Monday, January 22, 2018

Diciptakan Untuk Peran Khusus


by Tabita

Pearlians pasti tahu alasan Tuhan menciptakan satu orang berbeda dari yang lain, kan? Yap, karena Dia adalah Tuhan yang kreatif :) Dia ngga ingin dunia ini bersifat monoton dan gitu-gitu aja. Dia ingin membuat semua sungguh amat baik, termasuk dengan menciptakan kita berbeda satu sama lain. Ia ingin kita mewarnai dunia dengan keunikan masing-masing. 

Walaupun begitu, kita tetaplah manusia yang nggak sempurna, ladies. Di sini, aku nulis kalau kerapuhan hidup yang kita jalani disebabkan dosa. Yes, sins change everything, except God’s love for us. Itu sebabnya kita membutuhkan Tuhan, satu-satunya Pribadi, yang mampu membuat kita menjadi utuh lagi di dalam-Nya. 

Dalam post kali ini, aku ingin mengajak Pearlians untuk membahas mengenai perbedaan dari pria dan wanita. By the way, list di bawah ini dibuat berdasarkan pria dan wanita pada umumnya, ya...


Cowo itu cenderung...
  • mengedepankan logika daripada perasaan 
  • menyukai sesuatu yang jelas—kalo ada apa-apa ya ngomong, jangan disuruh nebak sendiri (karena mereka bukan cenayang :p) 
  • menyelesaikan masalah di depan—biar cepat selesai 
  • mempunyai jiwa kepemimpinan 
  • mudah tergoda kalo berhubungan dengan mata 
  • suka mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan teknik (walopun nggak semuanya gitu) 

Sedangkan cewe itu cenderung...
  • mengedepankan perasaan daripada logika 
  • suka kasih kode :p 
  • memendam masalah dan malah jadi berkepanjangan 
  • berjiwa mengayomi 
  • mudah tergoda kalo berhubungan dengan telinga 
  • suka mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan keindahan 
(Kalo mau nambahin list-nya, bisa ditambahkan di komen yaa. Hehe...) 

See? Baik pria maupun wanita punya keunikannya masing-masing. Dan setiap pria/wanita yang satu berbeda dari pria/wanita lainnya (contohnya terlalu banyak :p). Itu artinya, Tuhan menciptakan pria dan wanita secara unik! He made us special in His ways. Tapi bukan berarti tujuan hidup kita berbeda-beda; justru sebaliknya: 

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Yesus Kristus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya. 
(Efesus 2:10, TB) 

Sekalipun pria dan wanita berbeda, tapi mereka punya tujuan hidup yang sama kayak yang udah Paulus bilang di atas :) Ini juga menunjukkan bahwa baik pria dan wanita setara di hadapan Tuhan. Nggak ada yang lebih tinggi, nggak ada yang lebih rendah. 

“Tapiii, kok Paulus juga sempet bahas kalo istri harus tunduk sama suami, ya? Kenapa nggak suami yang tunduk sama istri?” 

Dari bagian ini adalah, Tuhan memberikan peran dan tanggungjawab dalam membina rumah tangga. Pria berperan sebagai kepala, sementara wanita berperan sebagai penolong. Selain itu, Tuhan ingin agar pernikahan menjadi model hubungan Kristus dengan gerejanya. Makanya, istri diharuskan tunduk sama suami, sama seperti jemaat Tuhan yang tunduk kepada Kristus—yang adalah Kepala gereja (Efesus 5:22—24). 

Peran ini tidak akan bisa berjalan kalau kita tidak memahami blueprint bagaimana Tuhan menciptakan kita, baik sebagai pria maupun sebagai wanita. Nah, tentu saja sebagai wanita, kita mesti kuasai dulu peran kita sebagai seorang penolong, sebelum nanti menuntut pasangan kita menjadi kepala yang benar. 

Dalam bahasa Ibrani, a suitable helper for him menggunakan istilah ezer. Kata yang sama digunakan Musa saat menuliskan Kejadian 2, khususnya saat Tuhan memutuskan untuk menciptakan Hawa. 

TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” 
(Kejadian 2:18, TB) 


Yes, that’s our status: being a helpmeet for our (future) husband. 


Wait. Tapi banyak yang khotbah kalau kita ini diciptakan utuh. Jadi kalo kita melajang, nggak masalah, kan?” 

Iya, nggak masalah, kok. Bahkan Paulus pun memilih untuk melajang—dan ini salah satu karunia rohani, lho! Dalam Sacred Search, Gary Thomas menulis, 

“Jika kamu ingin lebih bebas melayani Kristus, melajang adalah pilihan yang baik..." 
karena menikah maupun melajang adalah pilihan :) 

Tapi nggak berhenti di situ, Gary Thomas melanjutkan, 

"… Tetapi jika kamu ingin serupa Kristus dengan efektif, menikahlah.” 

“Loh, kok? Apa kalo aku nggak nikah, terus nggak bisa jadi serupa dengan Kristus?” 

Kita hanya bisa menjadi utuh di dalam Tuhan. Baik menikah maupun nggak, kita akan terus diproses Tuhan untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus seumur hidup. Tapi saat kita menikah, Tuhan akan memroses lebih banyak hidup kita melalui pasangan. 

Dalam bukunya Tuhan Masih Menulis Cerita Cinta, Ci Grace Suryani kasih ilustrasi dirinya yang berusaha mindahin meja. Kalau cuma seorang diri, dia bisa pindahin satu meja selama sepuluh menit. Tapi kalau berdua dengan pasangannya (a.k.a. Ko Tepen), mereka bisa pindahin tiga meja dalam durasi yang sama. Di sini, Ci Grace dan Ko Tepen punya derajat yang sama; nggak ada yang lebih tinggi dan nggak ada yang lebih rendah. Mereka pun akan dapat memindahkan meja secara efektif—kalau tujuan mereka sama. Misalkan, Ci Grace pengen mindahin meja ke ruang keluarga dan Ko Tepen maunya ke ruang tamu. Kalau mereka nggak bahas duluan alasan-mejanya-mau-dipindah-ke-ruangan-yang-mereka-mau, bisa berabe ntar. Itu sebabnya diperlukan diskusi sebelum menentukan keputusan yang tepat bagi semua pihak; termasuk dalam hal pelayanan. 

Contoh nyatanya adalah mamaku sendiri. Beliau udah jadi guru sekolah minggu selama lebih dari 20 tahun—ditambah jadi penatua di gereja juga. Salah satu faktor pendukungnya adalah dukungan papaku. Memang sih, kadang papa mengingatkan mama untuk tidak terlalu sibuk dengan pelayanan, tapi tetap saja dukungannya nyata, dan dukungan pasangan itu sangat berpengaruh dalam pelayanan kita. Coba kalau papaku langsung larang mamaku tanpa alasan jelas, “Pokoknya nggak boleh!”. Bisa dibayangkan, mama tidak bisa menggunakan talentanya dengan benar dan kurang efektif sebagai orang percaya. 

Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. 
(Galatia 6:20, TB) 

Ayat di atas nggak cuma bicara tentang persekutuan dalam tubuh Kristus; tapi juga mengenai kehidupan rumah tangga. Sebuah keluarga akan berdiri teguh ketika anggota di dalamnya memiliki kehidupan yang berdasarkan pada firman Tuhan. Terus siapa dong, yang ngajarin mereka buat bisa demikian? Orangtua! :) Suami-istri yang meneladankan hidup yang mengikuti Kristus akan menularkan hal yang sama pada anak-anaknya (bukan cuma lewat kata-kata doang, tentunya. Pikiran, perbuatan, dan tingkah laku juga harus terpusat pada Tuhan, ya :D). I know some people say it’s a cliché. Tapi aku percaya: orang lain akan menemukan Kristus melalui keluarga yang memiliki prinsip hidup yang kuat di dalam-Nya :) That’s why peran kita saat berumahtangga sangat penting, terutama dalam pertumbuhan rohani anak-anak. 

Menjadi penolong yang sepadan bukanlah perkara yang mudah, tapi akan menjadi sesuatu yang dapat dijalani ketika kita mengandalkan Kristus sebagai pusat hidup keluarga kita masing-masing. Siapkah kita menjadi ezer yang berjalan bersama suami dalam kebenaran-Nya—dalam situasi apapun? Siapkah kita menegur suami ketika dia melakukan hal yang bertentangan dengan firman Tuhan, dan menolongnya kembali pada-Nya? 

“Keluarga adalah pilar gereja. Kalau retakannya cuma sedikit, mungkin nggak akan kelihatan. Tapi kalau tidak segera diatasi, perlahan tapi pasti, pilar-pilar itu akan runtuh.” (Pnt. Keshia Hestikahayu Suranta – 28 Oktober 2017, dalam persekutuan pemuda GKI Coyudan Solo) 


No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^