Seandainya ada seseorang yang kamu gak kenal, datang ke kamu dan
bilang, “Saya pinjem uang dong, saya perlu Rp 100.000,00…” Kira-kira
bakal dipinjemin ga? Paling-paling kamu bakal bilang kamu ga bawa uang,
dan dengan berbagai alasan kabur dari TKP, terus ngomel-ngomel dalam
hati, “Ih, kenal juga kagak, kok mau pinjem duit.”
Tapi gimana kalau yang perlu uang itu sahabat kamu? Karena satu dan
lain hal usahanya kena masalah dan dia perlu uang Rp 1.000.000,00 buat
bayar barang dagangan. Aku rasa, tanpa diminta (kecuali ente pelit
banget) kita akan menawarkan bantuan. Kalo ga punya uang nganggur
sejumlah itu, ya pokoknya kita bantu sebisanya.
Kesediaan kita buat meminjamkan uang itu masalah kepercayaan. Dan kita ga akan begitu saja percaya pada orang yang tidak kita kenal. Jadi kepercayaan itu bergantung pada pengenalan.
Ada lagi skala kepercayaan yang lebih besar. Ketika
dua orang sepakat buat menikah, mereka mempertaruhkan sesuatu yang jauh
lebih berharga dari uang, yaitu hidup mereka masing-masing.
Siapa yang bisa menjamin sang suami akan setia seumur hidup, ga akan
buka cabang di hati wanita lain, ga akan mukulin isteri? Siapa yang bisa
jamin sang isteri akan setia mendukung dan melayani suaminya, ga akan
kabur kalau suaminya jatuh miskin atau sakit parah, ga akan cari suami
yang lebih ganteng dan kaya? Memang, mereka mengikat janji untuk setia,
tapi apa dasar untuk percaya bahwa masing-masing akan menepati janji
itu? Sekali lagi, kedua pihak akan berkata, “Saya kenal pasangan saya, dan saya percaya dia akan menepati janji nikahnya.” Dalam pernikahan, kedua orang yang menikah saling mengenal, dan karena itu mereka saling mempercayai.
Nah, sekarang lihat teks ini.
“Sementara Ia di Yerusalem selama hari raya Paskah, banyak orang percaya dalam nama-Nya karena mereka telah melihat tanda-tanda yang diadakan-Nya. Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorangpun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” —Yohanes 2: 23-25
Kalau ditanya, “Siapa yang percaya pada Yesus?” saya rasa pasti
banyak orang yang angkat tangan. Memang banyak orang yang percaya pada
Yesus, atau setidaknya, merasa percaya pada Yesus. Tapi percaya seperti
apa yang dimaksud?
Setidaknya ada dua macam kepercayaan: kepercayaan yang tidak berpengaruh apa-apa, dan kepercayaan yang menentukan arah hidup.
Contoh yang pertama itu kira-kira, “Saya percaya kalau besok anak-anak
SD masuk sekolah.” Yaudah. Saya uda ga sekolah, jadi ya ga ada urusan
apa-apa dengan kepercayaan itu. Contoh yang kedua misalnya saya percaya
bahwa saya akan berhasil kalau saya dagang beras; karena itu saya ambil
kredit bank dan jual mobil saya untuk merintis usaha dagang beras. Kalau
usaha itu berhasil, hidup saya akan semakin baik. Sebaliknya, kalau
ternyata ga laku dan saya bangkrut, habislah semua milik saya.
Dua-duanya disebut “percaya,” tapi implikasinya jelas sangat berbeda.
Ada orang-orang yang percaya pada Yesus hanya sekedar percaya tipe yang pertama. Ibaratnya, mereka seperti follower-Nya di Twitter. Mereka tertarik pada Yesus, pada kata-kata-Nya yang bagus-bagus, quotes yang bisa di-retweet, foto-foto-Nya, dsb. Tapi, no personal attachment. Kalau Dia aktif di Twitter, ya bagus, bisa diikutin kabar-Nya, di-retweet tweet-Nya, dst; tapi kalau Dia ga aktif atau bahkan delete account,
ya ga ada efeknya juga dengan hidup mereka. Dan kalau Dia mengeluarkan
pernyataan yang kontroversial, yang mereka ga suka, ya tinggal di-unfollow.
Inilah orang-orang yang terkagum-kagum melihat mujizat yang Yesus
lakukan di Yerusalem. Memang sih, mereka percaya pada Yesus. Tapi kita
akan segera melihat bahwa yang dimaksud dengan “percaya” itu sebenernya
adalah “ngefans”, dan tidak lebih dari itu. Ketika pengajaran Yesus
semakin keras, ketika Ia makin dimusuhi oleh golongan agama, Yohanes
mencatat, “Mulai hari itu, banyak dari antara murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia” (Yoh. 6:66). Dan kepada orang-orang seperti ini, “Yesus tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka.”
Ah, Yesus tau kok, kalau manusia itu tidak setia. Waktu situasinya
enak, menyenangkan, menguntungkan, orang berduyun-duyun mengikuti Dia.
Kata-kata Yesus bagus, bisa dibuat quotes, Dia bisa memberi makan
sekitar 10.000 orang dengan lima keping roti dan dua ekor ikan, pokoknya
asyik. Tapi ketika kenyamanan, kemapanan, dan keamanan mereka
dipertaruhkan, segera mereka menciut dan mundur teratur, lalu menyangkal
Dia. Di mana orang-orang yang berseru, “Hosana bagi Anak Daud!” ketika
para pemuka agama berseru, “Salibkan Dia!”? Hening, tidak ada suara.
Tapi ada juga pengikut yang termasuk tipe kedua: mereka mempertaruhkan segala-galanya demi kepercayaan mereka pada Yesus.
Ke mana Dia pergi, ke situ mereka ikut. Apapun yang Dia suruh, mereka
lakukan. Kata-kata dan perintah-Nya ditunggu-tunggu oleh mereka, seperti
orang lapar menunggu makanan. Mereka tutup mata dan telinga terhadap
yang lain dan hanya melihat dan mendengar Dia. Ibaratnya mereka seperti
pasukan radikal yang sangat taat pada pemimpinnya.
Bagaimana orang bisa mengikut Yesus seperti itu?
Walaupun Ayub hidup lama sekali sebelum Yesus, ada satu pernyataannya
yang sangat berkesan buat saya. Ketika Tuhan menjawab keluh kesahnya
dari dalam badai, Ayub merendahkan diri dan berkata,
“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau; tetapi sekarang, mataku sendiri memandang Engkau.”
Sebelumnya, kita pasti mengenal Tuhan dari kata orang. Mungkin kata
pendeta. Mungkin kata orang tua. Tapi setelah itu kita harus move on
dari sekedar mendengar dari kata orang. Kita harus kenal Dia.
Pelan-pelan, kepercayaan yang akan mempertaruhkan segenap keberadaan
kita kepada Dia itu harus dibangun. Pelan-pelan, kita harus beralih dari
tipe Twitter follower menjadi murid sejati; dari pendengar Firman
menjadi pelaku Firman; dari fans menjadi sahabat.
Apa yang terjadi ketika kita semakin kenal Dia dan mempercayakan diri kita kepada-Nya?
Seperti dalam pernikahan, yang terjadi bukan kepercayaan dari satu
pihak, tapi saling mempercayai. Kedua pihak saling mengasihi, saling
menginginkan, dan saling menyenangkan. Lihatlah janji-Nya: “Jika
seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku, dan Bapa-Ku akan
mengasihi dia, dan Kami akan datang kepadanya, dan diam bersama-sama
dengan dia” (Yoh. 14:23).
“Kami akan datang kepadanya, dan diam bersama-sama dengan Dia.”
Bagi seorang yang jatuh cinta, tidak ada yang lebih dia inginkan
daripada dibalas cintanya. Dia bukan mau pemberian dari orang yang dia
cintai; ga ada yang bisa menyenangkan dia selain orang yang dia kasihi. He wants the person, not what the person can give.
Demikian pula orang yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Mereka mau
Dia percaya pada mereka, percaya bahwa mereka akan mengasihi Dia dengan
segenap hati dan hidup untuk melayani Dia. Bukan masalah berkat-Nya,
tapi Dia.
Bukan tanpa alasan Alkitab ditutup dengan penglihatan tentang
Mempelai Pria yang menjemput Mempelai Wanita. Yang diinginkan Kristus
adalah orang-orang yang mengasihi Dia; dan yang mereka inginkan,
satu-satunya, adalah Kristus. Pada akhirnya, Kristus mempercayakan
diri-Nya secara sempurna kepada mereka yang mengasihi Dia, seperti
mempelai laki-laki mempercayakan dirinya pada mempelai wanita. Dan kita,
yang mengasihi Dia, akhirnya lepas dari dosa, ketakutan, keraguan, dan
semua kelemahan kita, dan memberikan diri kita dengan sempurna kepada
Dia, Sang Mempelai Pria.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tentang penulis
Glory Ekasari
Alumni dari desain komunikasi visual Universitas Pelita Harapan, dan saat ini sedang
menempuh pendidikan pascasarjana di salah satu sekolah theologia di Jakarta. Ia melayani
Tuhan dalam bidang musik dan pemberitaan firman. Kerinduannya adalah supaya pembaca
diberkati lewat artikel yang ia tulis dalam majalah ini. Pelayanan lain yang ditekuninya secara
pribadi adalah blogging, dapat dibaca di http://gloryekasari.wordpress.com.
No comments:
Post a Comment
Share Your Thoughts! ^^