by Tabita Davinia Utomo
Bayangkan jika saat ini kita hidup di bawah penjajahan bangsa yang pernah kita taklukkan sebelumnya. Merasa kesal? Hm, bagaimana kalau semua itu karena kehidupan bangsa kita yang tidak menaati Tuhan? Penjajahan bangsa asing tersebut jadi terasa mengerikan, apalagi karena ada 900 kendaraan perang yang bisa datang sewaktu-waktu dan melukai—bahkan membunuh—kita seketika. Yang lebih menyedihkan, penderitaan tersebut berlangsung selama 20 tahun—dan tidak ada seorang pun yang berani melawan imperialisme ini! Lengkap sudah penderitaan kita, bukan?
Hal itulah yang dirasakan oleh bangsa Israel di bawah penjajahan raja Kanaan, Yabin, dan panglima tentaranya yang bernama Sisera. Setelah Ehud, hakim Israel yang kidal (Hakim-hakim 3:15), mati, bangsa Israel kembali menyembah berhala dan hidup di luar kehendak Tuhan. Sebagai konsekuensinya, Tuhan menyerahkan bangsa bebal itu untuk dijajah bangsa Kanaan. Walaupun begitu, Dia tidak tinggal diam terhadap penindasan umat-Nya—sehingga diutuslah Barak bin Abinoam untuk memimpin bangsa Israel melawan bangsa Kanaan.
Berbicara tentang Barak, tentunya kita tidak boleh melupakan sosok wanita di balik keberanian pria itu. Nama wanita itu Debora, istri Lapidot, yang menjadi satu-satunya hakim wanita di Israel (Hakim-hakim 4-5). Debora biasa duduk di bawah pohon kurma, di antara Rama dan Betel di pegunungan Efraim, untuk menyampaikan nasihat pada orang-orang yang datang kepadanya.
Bisa dibilang, Debora mendobrak “kebiasaan” di zaman itu, di mana hanya laki-lakilah yang dapat menjadi pemimpin. Mungkin ada beberapa orang yang iri pada Debora karena dia memiliki kesempatan langka untuk memerintah bangsa Israel. Tapi satu hal yang harus kita pegang: orang-orang menaruh hormat dan segan Debora. Respek tersebut bisa timbul dari bangsa Israel karena Debora menyampaikan kebenaran firman Tuhan.
Walaupun tidak ada penjelasan gamblang alasan terpilihnya Debora menjadi hakim Israel, kita bisa melihat bahwa Tuhan memilihnya untuk menguatkan Barak yang sempat takut untuk berperang.
Ia (Debora) menyuruh memanggil Barak bin Abinoam dari Kedesh di daerah Naftali, lalu berkata kepadanya: "Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan demikian: Majulah, bergeraklah menuju gunung Tabor dengan membawa sepuluh ribu orang bani Naftali dan bani Zebulon bersama-sama dengan engkau, dan Aku akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin, dengan kereta-keretanya dan pasukan-pasukannya menuju engkau ke sungai Kison dan Aku akan menyerahkan dia ke dalam tanganmu."
Jawab Barak kepada Debora: "Jika engkau turut maju akupun maju, tetapi jika engkau tidak turut maju akupun tidak maju." Kata Debora: "Baik, aku turut! Hanya, engkau tidak akan mendapat kehormatan dalam perjalanan yang engkau lakukan ini, sebab TUHAN akan menyerahkan Sisera ke dalam tangan seorang perempuan." Lalu Debora bangun berdiri dan pergi bersama-sama dengan Barak ke Kedesh.
(Hakim-hakim 4:6-9 / TB)
Debora bisa saja menjawab kegentaran Barak dengan berkata, “Dasar, kayak gitu aja takut? Jadi cowok kok lemah!” Atau mungkin Debora memilih menertawakan Barak dan tidak mau ikut berperang bersamanya. Sebaliknya, Alkitab menegaskan bahwa Barak tetap memimpin mereka sampai menang. Meski tidak tertulis secara eksplisit, kita bisa melihat betapa Debora sangat memaklumi ketakutan Barak. Yah, secara logika manusia, bangsa Israel yang lemah dan minim persenjataan tidak akan bisa menang dari bangsa Kanaan yang kuat dan memiliki 900 kereta besi itu. “Itu mah cari mati,” mungkin Barak berpikir demikian, “Tuhan pasti bercanda memilihku yang penakut ini!” Bahkan sampai detik-detik perang akan dimulai, bisa jadi dia tetap gelisah saat melihat persiapan bangsa Kanaan untuk melawan bangsa Israel.
Tapi Debora kembali menguatkan Barak,
“Up! For this [is] the day in which the LORD has delivered Sisera into your hand. Has not the LORD gone out before you?”
(Hakim-hakim 4:14 / NKJV)
… and the rest is history :) Kita tahu bahwa pada akhirnya bangsa Israel berhasil mengalahkan bangsa Kanaan—dan Sisera pun dibunuh oleh Yael, salah satu wanita yang berasal dari keturunan ayah mertua Musa. Apa yang Debora katakan pada Barak adalah benar: mereka mengalahkan bangsa Kanaan karena pertolongan Tuhan, dan puncaknya adalah ketika nubuat Debora mengenai Sisera terjadi.
--**--
Bagiku pribadi, Debora mengajarkanku tentang:
1. Pentingnya bersikap meneduhkan, bukannya mencela dan tidak mau peduli pada orang lain.
Melalui perkataannya, dia menguatkan Barak untuk memimpin bangsa Israel dalam berperang. Bukan hanya itu, Debora juga menemani Barak berperang—yang sebenarnya waktu berperangnya itu bisa dia alihkan untuk melakukan hal lain.
Kalau dalam “Teduhnya Wanita” Raisa berkata, “Tajam rasa racun dunia, ia (wanita) punya penawarnya: kelembutannya (adalah) kekuatannya”, maka Amsal 31:26 berkata,
“Ia (wanita/istri yang cakap) membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya.”
(Amsal 31:26)
Betapa besar kekuatan kata-kata, apalagi jika keluar dari diri wanita yang percaya pada Allah!
2. Tidak jemu untuk membangun hubungan pribadi dengan Tuhan dan memohon hikmat-Nya dalam menjadi hakim bagi umat-Nya.
Debora tidak akan bisa menjadi hakim Israel jika bukan karena Tuhan yang memilihnya. Debora menyadarinya, karena itu dia setia berdoa dan memohon pada Tuhan untuk memberikan hikmat-Nya dalam memberikan nasihat—termasuk saat Barak ragu-ragu untuk maju berperang.
3. Menaati panggilan Tuhan, sesulit apapun itu.
Kalau melihat Barak yang takut untuk memimpin bangsa Israel berperang, ada kemungkinan muncul secuil kesombongan dalam diri Debora, “Huh, kayak gitu aja nggak bisa! Imanmu lemah sih, Barak! Nggak kayak aku!” ataupun keluhan, “Kok, Tuhan memilih Barak yang penakut, bukan aku yang adalah hakim ini?”, tapi dia tidak melakukannya. Debora sadar bahwa Tuhan ingin bertindak bagi umat-Nya melalui dirinya dan Barak; karenanya, dia tahu posisinya adalah “pelaksana” perintah Tuhan dan tunduk pada-Nya, bukannya melangkahi-Nya.
4. Tidak tinggal diam saat mengetahui ada yang memerlukan pertolongan.
Debora bisa saja meninggalkan Barak diam-diam saat berperang. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: Dia menemani Barak dengan berdoa kepada Tuhan untuk menyertai para tentara Israel—hingga mereka memuji Tuhan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang Dia berikan.
***
Mungkin Debora tidak pernah menyangka, bahwa berabad-abad kemudian, penulis surat Ibrani menyatakan bahwa jenderal Barak yang sempat takut berperang itu termasuk dalam salah satu pahlawan iman (Ibrani 11:32-34). Ya, kata-kata memiliki kekuatan untuk menghancurkan, tapi juga bisa membangkitkan semangat yang patah. Kalau kita mengaku sebagai anak-anak Allah, maka sudah seharusnya kita berkata-kata seperti yang Dia kehendaki: membangun, bukan meruntuhkan. Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan seseorang di masa depan selain Allah. Bisa saja dia mengalami keputusasaan berkepanjangan karena celaan kita, atau dia justru memiliki hidup yang berpengharapan pada Tuhan karena encouragement yang kita berikan—walaupun cuma sesaat.
Jadi, siapakah orang yang ingin Anda berikan encouragement hari ini?
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^