by Glory Ekasari
Siapa orang yang perlu diajari mengasihi diri sendiri? Kita semua tahu caranya. Semarah-marahnya kita pada diri sendiri, tetep aja dimandikan, diberi makan, dipakaikan baju yang bagus, diberi make-up, dsb. Sebesar apapun kesalahan yang kita buat, ga mungkin kita bilang pada diri sendiri, “Aku benci kamu; kamu tiduran aja sampe mati, ga usah makan, ga usah ngapa-ngapain.” Ga masuk akal.
Tapi sejujurnya, orang yang paling sering mengecewakan aku di seluruh dunia ini adalah… diriku sendiri.
Si Glory ini bener-bener menjengkelkan, kadang bodohnya ga ketulungan, terlalu banyak kekurangan, pokoknya bikin emosi. Salah ngomong lagi, bertindak ngawur lagi, ga pinter-pinter walaupun diajarin berkali-kali. Heran.
Nah, masalahnya, kekecewaanku terhadap si Glory ini ga bisa diungkapkan kepada dia. Seperti yang aku bilang di awal, ga mungkin dong, sebel sama diri sendiri, terus ga dikasih makan, ga boleh bergerak, dsb. Jadi (terpaksa) tetap harus diurus seperti biasa. Alhasil, orang lain yang kena imbas kekecewaanku pada diri sendiri. Aku memaksa mereka mencapai standar yang ga bisa dicapai Glory (perfectionist alert!); aku ga sabar waktu mereka melakukan kesalahan yang aku tahu Glory juga pasti lakukan seandainya ada di posisi mereka; aku menuntut mereka rendah hati—sesuatu yang Glory ga bisa lakukan.
Kemudian sesuatu yang penting terjadi. Semakin aku kenal Tuhan, semakin aku mengasihi Dia dan banyak bersyukur kepada Dia, semakin aku kenal diriku sendiri. Dan di satu titik, entah di mana, entah bagaimana, Tuhan seolah-olah bilang, “Glory, sabar sama dirimu sendiri.”
Sabar. Terhadap dirimu sendiri.
Semakin lama aku semakin mengerti dan merasakan anugerah Tuhan yang begitu besar buat aku yang penuh kekurangan ini. Dan suatu kali aku sadar, “Kalau Tuhan begitu mengasihi aku dan menerima aku, maklum terhadap semua kekuranganku dan sabar melatih aku lagi dan lagi sampai aku sempurna… Aku juga harus begitu terhadap diriku sendiri.”
Ya, aku punya kekurangan. Ya, aku tidak seperti yang aku harapkan. Ya, aku mengecewakan. Lagi dan lagi. Tapi setiap kali aku gagal, anugerah Tuhan mengangkat aku lagi. Dan aku juga harus seperti Dia: aku harus mengasihi diriku sendiri.
Sejak itu, perjalanan jadi lebih menyenangkan dan santai. Para pengemudi mobil di Jakarta tahu kalimat ini: “Mobil di Jakarta, kalo ga ada lecetnya, berarti ga pernah dipakai.” Kalau bahasanya R*nso: “Ga ada noda, ga belajar.” Aku sadar bahwa aku sedang belajar, bertumbuh secara rohani, dan pasti ada kesalahan yang aku lakukan. I expect the mistakes and learn from them. Waktu performaku ga seperti yang aku harapkan, aku ga membandingkannya dengan standar kesempurnaan, tapi aku bisa bilang ke diri sendiri, “Lumayan, ada peningkatan dibanding sebelumnya.” Aku mulai terima bahwa aku ga bisa menguasai semua bidang yang aku mau dalam sekejap. Aku bisa memaafkan diri sendiri waktu aku berbuat salah. Dan aku jadi bisa mengevaluasi diri dengan lebih objektif.
Apa yang terjadi waktu aku semakin sabar dengan diri sendiri? Tentu saja, aku makin sabar terhadap orang lain. Aku memaklumi kekurangan mereka. Yang dulu aku lihat sebagai kekurangan, sekarang aku lihat sebagai potensi untuk jadi lebih baik. Caraku memandang diri sendiri tercermin dari caraku memperlakukan orang lain. Pelan-pelan aku dipulihkan oleh Tuhan.
Semuanya mulai dari Tuhan yang mengasihi aku. Kasih itu begitu besar, begitu melimpah, “. . selalu baru setiap pagi.” Dulu aku pikir anugerah itu hanya berhubungan dengan keselamatan, tapi lalu aku belajar bahwa aku butuh anugerah Tuhan setiap hari—justru karena aku lemah. Seperti kesaksian A. W. Tozer, “I am painfully conscious of my need for further grace.” Aku mau segera sempurna, tapi seperti Tuhan bersabar membentuk aku, aku juga sabar terhadap diri sendiri selagi aku disempurnakan. Proses itu membuat aku sadar sesadar-sadarnya bahwa aku bergantung penuh kepada Tuhan. Paulus menyampaikannya dengan sangat baik:
Siapa orang yang perlu diajari mengasihi diri sendiri? Kita semua tahu caranya. Semarah-marahnya kita pada diri sendiri, tetep aja dimandikan, diberi makan, dipakaikan baju yang bagus, diberi make-up, dsb. Sebesar apapun kesalahan yang kita buat, ga mungkin kita bilang pada diri sendiri, “Aku benci kamu; kamu tiduran aja sampe mati, ga usah makan, ga usah ngapa-ngapain.” Ga masuk akal.
Tapi sejujurnya, orang yang paling sering mengecewakan aku di seluruh dunia ini adalah… diriku sendiri.
Si Glory ini bener-bener menjengkelkan, kadang bodohnya ga ketulungan, terlalu banyak kekurangan, pokoknya bikin emosi. Salah ngomong lagi, bertindak ngawur lagi, ga pinter-pinter walaupun diajarin berkali-kali. Heran.
Nah, masalahnya, kekecewaanku terhadap si Glory ini ga bisa diungkapkan kepada dia. Seperti yang aku bilang di awal, ga mungkin dong, sebel sama diri sendiri, terus ga dikasih makan, ga boleh bergerak, dsb. Jadi (terpaksa) tetap harus diurus seperti biasa. Alhasil, orang lain yang kena imbas kekecewaanku pada diri sendiri. Aku memaksa mereka mencapai standar yang ga bisa dicapai Glory (perfectionist alert!); aku ga sabar waktu mereka melakukan kesalahan yang aku tahu Glory juga pasti lakukan seandainya ada di posisi mereka; aku menuntut mereka rendah hati—sesuatu yang Glory ga bisa lakukan.
Kemudian sesuatu yang penting terjadi. Semakin aku kenal Tuhan, semakin aku mengasihi Dia dan banyak bersyukur kepada Dia, semakin aku kenal diriku sendiri. Dan di satu titik, entah di mana, entah bagaimana, Tuhan seolah-olah bilang, “Glory, sabar sama dirimu sendiri.”
Sabar. Terhadap dirimu sendiri.
Semakin lama aku semakin mengerti dan merasakan anugerah Tuhan yang begitu besar buat aku yang penuh kekurangan ini. Dan suatu kali aku sadar, “Kalau Tuhan begitu mengasihi aku dan menerima aku, maklum terhadap semua kekuranganku dan sabar melatih aku lagi dan lagi sampai aku sempurna… Aku juga harus begitu terhadap diriku sendiri.”
Ya, aku punya kekurangan. Ya, aku tidak seperti yang aku harapkan. Ya, aku mengecewakan. Lagi dan lagi. Tapi setiap kali aku gagal, anugerah Tuhan mengangkat aku lagi. Dan aku juga harus seperti Dia: aku harus mengasihi diriku sendiri.
Sejak itu, perjalanan jadi lebih menyenangkan dan santai. Para pengemudi mobil di Jakarta tahu kalimat ini: “Mobil di Jakarta, kalo ga ada lecetnya, berarti ga pernah dipakai.” Kalau bahasanya R*nso: “Ga ada noda, ga belajar.” Aku sadar bahwa aku sedang belajar, bertumbuh secara rohani, dan pasti ada kesalahan yang aku lakukan. I expect the mistakes and learn from them. Waktu performaku ga seperti yang aku harapkan, aku ga membandingkannya dengan standar kesempurnaan, tapi aku bisa bilang ke diri sendiri, “Lumayan, ada peningkatan dibanding sebelumnya.” Aku mulai terima bahwa aku ga bisa menguasai semua bidang yang aku mau dalam sekejap. Aku bisa memaafkan diri sendiri waktu aku berbuat salah. Dan aku jadi bisa mengevaluasi diri dengan lebih objektif.
Apa yang terjadi waktu aku semakin sabar dengan diri sendiri? Tentu saja, aku makin sabar terhadap orang lain. Aku memaklumi kekurangan mereka. Yang dulu aku lihat sebagai kekurangan, sekarang aku lihat sebagai potensi untuk jadi lebih baik. Caraku memandang diri sendiri tercermin dari caraku memperlakukan orang lain. Pelan-pelan aku dipulihkan oleh Tuhan.
Semuanya mulai dari Tuhan yang mengasihi aku. Kasih itu begitu besar, begitu melimpah, “. . selalu baru setiap pagi.” Dulu aku pikir anugerah itu hanya berhubungan dengan keselamatan, tapi lalu aku belajar bahwa aku butuh anugerah Tuhan setiap hari—justru karena aku lemah. Seperti kesaksian A. W. Tozer, “I am painfully conscious of my need for further grace.” Aku mau segera sempurna, tapi seperti Tuhan bersabar membentuk aku, aku juga sabar terhadap diri sendiri selagi aku disempurnakan. Proses itu membuat aku sadar sesadar-sadarnya bahwa aku bergantung penuh kepada Tuhan. Paulus menyampaikannya dengan sangat baik:
“Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. . . Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.”God loves me, so I love me. God likes me, so I like me. God believes in me and is gracious toward me, so I’m learning to be gracious toward myself. :)
kerennnn
ReplyDelete