by Sarah Eliana
Tulisan
ini aku tulis beberapa tahun yang lalu. Kemarin aku baca lagi, dan jleb
jleb jleb! :p Thought it'd be a good idea to post it here too :)
Sebagai seorang anak Tuhan, hubungan kita dengan sesama manusia sangatlah penting. Kenapa? Karena hubungan kita dengan orang lain mencerminkan hubungan kita dengan Tuhan. When there is something wrong with our relationship with God, it will show in our relationship with other people too. Selain itu, kita juga terpanggil untuk meneladani Tuhan Yesus. Kita harus membangun relationships yang memuliakan nama-Nya. Nah, salah satu dari hubungan yang terpenting dalam hidup kita adalah hubungan suami istri. Sebagai suami istri, kita telah berkomitmen untuk saling mengasihi dan mencintai, through thick and thin, ups and downs. Tapi... seperti apa sih cinta dan kasih yang diciptakan Tuhan untuk suami istri?
Sebagai seorang anak Tuhan, hubungan kita dengan sesama manusia sangatlah penting. Kenapa? Karena hubungan kita dengan orang lain mencerminkan hubungan kita dengan Tuhan. When there is something wrong with our relationship with God, it will show in our relationship with other people too. Selain itu, kita juga terpanggil untuk meneladani Tuhan Yesus. Kita harus membangun relationships yang memuliakan nama-Nya. Nah, salah satu dari hubungan yang terpenting dalam hidup kita adalah hubungan suami istri. Sebagai suami istri, kita telah berkomitmen untuk saling mengasihi dan mencintai, through thick and thin, ups and downs. Tapi... seperti apa sih cinta dan kasih yang diciptakan Tuhan untuk suami istri?
Dua
hari lalu, sewaktu membaca Kejadian 2 tentang penciptaan Hawa, satu
ayat yang menarik perhatianku adalah Kejadian 2:21,
Lalu
TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN
Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat
itu dengan daging.
Ayat
yang udah sering kita baca, baik waktu bimbingan pra nikah maupun
waktu mendengar khotbah, ya kan? Tapi, kemaren itu sewaktu membaca
ayat ini lagi, aku jadi bertanya-tanya... kenapa yach Tuhan harus
ambil tulang rusuk Adam? Kan Tuhan yach Tuhan... bisa aja kan Dia
menciptakan Hawa tanpa perlu tulang rusuk Adam? Bisa aja toh kalo
Tuhan bikin Hawa dari tanah seperti waktu Dia bikin Adam? Yach
bisalah... namanya juga Tuhan =) So...
kenapa Tuhan harus ambil tulang rusuk Adam?
Mungkin
jawaban yang paling sering kita dengar adalah "karena Tuhan mau
Hawa menjadi satu bagian dengan Adam" atau "karena Tuhan
mau Adam menjadi kepala Hawa". OK..
maybe.
Tapi satu hal yang kemaren betul-betul menarik untukku adalah apa
yang Tuhan mau ajarkan kepada Adam dengan mengambil tulang rusuknya?
Dan aku rasa, Tuhan mau mengajarkan Adam tentang konsep sacrificial
love - kasih yang rela berkorban.
Tuhan ingin Adam belajar bahwa mencintai sama dengan pengorbanan. Ada
pengorbanan yang harus dilakukan saat kita mencintai seseorang. Untuk
menciptakan Hawa, Adam harus mengorbankan salah satu tulang rusuknya
- the
first sacrifical love done by man!
=)
Dari
ayat 21 ini, aku jadi ingat ayat di Efesus 5:25-27
Hai
suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat
dan telah menyerahkan diri-Nya baginya, untuk menguduskannya, sesudah
Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya
dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan
cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya
jemaat kudus dan tidak bercela.
Wahhh...
baca ini aku betul-betul tertohok! Kenapa? Memang sih
ayat ini ditujukan untuk para suami, tapi tetap saja aku tertohok
karena ternyata konsep aku selama ini tentang sacrificial
love itu
salah! HAH? Salah? Maksudnya? Well...
emang betul
aku udah berkorban
dalam mencintai DH , misalnya aku udah pindah jauh-jauh ke negaranya yang diujung dunia,
atau aku udah susah-susah belajar masak walaupun sebetulnya aku betul - betul gak terlalu enjoy masak,
atau aku udah belajar bersih- bersih rumah (which
I hate!
hehe). Mungkin untuk orang lain, ini sacrifice
yang sangat kecil, tapi untuk aku ini cukup besar (secara aku tuan
putri kalo di rumah ortu gitu lho... hahahaha). Tapi yach, ternyata
kalau aku baca Efesus 5:25-28 ini... berkorban aja gak cukup.
Pertanyaannya adalah apa motivasi aku saat aku berkorban ini dan itu?
Apa motivasi aku saat aku bersih-bersih rumah? Iya, aku
bersih-bersih supaya DH senang (dan juga karena aku gak mau rumah
kayak kandang hewan... hehe), tapi aku juga senang kalo DH say
thank you
waktu liat rumah udah bersih. Aku happy
banget waktu dia give
me a kiss
abis dinner. Nah, yang bikin aku bertanya–tanya... kalau misalnya DH gak say
thank you
atau dia gak
show appreciation,
gimana perasaan aku? Apakah aku masih akan rajin masak-masak untuk
dia? Atau aku akan manyun sambil nyanyi “pulangkan sajaaa aku pada
ibuku... atau ayahkuuuuuu..” =P
Pernah
nih aku dengar seseorang yang ngomong gini "Huh! Suamiku gak
pernah lho bilang thank
you,
dll, kalo rumah dah bersih, makanan dah beres, dll. Seolah-olah aku
pembantunya. Pembantu aja masih dapat gaji! Aku tuh gak perlu dikasih
hadiah ini itu... aku cuman pengen tau aja kalo dia appreciate
kerja
aku di rumah". Perasaan yang aku yakin banyak sekali di-amin-kan
oleh ibu-ibu dan istri-istri, tul gak? Aku rasa aku juga bisa ngerti
perasaan ibu ini... tapi kembali lagi ke "sacrificial
love".
Apa motivasi kita saat kita sacrifice
untuk suami? Apakah supaya kita mendapatkan something
in return (a gift... a thank you... or just simply an appreciation of
our efforts?)?
atau murni karena kita mau melayani pasangan kita, karena kita
mengasihi dia?
Kalau
teman-teman baca lagi posting-an
aku di blog
dari
beberapa tahun yang lalu, maybe
you'll see
di mana aku pernah tulis that
kalo kita mau diberlakukan dengan baik oleh suami yach kita harus
treat
him right first. Sacrifice something for him first.
Tapi, sekarang... setelah membaca ayat-ayat ini dengan benar, aku
akhirnya ngerti. Kalau aku melakukan sesuatu yang baik untuk suamiku supaya aku juga diberlakukan baik oleh dia... well...
itu sama dengan manipulasi! Mencintai suami kita dengan betul adalah
dengan melayani dia secara murni, bukan dengan embel-embel supaya dia
menjadi lebih happy
dan kalo dia happy,
aku juga jadi diperlakukan dengan benar oleh dia, dan aku juga jadi
happy.
NO!
Salah besar kalo begitu, karena akar dari melayani suami dengan
motivasi seperti itu adalah keegoisan
(supaya aku jadi lebih happy
juga). Bahkan berkorban untuk suami supaya dia happy
aja gak cukup. There
is someting more than just making our spouse happy.
Kita harus treat suami kita dengan baik karena
kita murni mau melayani. Tapi pelayanan kita terhadap suami atau
istri itu harus ada tujuan yang betul. So...
apa tujuan yang betul itu?
Lihat
ayat 26 & 27:
…untuk
menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan
air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di
hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang
serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
Kita
mengasihi dan berkorban untuk suami/istri kita supaya ia bertumbuh
menjadi karakter dan pribadi
that God intended him/her to be. Kurasa,
itulah fungsi istri yang paling penting: menjadi pendukung. Kita
mendukung suami kita supaya terus bertumbuh di dalam Firman Tuhan,
dan kita juga membangun dia dengan kata-kata dan perbuatan kita
supaya dia pun terus setia berjalan bersama Tuhan. Jadi, sisters,
loving
our husband/wife sacrificially
itu artinya adalah kita dengan motivasi yang benar melayani dia
supaya ia terus bertumbuh dan menjadi dewasa di dalam Tuhan, dan
menjalankan tujuan dan rencana Allah bagi hidupnya.
Tapi
nih...kalo kita mencintai yang seperti ini, mungkin timbul juga
pertanyaan di hati, “Kalo mencintai yang terus-terus berkorban, apa
enaknya? Emang bisa bahagia?" Well,
jawabannya adalah: a BIG YES! =) Love is enjoyable.
Waktu kita mencintai sacrificially
seperti ini, kita memberikan perhatian yang lebih kepada pasangan kita
daripada kepada diri sendiri.
Kita gak lagi tiap hari mikirin "Apa yang akan ia lakukan untukku hari
ini? Apakah ia akan mengucapkan terima kasih? Akankah ia membelikan
buket bunga mawar untukku?". Tak ada lagi pikiran - pikiran yang egois! Karakter kita bertumbuh! Dan kita pun belajar untuk makin menjadi
seperti Yesus. =)
Waktu
kita
love sacrificially,
kita lebih memikirkan perasaan dia, harapan dia, impian dia, his
desires,
dll. Waktu kita mencintai sacrificially
kita bisa dengan efektif membantu dia dalam pergumulannya. Dan dalam
semuanya itu, kita bisa berbagi ikatan yang lebih indah dari apapun (kecuali ikatan kasih antara kita dan Kristus!).
Di sinilah aku lihat perbedaan orang-orang yang terus belajar untuk
mencintai pasangannya
sacrificially. I see an unbreakable bond!
Misalnya, opa dan oma-ku! Setelah 50 tahun menikah, mereka masih
memanggil each
other
dengan "sweetheart",
"honey".
Ada berapa banyak coba pasangan-pasangan yang masih begini bahkan
hanya setelah sepuluh tahun menikah? Dan yang aku perhatikan juga
adalah waktu melihat pernikahan mereka, aku terdorong untuk terus
belajar mengasihi pasangan aku... karena aku mau pernikahan yang
seperti pernikahan mereka! Aku terdorong untuk terus menggali firman
Tuhan & membangun hubungan yang intimate
dengan
Tuhan karena aku tahu letak kekuatan pernikahan mereka adalah pada
cinta mereka akan Tuhan first,
and then love each other sacrificially just like Jesus loves us!
Ladies,
if we don't love sacrificially,
susah untuk kita bisa mengerti pasangan kita dengan baik, dan susah
sekali akan tercipta that
beautiful bond between us and our husband. At the end,
pernahkah we
look around and see
gimana pasangan-pasangan yang sudah lama menikah akhirnya hanya
menjadi seperti roomate
saja? Orang bilang "Sh normal koq. Namanya juga udah married
lama.., pastilah gak mesra lagi... gak romantis lagi". But
that's not how God intended marriage to be!
Dia mau pernikahan kita bertumbuh setiap hari, setiap waktu, until
death do us apart!
And
I think, one of the secrets for that to happen is if we learn to love
our spouse sacrificially, with no strings attached!
So,
kembali ke pertanyaannya: bisakah bahagia kalo mencintai yang
berkorban terus menerus? No,
actually the question is:
MAUkah kita mencintai dan berkorban terus menerus demi menciptakan
pernikahan yang terus bertumbuh dan memuliakan
Tuhan?
Are
we willing to give up selfish thoughts
dan menempatkan pasangan kita di atas diri kita sendiri? Bahagiakah
kita saat kita mencintai dan mengharapkan balasan/penghargaan? I'm
sorry to say,
tapi kalo kita mencintai seperti itu, akan ada banyak sekali waktu
dimana kita kecewa karena let's
face it...
pasangan kita hanyalah manusia biasa yang tentu ada saatnya tidak
bisa memuaskan keinginan kita, dan pada akhirnya kita gak
satisfied
dengan pernikahan kita. Tapi saat kita mengasihi sacrificially,
we know that God's Name will be glorified,
dan itulah tujuan pernikahan dan hidup kita, bukan? Kita punya
purpose
yang lebih dalam daripada sekedar menjadi bahagia. We
are called to glorify the Lord of lords.
Mari,
sisters,
kita belajar untuk mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi kita. To
put ourselves second and our spouse first. To love him the way God
wants us to love. To honor him with our love. To minister to him
according to the blue print God has created. To glorify God in and
through our marriage, because everything in our life is about God...
always about GOD!
Dear
Lord, I want to learn to be like Adam
yang harus berkorban supaya Hawa dapat diciptakan. To
love my husband sacrificially
tanpa embel apa-apa. To
love sacrificially so that he can grow to be the man that you created
& inteded him to be. To love sacrificially so our marriage can
grow to be the one You want it to be, so that at the end, we may
glorify YOUR name! =)
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^