019

Maakha: Bahaya Menduakan Tuhan


by Glory Ekasari 

Dalam Perjanjian Lama, nama Maakha digunakan baik untuk pria maupun wanita. Nah, Maakha yang dimaksud di sini adalah seorang wanita yang berada di ranah kepemimpinan Israel. Dia adalah anak dari Absalom bin Daud, yang kemudian menjadi isteri raja Rehabeam bin Salomo. Rehabeam begitu mencintai Maakha, sehingga putera mahkota yang dipilih untuk menggantikannya adalah Abia, anak Maakha. Dengan demikian Maakha menyanding status terhormat sebagai ha gebira atau ibu suri. 

Dalam 2 Tawarikh 13:2, namanya disebut sebagai Mikhaya, yang berarti, “Siapakah yang seperti Allah?” Tapi sekalipun namanya demikian, Maakha bukan pengikut Allah Israel, atau setidaknya, dia mencampuradukkan agama Yahwe dengan agama Kanaan. Alkitab mencatat bahwa Maakha membuat patung Asyera untuk ibadah di Yerusalem. Kemungkinan besar patung ini diletakkan di Bait Suci, untuk bersanding sejajar dengan TUHAN. 

Abia, putera Maakha, hanya memerintah selama tiga tahun sebelum digantikan oleh anaknya, Asa. Raja Asa tidak mengikuti jejak ayah dan kakeknya yang menjadi penyembah berhala, namun ia mengembalikan Yehuda kepada penyembahan kepada TUHAN Allah. Pada saat inilah Maakha kena batunya: raja Asa memecat neneknya itu dari jabatan ibu suri karena ia tidak mau meninggalkan penyembahan berhalanya. 

Cerita tentang Maakha hanya segitu saja dalam Alkitab. Tapi penyembahan berhala, khususnya pada dewi yang bernama Asyera ini terus berlanjut sampai Israel dan Yehuda dibuang ke tanah asing. Siapa sebenarnya Asyera, dan mengapa penyembahan terhadap dia tetap laku walaupun Israel sudah punya Allah sendiri? 

Bangsa Israel punya sejarah panjang tentang ketidaksetiaan mereka kepada Allah. Sejak Yosua mati, mereka mulai melirik tetangga mereka, orang-orang Kanaan, dan bertanya-tanya, mengapa orang Kanaan punya begitu banyak dewa, sedangkan mereka hanya satu. Ada anggapan dalam budaya pagan kuno bahwa setiap dewa memiliki keahlian sendiri: ada dewa perang, dewa kesuburan, dewa hujan, dewa pengobatan, dan sebagainya. Sekarang Israel sudah tinggal menetap, jadi mereka harus beribadah pada dewa lain, seperti dewa hujan dan dewa kesuburan, agar usaha pertanian dan peternakan mereka sukses! Demikianlah tekanan dan pengaruh dari lingkungan sekitar membuat Israel tercemar dalam iman mereka. 

Asyera, bersama Astarte dan Anat, adalah tiga dewi terbesar dalam agama Kanaan. Dia adalah isteri dari El, dewa utama agama Kanaan, dan mereka bersama punya 70 anak (yang, tentu saja, semuanya dewa). Karena anaknya yang banyak ini, Asyera dianggap sebagai dewi kesuburan dan alam. Dewi ini sangat populer di daerah Timur Tengah kuno. Lambang-lambangnya adalah singa (kekuatan), ular (kesembuhan), dan pohon (kesuburan). 

Karena pohon merupakan salah satu lambang dari Asyera, maka dalam ibadah kepadanya selalu ada yang namanya “tiang” atau “tugu” dari kayu. Jangan bayangkan tiang ini seperti kayu sengon ya. Ini benar-benar pohon atau tubuh pohon yang dipahat untuk mewakili dewi Asyera. Pemujaan Asyera juga dilakukan di daerah pegunungan yang disebut dengan bukit pengorbanan (Inggris: high places). Dikatakan tentang penyebab jatuhnya Kerajaan Israel: “Mereka mendirikan tugu-tugu berhala dan tiang-tiang berhala di atas setiap bukit yang tinggi dan di bawah setiap pohon yang rimbun” (2 Raja-raja 17:10). Yang dipuja di tempat-tempat itu adalah duet dewa Kanaan: Baal dan Asyera. 

Yang menarik adalah, orang Israel dan Yehuda mencampurkan ibadah mereka dengan agama Kanaan. Di kota Lakhis, contohnya, ada rumah ibadah yang bentuknya meniru Bait Suci di Yerusalem (dengan ruang kudus dan ruang mahakudus), tetapi di dalam ruang mahakudus yang ada adalah patung berhala. Demikian pula di Yerusalem, tugu Asyera disandingkan dengan perabot Bait Suci karena mereka beranggapan bahwa Asyera adalah isteri Allah Israel. Bentuk ibadahnya pun demikian. Dalam tempat ibadah untuk Asyera dan Baal, ada kegiatan pelacuran bakti, di mana pelacur-pelacur pria/wanita yang bekerja atas nama dewa/dewi tersebut berhubungan seks dengan para pemuja yang datang beribadah pada hari festival. 

Okay, that was intense. Ini sudah sama sekali berbeda dengan ibadah Israel yang seharusnya. 

Tetapi ibadah seperti itulah yang diikuti Maakha dan tidak mau ditinggalkannya, termasuk ketika Asa, cucunya, memerintahkan agar semua tugu berhala dirobohkan. Dikatakan oleh Alkitab bahwa Maakha “...membuat patung Asyera yang keji” (1 Raja-raja 15:13), yang begitu kejinya, sehingga dihancurkan dan dibakar di lembah Kidron oleh Asa. Ada yang berkata bahwa Maakha membuat sebuah patung penis raksasa, ada juga yang berspekulasi Maakha meletakkan patung Asyera di ruang mahakudus di Bait Suci. Kita belum tahu pasti patung apa yang dimaksud, tetapi yang jelas Asa bereaksi keras terhadap ketegaran hati neneknya yang tidak mau meninggalkan penyembahan berhala itu. Bertentangan dengan Maakha, Asa bertekad untuk beribadah kepada Tuhan dengan segenap hati dan tidak mencampur ibadahnya dengan ibadah pada dewa-dewi asing. 

Maakha adalah contoh klasik dari orang-orang yang begitu pluralis, sehingga mereka menerima segala macam ibadah, menganggap semua sama saja. Mereka jatuh pada dosa sinkretisme: mencampuradukkan berbagai kepercayaan. Dia masih memanggil nama TUHAN Allah Israel, tetapi juga sujud di hadapan Asyera. Dia membakar korban bagi Allah Israel, tetapi mendukung pelacuran bakti di hadapan dewa-dewi asing. Pada akhirnya dia tidak lagi bisa membedakan apa yang kudus dan keji di hadapan Tuhan; dia sudah tidak lagi mengenal Allah. 

Satu pertanyaan menarik timbul karena Maakha bergesekan dengan keluarganya sendiri, yaitu raja Asa: Apakah raja Asa terlalu fanatik? 

Di kota tempat saya tinggal, setiap tahun ada perayaan dewa kelenteng lokal, dan banyak orang keturunan Tionghoa akan ikut mengangkat tandunya. Saya sudah beberapa kali mendengar orang berkomentar terhadap orang Kristen: “Orang Kristen itu fanatik! Ini gak boleh, itu gak boleh, sembahyangan leluhur gak boleh, mengarak tandu dewa juga gak boleh. Fanatik!” 

Sedikitpun saya tidak merasa tersinggung dengan sebutan “fanatik” itu. Antara Tuhan dengan umat-Nya ada perjanjian: Dia akan memelihara kehidupan kami di dunia ini dan dunia yang akan datang, dan kami akan beribadah hanya kepada Dia. Kalau saya disebut fanatik karena saya setia kepada Tuhan yang saya sembah, memegang perjanjian dengan-Nya dengan sungguh-sungguh, saya tidak keberatan. Tentunya saya menghargai kebebasan orang lain untuk beribadah sesuai kepercayaan mereka, tapi itu bukan berarti saya harus ikut beribadah sesuai cara mereka. 

Ketika kita mencampuradukkan Tuhan dengan dosa, atau ibadah kepada Tuhan dengan ibadah terhadap yang lain, yang terjadi adalah suatu hybrid yang aneh, yang sama sekali tidak ada miripnya dengan ibadah yang dijelaskan dalam Firman Tuhan. Tuhan membenci percabulan dan perzinahan, tapi agama Kanaan mengkultuskan pelacuran bakti di tempat ibadah. Tuhan tidak pernah menyuruh pengorbanan manusia, tapi para pengikut berhala menyembelih anak-anak mereka sendiri untuk dikorbankan kepada dewa! Bagaimana mungkin orang bisa memanggil nama Tuhan sekaligus beribadah kepada dewa-dewi yang karakternya begitu berbeda dengan Allah Israel? Bagaimana terang dapat bersatu dengan gelap? Bagaimana dosa bisa ditolerir di hadapan Allah Yang Mahakudus? 

Sebagai umat Tuhan, kita harus memisahkan diri dari dunia dan cara hidup mereka. Gereja berasal dari kata ekklesia, yang artinya orang-orang yang dipanggil keluar. Israel dipilih Tuhan menjadi umat-Nya untuk menjadi pemimpin bagi bangsa-bangsa lain dalam beribadah kepada Tuhan; namun mereka justru mencampurkan diri dengan bangsa-bangsa lain dan mengkhianati panggilan mereka. Tuhan memilih orang-orang yang menjadi umat-Nya dengan dasar iman, dan firman Tuhan menegaskan: 

“Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.”
(1 Petrus 2:9)

Kita bukan Maakha. Mari bersihkan pikiran kita dari segala gagasan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Bersihkan tangan kita dari dosa yang kita toleransi. Bersihkan hati kita dari penyembahan yang menyimpang dari Tuhan. Dunia boleh mencemooh kita, menganggap kita strict, fanatik, gak gaul, konservatif, dan sebagainya—yang penting Tuhan berkenan dengan hidup dan penyembahan kita.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^