Monday, January 14, 2019

Atalya: Mata Rantai Dosa


by Tabita Davinia Utomo 

Selamat memasuki tahun 2019, Pearlians! Bagaimana kabarnya? Masih bersemangat menjalani resolusi yang sudah tersusun di tahun sebelumnya? :) Nah, biar lebih afdol lagi, hari ini kita akan belajar dari seorang wanita yang sangat berpengaruh di zamannya. Bukan hanya sebagai seorang istri dan ibu, tapi juga bagi cucu dan… seluruh bangsanya! Well, the clue is… dia adalah satu-satunya ratu yang pernah memerintah di sepanjang sejarah kerajaan Yehuda dan Israel. Who is that woman? 

Dia adalah Atalya, anak perempuan Ahab, raja Israel. Kisahnya bisa kita temukan di 2 Raja-raja 8:26; 2 Raja-raja 11; 2 Tawarikh 22; 2 Tawarikh 23:13-21; 24:7. Seperti yang kita tahu, Ahab dan Izebel, istrinya, telah membuat Israel sampai ke titik kebobrokannya. Pada masa pemerintahan Ahab, ia membuat bangsa Israel menyembah berhala dan mengakibatkan Tuhan murka—sampai-sampai hujan tidak turun selama 3,5 tahun. 

Atalya yang dibesarkan dengan orang tua seperti Ahab dan Izebel, tumbuh pula menjadi wanita yang tidak mengenal Allah. Yuk, kita berefleksi melalui tiga peran buruk yang dicatat Alkitab mengenai Atalya! 

1. ATALYA SEBAGAI ISTRI
Dengan membawa didikan mengenai penyembahan berhala dari orangtuanya, Atalya pun memengaruhi Yoram—suaminya sekaligus raja Yehuda—untuk memimpin kerajaan Yehuda dalam penyembahan berhala. Padahal, Yoram adalah salah satu keturunan Daud, yang seharusnya menjaga integritasnya untuk hidup dalam kehendak Tuhan. Tapi Alkitab mencatat, 

Ia (Yoram) hidup menurut kelakuan raja-raja Israel seperti yang dilakukan keluarga Ahab, sebab yang menjadi istrinya adalah anak Ahab. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN. 
(2 Raja-raja 8:18 / TB)

Selama ini, saya hanya mendengar bahwa seorang istri memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan suaminya. Tapi kali ini, Alkitab memberikan data akurat bahwa pengaruh seorang istri bisa menjadi salah satu sumber kejatuhan suaminya dalam dosa. 

Seorang istri dapat menjadi sarana bagi suaminya untuk mendekat kepada Tuhan, atau justru menjauh dari-Nya. 

Untuk menegaskan hal ini, berabad-abad kemudian, Petrus menuliskan tentang bagaimana seorang istri harus bersikap, bahkan saat suaminya tidak taat pada Firman Tuhan, 

“Begitu juga kalian, istri-istri, harus tunduk kepada suami supaya kalau di antara mereka ada yang tidak percaya kepada berita dari Allah, kelakukanmu dapat membuat mereka menjadi percaya. Dan tidak perlu kalian mengatakan apa-apa kepada mereka, sebab mereka melihat kelakukanmu yang murni dan saleh.” 
(2 Petrus 3:1-2 / BIMK) 

Dari peran pertama ini, kita bisa crosscheck ke diri masing-masing. Apakah sebagai istri atau calon istri kita: 
  1. rindu agar kehidupan suami mengalami pertumbuhan, baik secara iman dan karakter? 
  2. mendorong suami untuk bertumbuh bersama; baik melalui saat teduh, komunitas pertumbuhan iman, dsb.? 
  3. mendorong suami untuk terlibat dalam pelayanan; baik di gereja maupun di luar gereja—disertai pemahaman bahwa melayani Tuhan bertujuan untuk memuliakan-Nya? 
  4. bukan hanya “memerintah” suami untuk melakukan ini atau itu, melainkan juga bersedia untuk mengalami proses pertumbuhan iman dan karakter di dalam Tuhan bersamanya—maupun tidak? 

2. ATALYA SEBAGAI IBU 
Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri. Ia pun hidup menurut kelakuan keluarga Ahab, karena ibunya menasihatinya untuk melakukan yang jahat. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN sama seperti keluarga Ahab, sebab sesudah ayahnya mati, mereka (keluarga Ahab) menjadi penasihat-penasihatnya yang mencelakakannya. 
(2 Tawarikh 22:2-4 / TB) 

Sejahat-jahatnya seorang ibu, pasti dia ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, bukan? Tapi sepertinya, apa yang Atalya lakukan ini benar-benar di luar logika manusia. Terlepas dari obsesinya untuk jadi ratu—lalu membunuh semua calon penerus kerajaan Yehuda—pola asuh (parenting) dengan cara mengajarkan hal-hal jahat bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan orangtua maupun keluarga besar lainnya. 

Yang lebih “aneh” lagi, usia Ahazia saat menjadi raja sudah 42 tahun. Bukan usia yang muda, namun bisa dimaklumi jika dia memerlukan penasihat (yah, memimpin sebuah negara/kerajaan pasti butuh nasihat yang bijak karena menyangkut kepentingan banyak orang). But at least, seharusnya Ahazia paham kalau apa yang ibunya lakukan itu salah. Tidak dijelaskan apakah kejahatan yang Ahazia lakukan ini juga karena ayahnya yang melakukan hal yang sama; tapi ada kemungkinan demikian. Jika tidak, kenapa Ahazia tidak menolak usulan ibunya saat keluarga Ahab (yang notabene adalah musuh kerajaan Israel waktu itu) menjadi penasihatnya? 

Selain kepada suami, seorang wanita juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan anaknya. 

Dear mommies and mommies soon to be, apakah kita: 
  1. rindu agar anak kita mengalami pertumbuhan dalam Tuhan secara pribadi, khususnya dalam iman dan karakter? 
  2. tidak segan menegur anak kita ketika dia melakukan kesalahan, tentunya dengan cara yang bijak dan tidak asal mengomel? 
  3. bersama suami – atau anggota keluarga lain bagi yang single parents, berjuang mendidik dan memberikan teladan pada anak untuk hidup dalam kebenaran Firman Tuhan? 
  4. mendorong anak untuk terlibat dalam pelayanan, disertai pemahaman bahwa melayani Tuhan bertujuan untuk memuliakan-Nya, bukan hanya sekedar kesibukan? 
  5. menjadi teladan dalam disiplin rohani, kepekaan iman, dan aspek-aspek kerohanian maupun karakter lainnya?

3. ATALYA SEBAGAI NENEK
Saya yakin siapapun pasti ingin melihat keturunan-keturunan berikutnya selagi bisa, dan berusaha mendidik mereka untuk hidup dalam Firman Tuhan. Tapi Atalya melakukan sesuatu yang anti mainstream dan bahkan brutal, yaitu membunuh semua calon penerus tahta kerajaan Yehuda demi obsesinya untuk jadi ratu. Meskipun Yoas, anak Ahazia yang luput dari pembunuhan itu, terselamatkan, namun peran Atalya sebagai nenek menunjukkan bahwa dia gagal menjalankan peran sebagaimana seharusnya (2 Tawarikh 22:10-12). 

Inti pertanyaan refleksi di bagian ini sama dengan bagian sebelumnya, tapi yuk, kita juga berdoa bagi anak kita agar dia dan pasangannya dapat mendidik cucu kita kelak untuk bertumbuh dalam Firman Tuhan. Selagi masih ada kesempatan, kita juga bisa menolong cucu kita dengan cara menceritakan pengalaman iman kita. 

4. ATALYA SEBAGAI RATU/PEMIMPIN
Obsesi Atalya untuk menjadi ratu membuat bangsa Yehuda ketakutan. Mereka takut melanggar perintahnya, tapi juga tidak tahu harus lari ke mana. Bukankah sebenarnya ini adalah bentuk kegagalan seorang pemimpin dalam menjadi “penjamin keamanan” bagi rakyatnya? 

Menjadi pemimpin di sini bukan hanya soal memerintah sebagai pemimpin negara, melainkan bagaimana kita memimpin anak-anak rohani kita untuk bertumbuh dan berbuah di dalam Tuhan. Saya pun harus mengakui kalau saya belum menjadi pemimpin yang baik bagi anak-anak rohani saya. Tapi di sisi lain, saya juga tidak mau menjadi pemimpin yang gagal seperti Atalya. 

Bagi Pearlians yang dipercaya untuk menjadi pemimpin dalam sebuah perusahaan, yayasan, atau apapun itu, yuk kita belajar bersama menjadi teladan iman bagi orang-orang di sekitar kita. Berapapun usia dan apapun latar belakang kita, biarlah mereka dapat menemukan Kristus dalam kehidupan kita dan memuliakan-Nya. 

***

Kisah Atalya ini sesungguhnya menggambarkan sebuah pola tentang dosa yang diwariskan hingga ke generasi selanjutnya. Dimulai dari Ahab dan Izebel, kemudian Atalya dan suaminya, bahkan hingga ke anak-anak dan cucu mereka. Dosa di dalam keluarga mereka seakan menjadi rantai yang mengikat, dimana setiap orang di dalamnya adalah mata rantainya. Tapi sebenarnya, alih-alih menjadi mata rantai yang melanjutkan kehancuran bagi keluarga dan bangsanya, Atalya punya pilihan untuk berbalik dan memutus rantai dosa. Sebenarnya dia bisa menjadi seperti Yosia – raja Yehuda yang memutus rantai dosa penyembahan berhala di keluarga dan bangsanya, meskipun hal itu tidak dilanjutkan oleh keturunannya (2 Raja-Raja 22:1-20 dan 23:1-30). Kakek dan ayah Yosia, Manasye dan Amon, melakukan hal-hal yang jahat di mata Tuhan, tapi Yosia justru melakukan apa yang benar dengan menghancurkan bukit-bukit pengorbanan, tiang-tiang berhala, patung-patung pahatan dan patung-patung tuangan di Yehuda. Yosia menjadi mata rantai yang berbeda dari kakek dan ayahnya dan bahkan melakukan reformasi rohani bagi bangsanya. 

Sebagai penutup, biarlah lagu berikut dapat menjadi pengingat sekaligus penyemangat kita untuk menjadi mata rantai yang meneruskan teladan Kristus dalam segala aspek dan peran kita di dunia ini. :) 



(Hidup Ini Adalah Kesempatan) 

Hidup ini adalah kesempatan 
Hidup ini untuk melayani Tuhan 
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan b'ri 
Hidup ini harus jadi berkat 

O Tuhan, pakailah hidupku 
selagi aku masih kuat 
Bila saatnya nanti, ‘ku tak berdaya lagi, 
hidup ini sudah jadi berkat

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^