Monday, May 13, 2019

Wanita yang Berzinah: Bagaimana Seharusnya Menanggapi Kasih Karunia?




by Eunike Santosa

Siapa di antara kita yang: 
a. tidak pernah berbuat dosa? 
b. punya masa lalu yang kelam? 
c. kenal dengan orang yang punya masa lalu yang kelabu? 

Kalo nggak ada, pernahkah Pearlians mendengar cerita tentang kehidupan seseorang yang kelabu, nggak? Hahahaha… #maksa :p

Mungkin di sini kita bakal teringat dengan satu-dua cerita tentang orang-orang tertentu. Tapi coba deh, dipikirkan lagi. Apakah kita pernah merasa diri ini lebih baik daripada … (isilah titik-titik ini sesuai dengan orang yang muncul di pikiranmu)?

Sudah? Oke, next question. Siapa yang saat ini sedang bergumul dengan dosa? *saya ikutan angkat tangan kalo begini. Hehe*. Nah, bagaimana pergumulan Pearlians sejauh ini? Apakah: 
a. jatuh dalam dosa yang sama? 
b. sudah bebas dan lanjut bergumul dengan dosa lainnya? 
c. malah keenakan berkubang di lubang dosa itu? 

Kenapa saya menanyakan semua pertanyaan tersebut sebagai pendahuluan?

Karena once upon a time, ada sebuah kisah di mana terdapat karakter-karakter yang—kurang lebih— berada dalam situasi seperti itu. So, kali ini kita akan belajar dari kisah wanita yang berzinah. Ceritanya terdapat dalam Yohanes 8:1-11. Yuk, kita liat baik-baik apa yang terjadi di sini. (Peringatan: ini bahasa parafrase, jadi Pearlians sangat dihimbau tetap membuka Alkitab masing-masing dan baca dari situ dulu, ya. Hehehe...)

Kisah ini dimulai dengan: 
  1. Tuhan Yesus jalan ke bukit Zaitun. Itu masih pagi bangettt, and Dia lagi di Bait Allah. Nah, trus orang-orang (rakyat) datang nih. Jadinya Tuhan Yesus duduk dan ngajarin mereka. (ay. 1&2). 
  2. Trus muncullah… *Jreng jreng* para ahli Taurat dan orang-orang Farisi (pada dasarnya, mereka itu orang-orang yang tahu banget hukum Musa—karena mereka belajar sampai paham total—kayak ahli teologi pada zamannya gitu, deh! Kalo sekarang, kira-kira mirip sama para pendeta atau hamba Tuhan gitu laahhh). Mereka dateng bawa cewek yang kedapatan lagi berzinah (baca: lagi ML sama cowok yang bukan suaminya) (ay.3). 
  3. Nah, si cewek ini ditaruh aja di tengah-tengah kerumunan yang ada di depan Tuhan Yesus, lalu “para pendeta” itu ngomong ke Tuhan Yesus, “Ini cewek ketangkap basah baru berzinah (ay.4), dan dalam hukum Taurat (hukum Israel), Musa bilang kalo cewek ini kudu dilemparin batu. Menurut lu gimana noh? (ay.5)” 
  4. Ayat 6 langsung nunjukkin dengan jelas motivasi para manusia ini adalah untuk mencobai Tuhan Yesus. ”Haaa… pengen nyalahin Tuhan Yesus, nih.” Eh tapi, respon Tuhan Yesus adalah nulis-nulis di tanah pake jari. (perihal lagi nulis apa, ga ditulis sih sm Alkitab) 
  5. Trusss, karena didesak sama pertanyaan-pertanyaan itu, akhirnya Yesus bilang, “Kalo di antara kalian ada yang ga berdosa, silakan aja jadi yang pertama lemparin batu ke cewek itu.” (ay.7) Abis itu Dia langsung lanjut nulis-nulis di tanah lagi (ay.8). 
  6. Nah, setelah Tuhan Yesus ngomong gitu, satu-satu mulai pergi, deh. Dari yang paling tua ke paling muda, sampai cuma tinggal Dia dan cewek itu doang (ay.9). 
  7. Abis itu, Tuhan Yesus berdiri dan nanya ke si cewek, “Yang lain mana, yah? Gak ada yang mau ngehukum kamu kah?” (ay. 10) 
  8. Si cewek jawab, “Gak ada, Tuhan.” Trus Tuhan Yesus bilang, "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." (ay. 11) 
Nah, dari kisah tersebut, coba kita cermati ada siapa aja di situ. Pastinya ada Tuhan Yesus, kemudian para ahli Taurat dan orang Farisi, serta si perempuan yang berzinah. Dari situ, kita akan membahas lebih dalam tentang dua hal; kemunafikan rohani dari para “petinggi” agama tersebut, serta hubungan pengampunan dan pertobatan yang disampaikan oleh Yesus pada perempuan itu. 


--**--

1. KEMUNAFIKAN ROHANI
Secara eksplisit, Alkitab mencatat motivasi para ahli Taurat dan orang Farisi, “Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya.” (ay. 6). Bagaimana kita bisa melihat kemunafikan mereka yang lebih jelas? Dari catatan kaki yang ada di Alkitab (baik Alkitab cetak maupun yang berbentuk apps. Kalo di apps, bentuknya kayak bintang yang perlu di-klik gitu). Catatan kaki ini berisi ayat Alkitab yang terkait dengan ayat yang kita baca, tujuannya untuk membantu menjelaskan bagian yang sedang dibaca. Gak percaya? Cek aja langsung hehe. Oke, kita akan baca dua ayat yang berkaitan dengan Yohanes 8:6 ini:

Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu.
(Imamat 20:10)

Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.
(Ulangan 22:22)

Kitab Pentateukh (5 kitab pertama di Alkitab) merupakan kitab Musa, salah satunya adalah Imamat yang berisi berbagai hukum Israel—yang diulang lagi nantinya di Ulangan (setelah Israel keliling-keliling gurun selama 40 tahun). Nah, dari dua ayat di atas (yang ada di dalam hukum Musa), bisa kita lihat kalo semestinya yang ditangkap itu dua-duanya, si cowok dan si cewek. Tapi kenyataannya, yang dibawa kepada Tuhan Yesus cuma yang cewek.

Lah, lakinya kemana? Kok, cuman si cewek aja yang dibawa ke Dia? Kan, katanya mau sesuai hukum, ya? Berarti harusnya yang cowok juga ikut dihukum, kan? Gimana, sih…

Nggak berhenti di situ, setelah didesak melulu, akhirnya Tuhan Yesus bilang untuk mempersilakan mereka yang tidak pernah berbuat dosa buat ngelemparin batu duluan. Pada dasarnya, hal ini sesuai dengan apa yang Musa tulis:

Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
(Ulangan 17:7)

Di situ dibilang, kalo beneran nih cewek berzinah, siapa yang ‘dapetin’ dia harus jadi yang paling pertama buat lemparin batu. Kenapa? Biar mereka tahu, dan orang-orang nggak asal aja laporin orang yang mau dilemparin batu (dibunuh). Dengan hukum ini, para saksi dituntut untuk mengambil konsekuensi dan tanggung jawab atas testimoni mereka—bukan hanya sekadar lempar batu sembunyi tangan. Artinya, adalah satu hal ketika kamu bisa berkoar-koar sebarin hoax, tapi itu jadi lain kalo mereka harus benar-benar berhadapan dengan konsekuensi atas apa yang kamu katakan. Dengan jadi orang yang pertama untuk lemparin batu, maka ada beban etis dan moral dari sekadar memberikan tuduhan. Jadi ada sebuah proses peradilan yang terjadi di sini. 

Nah dari dua hal keganjilan tersebut, alasan sebenarnya dari para ahli Taurat dan orang Farisi ini bisa kita lihat dengan lebih jelas: pengen nyalahin dan nyudutin Tuhan Yesus. Kalo Tuhan Yesus main mengampuni aja nih cewek, tandanya Yesus melanggar hukum Musa donk (big no no!). Di sisi lain, kalo Tuhan Yesus mengikuti hukum Musa, maka di mana kasih dan pengampunan itu? Nah, ngerti kan gimana dilemanya Tuhan Yesus? Hahaha... Kira-kira gitu deh, pemikiran para ahli Taurat dan orang Farisi yang mau menjebak Tuhan Yesus. Mereka pikir pasti Tuhan Yesus akan memilih di antara dua hal tersebut; either way, kena deh!

Tapi, ups! Respon Tuhan Yesus beneran keren, deh. “Silakan lempar batu kalo kalian tidak pernah berbuat dosa!” Pernyataan ini membalikkan kedudukan orang-orang yang tadinya merasa diri lebih benar daripada si perempuan yang kedapetan berdosa ini. Yesus seolah-olah balik nanya, “Oke deh, kalo kamu mau hukum nih cewek karena dia buat dosa. Tapi kamu sendiri gimana? Sucikah kamu?” Standar kekristenan yang Tuhan Yesus kasih untuk kesucian itu sampai dengan, “Kalo kamu liatin orang lain dengan nafsu, kamu udah berzinah (Mat 5:28). Pernah ga kamu liatin orang kayak gitu? Sadar gak kalo kamu itu sama berdosanya, dan gak lebih baik dari cewek ini?”

Tadi di awal-awal, saya kasih pertanyaan, “Apa kamu pernah merasa lebih baik dari orang lain?” Kalo jawaban “ya” untuk pertanyaan seperti itu pernah muncul di pikiran kalian, maka pemikiran seperti ini dalam bahasa Inggris disebut “self-righteousness” atau dengan kata lain… merasa benar sendiri. Google Translate sih, bilangnya “kemunafikan”. Hehehe… :$ Ini sikap waktu kita merasa kalo kita ini lebih kudus dari orang lain, lebih superior secara moral dan perilaku, lebih hebat, bahkan lebih ‘spiritual’ dibandingkan mereka!

Jujur saja, ini pergumulan tersendiri bagi saya. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di lingkungan gereja, menghakimi orang lain dan melihat diri saya sendiri lebih baik daripada yang lain secara moril itu adalah sebuah kecenderungan yang perlu saya perangi. Gampang banget buat lihat balok di mata orang lain, tapi saya justru nggak lihat gajah se-mammoth di depan mata sendiri -.-“ Bagaimana pun, kemunafikan spiritual ini adalah dosa dan menyedihkan hati Allah. Saya harus bertobat!

2. PENGAMPUNAN & PERTOBATAN
Singkat cerita, orang-orang itu udah pada pergi. Baguslah, tandanya mereka masih sadar diri hahaha… Yang tersisa cuma Tuhan Yesus dan si perempuan. Setelah gak ada orang yang lemparin batu, Tuhan Yesus bilang gini di ayat ke-11:

“Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."
(Yohanes 8:11)

Apa yang bisa kita pelajari dari kalimat Tuhan Yesus tersebut?

Yang pertama adalah pengampunan, alias dibebaskan dari penghukuman. Pernah lihat orang-orang yang diberikan abolisi atau amnesti dari presiden? Wuihhh, pasti rasanya senang dan lega bukan? Misalnya kamu kedapetan mencuri kue chiffon pandan dari Pasar Baru, eh kamu ketangkep sama orang-orang se-RT! Abis itu kamu dibawa (biar lebih dramatis, diseret) ke Pak RT—yang sekaligus adalah yang pemilik toko kue tempat kamu ambil kuenya hahaha. Bukannya ngehukum, beliau malah bilang, “Saya gak akan hukum kamu. Saya mengampunimu.” Ha, kalo gini kamu pasti senang, donk :p Lega kan, pastinya karena diberikan kesempatan untuk berubah.

Demikian juga dengan Allah yang mau mengampuni kita. Yohanes 3:17 menuliskan, “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” Pengampunan itu telah Dia berikan kepada kita, dan itu bukti kasih karunia dari-Nya buat kita, umat manusia yang berdosa ini.

Nah, terus sebagai orang yang sudah diampuni, apa yang harus kita lakukan? Jawabannya ada di bagian kedua dari kalimat Tuhan Yesus, yaitu, “Jangan berbuat dosa lagi” alias… Bertobat!

Maukah engkau menganggap sepi (baca: remeh, versi BIMK) kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?
(Roma 2:4)

Dosa itu emang enak, TAPI addictive, merusak serta mematikan! Dalam Roma 6 Paulus menerangkan dengan gamblang bagaimana sebagai orang yang telah dimerdekakan oleh Kristus: kita ini bukan budak dosa lagi! Kita dimampukan untuk say “NO!” terhadap dosa, dan kita membenci dosa karena tahu bahwa dosa mendukakan hati Allah. Alasan Tuhan marah dan sedih ketika kita berdosa itu karena Dia kasihan liatin kita yang lagi melukai diri sendiri. Bayangkan: Dia marah dan sedih untuk kita! :(

Lah, terus bagaimana kita bertobat? Apa itu pertobatan?

Dalam Perjanjian Baru, “pertobatan” menggunakan kata dalam bahasa Yunani, “μετάνοια” (metanoia), yang artinya “berbalik arah”—kehidupan yang benar-benar berubah 180

°

 (tentunya dengan mengarahkan diri sepenuhnya kepada Kristus, yaa). Perjanjian Lama pun memberikan beberapa contoh ungkapan mengenai bentuk pertobatan, misalnya di Yehezkiel 14:6; 18:30 (dengan kata “berpalinglah!”). Di samping itu, pertobatan juga memiliki unsur pengakuan dosa—dan yang paling terkenal tuh, kayak di Mazmur 51, di mana Daud mengaku dosa setelah berzinah dan membunuh suami orang. Sebagai contoh, kita bisa berdoa demikian, “Tuhan, aku telah . . . (isi dan deskripsikan apa yang kamu lakukan yang melukai hati Allah).” Jangan lupa: pengakuan ini harus diikuti penyesalan dan dukacita akan dosa tersebut, seperti yang dikatakan Paulus,

… karena dukacitamu membuat kamu bertobat. Sebab dukacitamu itu adalah menurut kehendak Allah, sehingga kamu sedikitpun tidak dirugikan oleh karena kami. Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan . . . 
(2 Korintus 7: 9-10)

Ketika kita bersedih karena dosa, itu bagus :) It’s a part of repentance! Ketika kita malu dan membenci dosa, itu adalah bentuk pertobatan. Walaupun harus tertatih-tatih dan bergumul keras untuk berkata TIDAK kepada dosa, itu adalah perwujudan dari pertobatan kita! Ketika kita jatuh untuk kesekian kalinya, namun bangkit kembali dan mau senantiasa untuk “balik arah’ dan mengikuti kehendak Allah, itulah pertobatan.

Jadi teman-teman, pertobatan itu adalah respon otomatis dari pengampunan. Dua-duanya sepaket.

“Anugerah murahan adalah rahmat yang kita berikan pada diri kita sendiri. Anugerah murahan adalah khotbah pengampunan tanpa membutuhkan pertobatan, baptisan tanpa disiplin gereja, Komuni tanpa pengakuan... Anugerah murahan adalah anugerah tanpa pemuridan, anugerah tanpa salib, anugerah tanpa Yesus Kristus, hidup dan berinkarnasi.”

(Terjemahan dari: “Cheap grace is the grace we bestow on ourselves. Cheap grace is the preaching of forgiveness without requiring repentance, baptism without church discipline, Communion without confession…. Cheap grace is grace without discipleship, grace without the cross, grace without Jesus Christ, living and incarnate.”)

—Dietrich Bonhoeffer

Kasih pengampunan yang Allah berikan kepada kita memang diberikan secara cuma-cuma, tapi kasih yang melatarbelakanginya itu sangat mahal, Pearlians! Menutup tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk merenungkan, “Bagaimana selama ini kita telah menghidupi kasih karunia Allah itu? Have we actually taken it for granted?

Jadi bagaimana? Apakah kita akan berbuat dosa, 
karena kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia?
“Sekali-kali tidak!”
(Roma 6:15)

Beranikah kita mengatakan hal yang sama seperti Paulus di atas?

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^