Monday, March 30, 2020

Tidak Dibiarkan-Nya Kehilangan Iman



by Tabita Davinia Utomo

Bulan lalu, kelas saya membahas tentang providencia ilahi (divine providence, atau pemeliharaan dan penyertaan Allah). Sebelum kelas selesai, saya sempat bertanya pada sang dosen, “Bagaimana jika ada orang percaya yang murtad? Apakah orang itu akan auto kehilangan providencia Allah?”

Kemudian beliau menjawab, “Yah… kita tidak tahu. Mungkin saja suatu saat nanti dia bertobat—bahkan di detik-detik akhir hidupnya. Tapi satu hal yang jelas, kalau dia benar-benar anak Tuhan, maka Tuhan tidak akan membiarkan dirinya kehilangan iman. Artinya, providencia ilahi itu tetap ada bersamanya karena Tuhan tetap mengintervensi hidupnya. Bukankah Petrus pun mengalami hal yang sama?”

Iya, ya. Mungkin kalau kita berada dalam posisi terdesak seperti Petrus, rasanya menyangkali Yesus, Guru yang fenomenal saat itu, adalah pilihan satu-satunya agar tetap bertahan hidup. Kalau tidak, kita bisa ditangkap—bahkan ikut dihukum mati bersama-Nya sebagai pemberontak!

Padahal sebelumnya, dengan berani dia berkata pada Yesus (mungkin sambil menunjuk ke arah para murid yang lain),

"Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak."
(Matius 26:33)

Pada kenyataannya, Petrus membuktikan perkataannya. Well, setidaknya hanya dia dan Yohanes yang berani mengikuti kepergian Yesus ke rumah Imam Besar Kayafas setelah Dia ditangkap (Yohanes 18:15-16). Tapi tiba-tiba, ada seorang hamba perempuan yang berujar,

“Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus, orang Nazaret itu."
(Markus 14:67)

Menyadari identitasnya yang ketahuan, Petruspun menyangkalnya,

“Aku tidak tahu dan tidak mengerti apa yang engkau maksud."
(Markus 14:68)

Namun ada orang lain yang juga mulai mencurigainya sebagai murid Yesus,

“Engkau juga seorang dari mereka!”
(Lukas 22:58a)

Lagi-lagi Petrus menjawab (mungkin sambil berusaha mengenyahkan semua memorinya bersama Sang Guru),

“Bukan, aku tidak!”
(Lukas 22:58b)

Kecurigaan orang-orang di sekitarnya semakin terbukti melalui gaya bahasa Petrus—mungkin logatnya yang khas sebagai orang Galilea. Merekapun berkata,

“Pasti engkau juga salah seorang dari mereka, itu nyata dari bahasamu.”
(Matius 26:73)

Kali ini, Petrus tidak bisa berkutik lagi. Posisinya sudah terpojok. Akhirnya dia mengutuk dan bersumpah,

“Aku tidak kenal orang itu.”
(Matius 26:74a)

… dan ayampun berkokok pada saat itu juga.
(Matius 26:74b)

Berkokoknya ayam setelah tiga penyangkalan terhadap Yesus membuat Petrus teringat pada apa yang Sang Guru katakan kepadanya, tepatnya setelah Petrus berkata ingin menjadi “pahlawan” dengan menyerahkan nyawanya bagi-Nya,

“Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”
(Yohanes 13:38)

Tidak heran jika setelah itu, saat Yesus memandang Petrus (Lukas 22:61a), “ia pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya.” (Lukas 22:62)

Jika saat ini kita mengatakan bahwa Petrus adalah salah satu rasul terbesar sepanjang sejarah Kekristenan, kita juga harus mengingat titik terendah kehidupannya saat menyangkal Yesus. Ya, salah satu murid pentolan di “STT Tuhan Yesus” selama tiga tahun siang dan malam (demikian penggambaran yang digunakan dosen saya yang lain) ini ternyata jugalah manusia yang rapuh… sama seperti kita.

“Tapi kenapa Tuhan masih mau memakai murid durhaka ini untuk melayani-Nya, bahkan mengadakan “percakapan khusus” seperti di Yohanes 21:15-19!?”

Sederhana saja: karena Tuhan memang ingin memakai Petrus untuk melayani-Nya, maka Dia tidak membiarkan murid-Nya ini kehilangan iman kepada-Nya.

Tuhan tahu persis dinamika iman Petrus, begitu pula Dia terhadap kita. Tuhan tahu bahwa sebagai manusia, kita mengalami naik-turunnya hidup—termasuk dalam pergumulan iman. Well, itu salah satu bukti kasih-Nya kepada kita, bukan? Jika demikian, kenapa kita masih gengsi untuk mengakui kerapuhan kita di hadapan-Nya?

“Kalo Dia memang mahatahu, kenapa kita harus repot-repot berdoa? Toh, Dia berdaulat untuk mengeksekusi kehendak-Nya tanpa kita harus bersusah payah bertanya!”

Apakah fungsi doa hanya sebatas bertanya kepada Tuhan dan memberitahu-Nya apa yang kita butuhkan? Tidak. Doa adalah sarana kita berelasi dengan Tuhan, sehingga apapun bisa kita curahkan kepada-Nya—sebagai bentuk ungkapan syukur atas keselamatan yang diberikan-Nya kepada kita. Artinya, meskipun Dia adalah Tuhan yang mahatahu, Dia tetap ingin kita membangun relasi dengan-Nya… termasuk saat iman kita justru sedang mempertanyakan kedaulatan-Nya. Plus, mungkin perkataan Ibu Inawaty Teddy ini bisa menjadi refleksi kita:

“Kedaulatan dan anugerah Allah tidak menghilangkan tanggung jawab manusia.”

Tidak apa-apa jika saat ini kita sedang merasa kehilangan arah.

Tidak apa-apa jika saat ini kita meragukan kehadiran Tuhan dalam hidup kita.

Mungkin keduanya Tuhan izinkan terjadi untuk menyadarkan kita bahwa rencana manusia tidak bisa menyamai rencana-Nya—yang tingginya tidak tergapai itu.

Mungkin ketika kita tidak sanggup lagi untuk melangkah,

Tuhan sedang menggunakan momen pause ini untuk membuat kita mengenal diri-Nya—yang selama ini tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

... karena providencia Allah tidak pernah membiarkan umat pilihan-Nya kehilangan iman.

Apakah kita termasuk di dalamnya?

I touch the sky when my knees hit the ground
– Hillsong

Monday, March 23, 2020

Yudas Iskariot: Ketika Ekspektasi Berujung Kecewa


by Tabita Davinia Utomo

Catatan penulis: Akan lebih baik jika Pearlians membaca Matius 26:14-16, 47-56, 27:3-10, dan Yohanes 13:21-30 terlebih dulu sebelum membaca artikel ini. Pearlians juga bisa membaca bagian-bagian Injil lain yang berkaitan dengan bacaan di atas.

Apa yang terlintas di benak Pearlians saat mendengar nama Yudas Iskariot?
a. Pengkhianat Sang Guru? (Matius 26:14-16, Markus 14:10-11, Lukas 22:3-6)
b. Bendahara-sekaligus-“koruptor” di “STT Tuhan Yesus” setiap hari selama (kira-kira) tiga setengah tahun? (Yohanes 12:6, 13:9)
c. Orang yang menegur Maria saat dia mengurapi Yesus dengan minyak narwastu? (Yohanes 12:4-5)

Ketiga poin di atas nggak salah, sih. Para penulis Injil cenderung menekankan karakter Yudas seperti itu. Tapi pernahkah Pearlians berpikir alasan yang melatarbelakangi pengkhianatan Yudas terhadap Yesus? Nah, sebelum membahasnya lebih lanjut, kita perlu berkenalan dengan tokoh utama artikel kita kali ini. Tanpa sebuah perkenalan, tentu kita tidak boleh asal menghakimi seseorang. Ya, nggak?

--**--

Nama Yudas Iskariot perlu dilihat dari dua sisi, “Yudas” dan “Iskariot”. Pada masa itu, nama Yudas sendiri cukup umum digunakan dalam kebudayaan Yahudi. Sebagai contoh, ada yang namanya Yudas Makabe (yang pernah disangka sebagai Mesias oleh orang Yahudi), Yudas murid Yesus, dan Yudas saudara Yesus (penulis surat Yudas). Beralih ke “Iskariot”, kata ini mungkin berasal dari kata “sicarii” (assassins, atau pembunuh), sebutan bagi sekelompok orang Yahudi garis keras yang menusuk para korbannya dalam keramaian. Hm, nama yang cukup mengerikan, ya? Namun hal tersebut dilakukan para penulis Injil untuk membedakan dua murid Yesus yang memiliki nama Yudas; yang satu juga bernama Tadeus, dan yang satu lagi adalah Yudas yang sedang kita bahas.

Meskipun Alkitab tidak menjelaskan secara rinci alasan di balik pengkhianatan Yudas, namun bukan berarti kita bisa membuat dugaan asal-asalan. Sebagai contoh, ada yang mengatakan bahwa Yudas termasuk orang yang “mata duitan”. Buktinya adalah pencurian uang kas yang dipegangnya. Well… bisa jadi itu benar, tapi bisa juga tidak. Kalau dia memang “mata duitan”, kenapa pada akhirnya dia membuang uang itu lalu bunuh diri—terlepas dari kesalahan yang dilakukannya (yaitu menyerahkan Yesus, yang sebenarnya tidak bersalah)?

Satu hal yang bisa kita simpulkan dari tiga poin di awal artikel ini adalah Yudas cenderung memiliki jiwa pemberontak. Walaupun sudah mengikut Yesus selama tiga setengah tahun, Yudas belum benar-benar memahami bahwa kehadiran Gurunya itu bukan untuk membebaskan orang Yahudi dari penjajahan Romawi. Sebagai sicarii, mungkin awalnya Yudas tertarik dengan Yesus yang sanggup membuat perkumpulan baru dalam waktu pendek. Apalagi dengan nubuat para nabi yang mengatakan Sang Mesias akan hadir ke dunia, dan gelar itu terasa cocok untuk disematkan pada Yesus—Rabi sekaligus Pembuat Mujizat itu. Wajar kalau akhirnya Yudas berharap bahwa Yesus inilah yang akan mengusir para penjajah agar orang Yahudi bisa berdiri di atas tanah sendiri. Rasanya masuk akal kalau mereka juga mengharapkan hal yang sama seperti Yudas, bukan?

Tapi kita tahu:
Bukan itu yang Yesus lakukan, dan merekapun kecewa.

Menyadari keadaan yang (besar kemungkinan) tidak sesuai dengan harapannya, Yudas memutuskan untuk “menjual” Yesus kepada orang-orang yang membenci-Nya. Setelah memperoleh 30 keping perak (senilai harga seorang budak), dia mulai mencari kesempatan yang tepat untuk melancarkan aksinya. Wah! Sebuah perencanaan yang jeli, namun (disadari atau tidak) Tuhan memakai Yudas yang licik ini untuk menggenapi karya keselamatan-Nya. Pada akhirnya, kita tahu bagaimana kondisi Yudas setelah pengkhianatannya: Yudas menyesali keputusannya lalu gantung diri setelah melemparkan “uang darahnya” di Bait Suci.

--**--

Dear Pearlians (sambil ngomong sama diri sendiri juga),
wajar kok kalau kita memiliki ekspektasi sebelum memilih sesuatu. Kalau tidak, kita bisa asal cap-cip-cup tanpa memikirkan risiko dari pilihan yang kita buat.

Biasanya pilihan itu berujung pada dua hal:
a. kita bahagia atas pilihan yang diambil; atau
b. kita menyesali pilihan tersebut.

Masih “mending” kalau pilihan itu bisa segera dibatalkan sebelum semuanya terlambat, atau ada kesempatan kedua yang Tuhan berikan pada kita. Tapi bagaimana kalau pilihan itu menyangkut hal-hal yang tidak bisa diulang kembali; let’s say marriage life, or decision to choose to Whom we shall put our faith. Jangan-jangan kita akan menyesal karena sudah berharap terlalu banyak tapi realitas berkata lain. 

Kalau berbicara tentang mengikut Yesus, pertanyaannya bukan hanya tentang seberapa tinggi ekspektasi kita terhadap-Nya; tapi seberapa jauh kita mengenal-Nya. Kenapa? Karena melalui pengenalan akan Yesus, Roh Kudus memampukan kita untuk menundukkan ego, hingga kita bisa taat kepada Sang Guru. Tentu ini bukan hal yang mudah, ya. Siapa bilang kalau ikut Yesus lalu semua masalah auto selesai dan semua hidup bahagia? Bahkan Yesus berkata bahwa orang yang ingin menjadi murid-Nya harus menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia!

Masihkah kita ingin memberontak saat Dia telah berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan”?

Ajakan ini bahkan juga ditujukan untuk mereka yang telah membuat pilihan yang salah. Pengampunan Tuhan sesungguhnya disediakan pula bagi Yudas Iskariot, sebagaimana pengampunan-Nya juga diberikan kepada Petrus yang menyangkalnya sampai tiga kali. Apa bedanya antara Yudas dengan Saulus? Yudas menyerahkan Yesus pada orang-orang yang kemudian membunuh-Nya, sementara Saulus membunuh orang-orang percaya – yang bagi Yesus sama artinya dengan menganiaya Yesus sendiri (Kisah Para Rasul 9:4). Yudas mengkhianati Yesus, Petrus menyangkal Yesus, dan Paulus menganiaya Yesus. Yudas menangis ketika menyesali dosanya, Petrus pun demikian. Perbedaannya hanya satu, Petrus – [dan juga Paulus] menyesal dan bertobat lalu hidup untuk Yesus, namun Yudas tidak. Yudas justru, sekali lagi, memilih pilihan yang mendukakan Tuhan. 

Jadi, ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan kehidupan, masihkah kita ingin tetap mengikuti keegoisan diri sendiri, padahal Yesus justru telah rela merendahkan diri-Nya hingga mati di kayu salib demi menebus dan menyelamatkan kita? Atau, ketika Tuhan memberi kita kesempatan kedua atau ketiga, masihkah kita menyia-nyiakan kebaikan dan anugerah Tuhan?


***


Bacaan lebih lanjut:
Judas: A Biography, oleh Susan Gubar (W. W. Norton & Company, 2009)

Monday, March 16, 2020

Sebelum Tuhan Memanggil


by Mekar Andaryani Pradipta

Seandainya kamu tahu besok adalah hari kematianmu, apa yang akan kamu lakukan?

Coronavirus yang menyebabkan Covid-19 bermunculan di mana-mana membuat kita menyadari satu hal: Hidup kita di dunia ini tidaklah untuk selamanya. Menanggapi keterbatasan usia manusia, Petrus menulis:

“semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur.”
(1 Petrus 1:24)

Kembali pada pertanyaan di atas: Bagaimana jika besok adalah waktumu menjadi kering dan gugur (karena apapun)? Apa yang kamu lakukan malam ini?

Apa yang Yesus lakukan pada detik-detik terakhir kehidupan-Nya-dalam-rupa-manusia?

Yesus memilih bersama murid-muridnya dalam Perjamuan Terakhir, seperti yang tertulis dalam Matius 26:18, “Aku mau merayakan Paskah bersama-sama dengan murid-murid-Ku."

Dalam tiga tahun pelayanan-Nya, Yesus menggunakan sebagian besar waktu-Nya bersama banyak orang. Tapi ada waktu-waktu khusus yang benar-benar Ia investasikan bersama orang-orang terdekat-Nya: murid-murid-Nya. Mengapa investasi? Karena kepada para murid-Nyalah Yesus membuat legacy (atau warisan)—untuk kelangsungan pekerjaan Tuhan, nanti setelah kepergian-Nya.

Perjamuan terakhir adalah salah satu momen penting saat Yesus memberikan legacy-Nya. Yaps, kita juga tahu bahwa sebenarnya Yesus bisa mengajarkan kiat-kiat jitu-Nya dalam melayani (misalnya menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, melipatgandakan makanan, atau mengusir setan-setan). Namun, alih-alih mengajarkan hal-hal seperti itu (baca: tips-tips menyembuhkan penyakit dengan supranatural, atau 1001 cara mengusir setan), Yesus memilih legacy yang terutama. 


1) Ia memberikan pengertian tentang karya penebusan Allah melalui pengorbanan tubuh dan darah-Nya:

“Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku. Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu”
(Lukas 22:19-20)

Lihat bagaimana Yesus memerintahkan murid-murid-Nya meneruskan pesan yang ia wariskan. “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku," kata-Nya.


2) Yesus bicara soal melayani:

"Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan. Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.
(Lukas 22:25-27)

Sejak awal Yesus turun ke dunia, misi hidupnya jelas: melayani manusia dan menebus dosa mereka. Penebusan dosa hanya bisa dilakukan oleh Yesus, tapi melayani manusia adalah misi yang ia wariskan kepada murid-murid-Nya.

"Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."
(Matius 20:28)


3) Yesus memberikan apresiasi pada murid-muridnya:

“Kamulah yang tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang Aku alami. Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel,”
(Lukas 28-30)

Dengan segala kekurangan mereka, murid-murid setia mengikuti Yesus. Yesus tahu itu tidak mudah. Ada masa-masa mereka harus melewati badai. Di lain waktu, mereka ikut direpotkan dengan orang banyak yang mengikuti Yesus. Beberapa orang harus meninggalkan keluarga dan pekerjaannya, demi mengikuti Yesus. Yesus memahami seluruh pergumulan mereka; karena itulah Dia memastikan para murid-Nya tahu bahwa Dia melihat kesetiaan mereka. Yesus juga memastikan murid-murid-Nya menyadari bahwa kesetiaan mereka kepada-Nya tidak sia-sia.

Yesus bahkan mengambil waktu untuk memberikan pesan-pesan personal kepada Petrus. Kenapa Ia memilih Petrus? Bukan karena Yesus pilih kasih; tapi karena pengakuan iman Petrus (petros (Petros – bahasa Yunani)) menjadi “batu karang” (petra (Petra)) bagi gereja-Nya (Matius 16:13). Petruslah yang Yesus pilih untuk bisa menguatkan saudara-saudaranya setelah Yesus tiada.

“Tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.”
(Lukas 22:32)

Yesus memilih malam terakhir-Nya untuk memastikan kabar keselamatan tidak berhenti, menegaskan panggilan murid-murid-Nya untuk melayani, dan mengapresiasi mereka. Lalu bagaimana denganmu? Jika kamu meninggal esok hari, legacy apa yang kamu tinggalkan malam ini? Kepada siapa kamu memercayakan legacy-mu? Beberapa dari kita mungkin sudah tahu jawabannya. Tapi masalahnya, hampir semua orang tidak punya pengetahuan sedikitpun tentang hari kematiannya. Lalu bagaimana dengan apa yang akan kita wariskan? Bagaimana dengan orang-orang yang akan kita tinggalkan?

Cara “paling sederhana” tentunya mengikuti teladan kehidupan Yesus. Ya, “paling sederhana”, karena kita tahu bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang sempurna untuk menjadi Teladan hidup kita. Oleh karena itu, mari kita memfokuskan kehidupan kita pada Tuhan dan pada orang-orang terdekat—khususnya mereka yang akan menjadi benih bunga dan rumput baru, saat kita sudah gugur dan kering. Mungkin itu pasangan, anak-anak, orang tua, atasan/karyawan, rekan-rekan di kantor/kampus/sekolah, anak-anak KTB/komsel, murid/mahasiswa… you name it. Siapa tahu, melalui perubahan hidup kita (dengan berbagai konteks yang ada), mereka dapat melihat Kristus yang berkuasa di dalam kita. Siapa tahu pula, kita adalah satu-satunya orang percaya yang mereka sebut sebagai “orang Kristen yang sesungguhnya”, karena di luar sana… mereka tidak menemukan Kristus di dalam kehidupan orang-orang yang mengaku sebagai “murid-Nya”.

Tidak ada yang tahu kapan Tuhan memanggil kita pulang, bukan? Lalu…

Jika seandainya hari ini adalah hari terakhir kita di dunia ini, kenangan seperti apa yang ingin kita wariskan kepada mereka?

Monday, March 9, 2020

Wanita yang Mengurapi Yesus


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Bacaan: Matius 26:6-13, Markus 14:3-9, Yohanes 12:1-8

“Ngapain sih dia beli barang seperti itu? Mendingan dia beli merek ini…”
“Kenapa sih dia melakukan perbuatan sebodoh itu? Harusnya begini…”
“Buat apa sih jalan-jalan melulu? Kan lebih baik uangnya ditabung.”
"Untuk apa pemborosan ini? Kalau minyak itu dijual kan bisa diberikan kepada orang miskin.”

Terdengar familiar? Tidak hanya di zaman Yesus, di zaman sekarang pun masih sering terdengar komentar demikian tentang apa yang dilakukan orang lain. Seolah-olah apa yang dilakukan orang lain gak benar, hanya diri sendiri yang benar. Yesus tidak menginginkan muridnya bersikap julid seperti ini kepada orang lain, bahkan Ia mengkritisi sikap tersebut. Kita bisa lihat contohnya di Alkitab, ketika Tuhan membela seorang wanita yang mengurapi-Nya dari komentar orang-orang. Sebenarnya apa sih yang dilakukan wanita tersebut sehingga Yesus membelanya? 

1. Wanita itu melakukan hal yang baik
Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka lalu berkata: "Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku.
(Matius 26:10)

Wanita yang mengurapi Yesus itu melakukan hal yang baik, tetapi mengapa tanggapan orang lain bukannya turut senang, malahan diprotes? Tidakkah seharusnya orang lain ikut senang saat melihat orang lain melakukan yang baik? Kalau hati kita tidak senang melihat seseorang berbuat baik, ada yang salah dengan diri kita. Ada yang salah dengan hati kita. Cek dan ricek lagi deh, kalau ada kebencian segera dibuang sebelum membawa kita ke dalam dosa. 

Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu. (Efesus 4:31-32)

Jika yang terjadi adalah kita selalu merasa dapat melakukan yang lebih baik daripada orang lain sehingga tidak suka melihat perbuatan baik orang lain, berarti ada kesombongan yang harus dihancurkan.

Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan; (Amsal 3:7)

Saat seseorang memiliki kesombongan maka dia akan selalu merasa dirinya yang paling benar, keputusan-keputusannya yang paling tepat, pemikirannya yang lebih baik. Sulit baginya membuka hati dan menerima saat orang lain melakukan hal yang berbeda dari yang diinginkannya. Ini berbahaya. Ingat cerita Maria dan Marta? Marta melakukan hal yang baik, tapi sayang sekali dia melakukannya dibarengi rasa iri dan kesal pada Maria yang tidak membantunya dan malah duduk diam mendengar Yesus. Ia merasa lebih baik Maria seperti dirinya yang sibuk melayani Yesus. Sayang sekali bukan, Marta melakukan hal baik tapi kemudian nyinyir. Duh.

2. Wanita itu melakukan yang dapat dilakukannya
Ia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya. Tubuh-Ku telah diminyakinya sebagai persiapan untuk penguburan-Ku.
(Markus 14:8)

Sebelum kita mengomentari perbuatan orang lain, mari kita berpikir, “Apakah kita cukup mengenal orang tersebut?” untuk mengomentarinya. Jika dia melakukan yang dapat dilakukannya lalu kenapa kita menuntutnya melakukan hal lain yang mungkin saja tidak dapat dilakukannya. Memangnya apa hak kita mengatur apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan orang lain? Jika kita dapat melakukannya, bukan berarti orang lain harus melakukan tepat sama seperti yang kita inginkan. Siapa yang tahu, situasi dan kondisi yang mendorong seseorang berbuat sesuatu.

3. Wanita itu memiliki motivasi yang benar
Wanita yang mengurapi Yesus melakukan apa yang dia lakukan tanpa tendensi. Ia hanya ingin melakukan sesuatu yang baik untuk Tuhan. Bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Yudas. Ia mengritik wanita itu, padahal justru Yudas-lah yang menyembunyikan sikap hati yang salah terhadap uang.

“Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.”
(Yohanes 12:6)

Yudas gusar melihat wanita itu mengurapi Yesus dengan minyak yang mahal, karena ia berharap minyak itu diuangkan dengan alasan diberikan bagi orang miskin. Padahal sebagai bendahara Yesus dan rasul-rasul, ia ingin bisa mencuri uang hasil penjualan minyak itu. Sebenarnya, dia sama sekali tidak peduli dengan orang yang miskin. Yesus tahu ini.

Saat seseorang memuliakan Tuhan dengan cara A, dan kita memuliakan Tuhan dengan cara B. Terimalah dengan sukacita. Melalui banyak cara Tuhan dapat dimuliakan, yang terpenting adalah sikap hati kita saat melakukannya. Sudah jelas bagaimana hati wanita ini tertuju pada Yesus dan ingin memberikan yang terbaik bagiNya. Yudas? Sekilas dia terlihat ingin melakukan yang baik namun di dalam hatinya adalah keserakahan. Bukan pada Yesus hatinya tertuju. Dua hal sama yang dilakukan dua orang yang berbeda, bisa saja memiliki motivasi yang berbeda.

4. Wanita itu melakukan kehendak Allah
“Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu. Sebab dengan mencurahkan minyak itu ke tubuh-Ku, ia membuat suatu persiapan untuk penguburan-Ku. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di mana saja Injil ini diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia.”
(Yohanes 26:11-13)

Memang aneh apa yang dilakukan wanita itu. Bukan sesuatu yang normal bagi seseorang mencurahkan minyak yang luar biasa mahal pada seseorang yang sedang duduk makan, tapi dia melakukannya. Semua orang yang hadir saat itu terheran-heran melihat kejadian tersebut, tapi Yesus tidak. Yesus memahami apa yang terjadi, bagaimana Bapa-Nya membuat persiapan penguburan-Nya melalui wanita ini. Kita tidak tahu, apakah wanita ini sadar dengan apa yang sedang dilakukannya, atau apa makna yang dimaksudkan Allah, nyatanya wanita ini melakukan kehendak Allah.

5. Wanita ini tulus memberikan yang terbaik bagi Yesus
“Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”
(Yohanes 12:5)

Wanita ini membeli minyak narwastu yang sangat mahal, sekitar 300 dinar harganya. Di masa itu, 1 dinar adalah rata-rata upah harian pekerja bekerja setiap harinya. Bayangkan, hasil kerja bertahun-tahun dipakainya untuk minyak yang dicurahkan pada seseorang? Wow! Apakah melakukan ini memberikan keuntungan bagi dia? Tidak. Tapi dia tetap melakukannya. Ia mengasihi Yesus dengan tulus. Jika orang lain berhitung (seperti yang saya lakukan) ‘nilai’ minyak narwastu tersebut, wanita ini tidak. Yesus lebih berharga baginya dari segala harta. Hatinya begitu mengasihi Yesus sehingga baginya tidak ada yang terlalu berharga jika diberikan bagi Yesus.

***

Banyak hal tersembunyi dari sebuah perbuatan sederhana seperti mengurapi Yesus. Itulah kenapa tidak seharusnya kita asal memberikan komentar negatif mengenai apa yang dilakukan orang lain. Kita tidak sanggup menilai hati seseorang, hanya Tuhan yang bisa. Hal ini berlaku sebaliknya, komentar negatif dari orang lain sebisa mungkin tidak kita biarkan menghalangi kita untuk tetap melakukan sesuatu, sepanjang yang kita lakukan itu baik, dengan motivasi yang benar, dan kita yakini sebagai kehendak Tuhan. Semua untuk kemuliaan Tuhan.

Monday, March 2, 2020

Dia Mengajar Sebagai Orang Yang Berkuasa


by Glory Ekasari

Selama puluhan tahun jadi orang Kristen, saya sudah mendengarkan entah berapa banyak khotbah, dari banyak pengkhotbah, dengan gaya khotbah yang berbeda-beda. Ada yang lucu, ada yang garing (maaf ya pak/bu...), ada yang serius seperti baca naskah, ada yang santai sambil jalan-jalan keliling mimbar. Tuhan Yesus seperti apa ya khotbah-Nya? Ternyata, kalau kita tanya pada orang-orang yang mendengarkan Dia secara langsung, jawabannya adalah: Dia mengajar dengan penuh kuasa. Wow.

Sebagai pengkhotbah, saya juga belajar bagaimana teknik public speaking yang baik, untuk mendukung isi khotbah yang disampaikan. Tapi saat ini kita tidak bisa mendengar intonasi Yesus saat mengajar dan tidak bisa melihat ekspresi wajah-Nya. Yang kita punya adalah kata-kata-Nya, yang dicatat dan sudah kita pelajari beberapa lama ini. Tapi dari situ saja kita bisa melihat apakah benar Yesus mengajar sebagai orang yang berkuasa. 

Matius mengelompokkan Injilnya secara teratur (bisa dimengerti, berhubung sebelum mengikut Yesus dia bekerja sebagai tukang pajak). Pasal 5-7 berisi ajaran Yesus, pasal 13 berisi perumpamaan, pasal 24-25 adalah tentang akhir zaman, dsb. Dia menutup bagian pertama, yaitu pasal 5-7, dengan kesimpulan dan peringatan. Kita akan memperhatikan apa saja yang Yesus katakan.

// THE GOLDEN RULE
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” 
(Matius 7:12)

Saya sempat bingung saat Yesus berkata bahwa ini adalah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Bukankah hukum Taurat mencakup banyak hal lain selain memperlakukan sesama sebagaimana kita ingin diperlakukan? Kemudian saya menyadari satu hal penting.

Dalam Kejadian 1:26 dikatakan bahwa manusia diciptakan istimewa, berbeda dengan ciptaan lain. Ayat 27 menegaskan lebih jauh:

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
(Kejadian 1:27 / TB)

Tiga kali ditekankan bahwa manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan menurut gambar Allah. Manusia diciptakan sebagai gambar Allah. Inilah kodrat manusia yang sebenarnya: nilai dirinya tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi dari Allah, yang ia wakili di dunia ini. Tetapi dosa membuat manusia tidak lagi menghargai sesamanya sebagaimana mestinya. Kain menganggap rendah Habel, adik kandungnya sendiri, dan membunuhnya hanya karena marah. Dan seterusnya, manusia memandang sesamanya rendah dan tidak lagi mengasihi mereka. Yang dikasihi manusia adalah, you guess it, dirinya sendiri.

Dalam hukum Taurat, bangsa Israel diwajibkan menghargai sesama mereka sebagaimana seharusnya: sebagai pewaris otoritas Allah di dunia, sebagai orang pilihan Allah. Tetapi bangsa Israel juga akhirnya memberontak dari firman Allah dan mereka saling menyakiti dan merendahkan satu sama lain. Sampai datang Yesus, yang menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya mengasihi sesama kita.

Allah menjadi manusia di dalam Yesus Kristus. Dia menjadi salah satu dari kita dan sepenanggungan dalam segala kesusahan kita. Dia menerima orang-orang yang dianggap outcast atau buangan oleh orang Yahudi seperti perempuan yang sakit pendarahan, orang yang buta sejak lahir, orang kusta, orang yang kerasukan roh jahat, orang non-Yahudi—intinya, semua orang yang datang kepada-Nya diterima-Nya dan dilepaskan dari apapun yang mengikat mereka, karena Dia tahu bahwa mereka semua adalah gambar Allah. Akhirnya, Yesus mati disalib bagi semua orang agar mereka diselamatkan: tentara Romawi, orang Farisi, ahli Taurat, para imam, orang Arab, orang Eropa, orang Indonesia - karena kita semua adalah imago Dei, gambar Allah. Dia melihat kita sebagaimana mestinya.

Perintah Yesus dalam The Golden Rule yang kita lihat dalam Matius 7:12 ini tidak lain adalah perintah untuk memperlakukan orang lain dan mengasihi mereka sebagaimana mestinya. Semua mereka berharga di mata Allah sebagai gambar-Nya, dan harus juga berharga di mata kita, apabila kita mau melihat sebagaimana Allah melihat. Merendahkan orang lain berarti merendahkan Pencipta mereka. Mengasihi orang lain berarti menghargai Pencipta mereka.

// PARA PEMALSU
“Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.”
(Matius 7:15-16)

Yesus memperingatkan kita akan sebuah bahaya laten, yaitu akan datangnya nabi-nabi palsu. Orang-orang ini kelihatannya meyakinkan, tapi sebenarnya sangat berbahaya karena mereka berniat jahat. Segera sesudah Kekristenan mulai meluas pada zaman para rasul, mulai muncul nabi-nabi palsu ini - sesuai nubuat Yesus. Para penulis Perjanjian Baru seperti Paulus, Yohanes, Petrus, dan Yudas, memperingatkan jemaat akan bahaya ini dalam surat-surat mereka. Ketika kitab Wahyu ditulis, beberapa gereja bahkan sudah mulai dicemari nabi-nabi palsu, sehingga mereka ditegur keras oleh Tuhan Yesus sendiri.

Untungnya ada satu indikator yang fail-proof untuk mengetahui apakah seorang yang mengaku sebagai nabi/mesias/rasul berkata jujur atau berbohong: “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” Ya, kesaksian hidup tidak bisa bohong. Pohon yang baik pasti menghasilkan buah yang baik; demikian pula sebaliknya. Orang yang hatinya jahat tidak mungkin terus menutupi kejahatannya.

Ketika seseorang mengaku sebagai nabi atau sosok apapun yang istimewa yang diutus Allah (atau bahkan mengaku sebagai Allah sendiri), tiliklah kesaksian hidupnya. Allah itu kudus; apakah orang ini hidup dalam kekudusan? Allah itu panjang sabar dan berlimpah kasih setia; bagaimana kalau orang ini pemarah dan kasar? Allah itu adil dan benar; bagaimana kalau orang ini memanipulasi orang lain untuk kepentingannya? Allah adalah Terang; bagaimana kalau orang ini menutupi banyak hal dalam kehidupannya? Itu semua dapat kita jadikan indikator untuk tahu apakah seseorang benar-benar datang dari Allah atau tidak. Dan jangan lupa, Yesus juga mengenakan ukuran ini kepada diri-Nya. Waktu Ia ditangkap dan dibawa ke hadapan para imam, mereka mencari-cari kesalahan-Nya, cacat-Nya dalam hal apapun agar Ia dapat dihukum mati—tapi mereka tidak mendapatkannya (Markus 14:55).

Ada yang berkata, “Tapi orang ini bisa menyembuhkan orang lho! Dia bisa mengusir setan, bahkan mengadakan mujizat!” Yesus berkata bahwa memang banyak orang-orang seperti itu yang akan berseru-seru kepada Dia pada hari terakhir, yaitu hari penghakiman. Dan pada saat itu Dia akan menyangkal mereka, karena mereka tidak hidup dalam kebenaran. Mereka tidak berasal dari Dia. Mari kita berhati-hati dan tidak gampang percaya, sekalipun kepada orang-orang yang mampu melakukan hal-hal yang mencengangkan. Ingat, dari buahnyalah kita akan tahu apakah dia asli atau palsu.

// MEMBANGUN RUMAH
“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”
(Matius 7:24-25)

Tidak ada orang yang membangun rumahnya di atas pasir, kecuali orang yang tidak tahu bahwa rumah membutuhkan fondasi. “Membangun rumah” adalah metafora yang dikenal oleh orang Yahudi, yang berarti membangun seluruh kehidupan mereka. Pertanyaannya, apa yang menjadi dasar dari seluruh kehidupan kita?

Ada yang membangun hidupnya di atas pengakuan orang lain. Ketika dia tidak diakui orang, seolah-olah hidupnya runtuh dan dia kehilangan arti hidup. Ada yang membangun hidupnya di atas kesuksesan. Sekali gagal, ia merasa sangat kalah dan terpukul. Ada yang membangun hidupnya di atas kesenangan. Tidak diragukan, penderitaan ringan pun bisa membuat dia stres berat. Bahkan ada yang membangun hidupnya di atas kata-kata bijak dari orang lain. Mengapa pula kita percaya pada sembarang orang, padahal mereka manusia biasa seperti kita? Semua itu seperti pasir yang gampang bergeser sehingga tidak bisa dipijak. Hanya menunggu waktu saja sebelum semuanya runtuh.

Yesus berkata bahwa orang bijak membangun hidupnya di atas firman-Nya. Mendengar dan melakukan perkataan Yesus, itulah yang membuat hidup kita kuat dan kokoh, sekalipun diterpa hujan, banjir, dan angin. Penderitaan dan kesusahan datang, tetapi kita tidak roboh. Orang lain tidak menerima kita, usaha kita gagal, keluarga menghadapi masalah, tapi kita bisa berkata, “It is well with my soul.” Mengapa? Karena firman Allah adalah kekuatan kita.

Kok bisa firman Allah menolong kita untuk berdiri tegak dan menang dalam hidup ini? Kita perlu ingat bahwa Allah menjadikan segala sesuatu dengan berfirman (Kejadian 1:3), dan dengan firman itu pula Ia menopang segalanya (Ibrani 1:3). Firman Allah begitu berkuasa! Apalah artinya masalah yang kita hadapi dalam hidup ini, kalau dibandingkan dengan kuasa firman Allah? Karena itu Yesus berkata, yang bijaksana adalah orang yang membangun hidupnya dengan firman Allah sebagai pegangannya. Sebagaimana tidak ada yang bisa membatalkan firman Allah, demikian pula tidak ada yang bisa menggoncangkan orang yang berpegang pada firman Allah.

// DIA YANG BERKUASA
“Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.”
(Matius 7:28-29)

Kita bisa yakin bahwa pada masa itu di Israel ada guru-guru agama yang handal. Pada zaman yang sama dengan Yesus, hidup salah satu rabi paling terkenal dalam sejarah agama Yahudi, yaitu Gamaliel. Lalu apa yang membedakan Yesus dari mereka? Apa yang membuat Yesus istimewa?

Yesus memang bukan murid rabi manapun atau dari sekolah teologi manapun. Dia juga tidak mulai mengajar di Yerusalem, pusat peribadatan, tapi di daerah Galilea. Penafsiran-Nya tentang Perjanjian Lama juga tidak seperti para rabi pada umumnya. Tapi yang lebih penting dari itu semua, Yesus menyetarakan pengajarannya dengan Perjanjian Lama, yaitu firman Allah sendiri. Dia berbicara seolah-olah Dialah yang memberi firman dalam Perjanjian Lama itu. Yesus berkata bahwa Dia menggenapi Perjanjian Lama (Matius 5:17). Dia tidak mengajar dengan berkata, “Demikianlah firman TUHAN,” seperti para nabi, namun Dia berkata, “Aku berkata kepadamu,” seolah-olah Dia sendirilah Allah yang sedang berfirman!

Menjelang akhir dari penutupan kompilasi pengajaran-Nya dalam Matius 7, Yesus makin menegaskan identitas-Nya. Ia berkata, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ yang akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga,” lalu, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku... Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu!” Bagaimana mungkin orang-orang berseru kepada Yesus pada hari terakhir, yaitu hari penghakiman? Orang Yahudi percaya bahwa Allahlah Hakim atas seluruh bumi. Satu-satunya makna yang bisa ditarik dari kata-kata Yesus ini adalah bahwa Dia sedang menyamakan diri-Nya dengan Allah. Bukan hanya Yesus menyetarakan perkataan-Nya dengan firman Allah, Dia juga menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang akan menghakimi manusia.

Terakhir, Yesus berkata, “Setiap orang yang mendengarkan perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana.” Dia tidak berkata “setiap orang yang mendengarkan hukum Taurat dan kitab para nabi,” tetapi orang yang mendengarkan perkataan Yesus. Mengapa? Kesimpulannya jelas: perkataan yang keluar dari mulut Yesus adalah perkataan Allah sendiri, karena Yesus, yang berkata-kata itu, adalah Allah.

Jangan percaya kalau ada yang berkata bahwa, “Yesus adalah guru moral yang luar biasa, tapi Dia tidak pernah menyatakan bahwa Dia adalah Allah.” Kita sudah melihat bahwa Yesus jelas-jelas menyamakan diri-Nya dengan Allah. Lagipula kalau Dia hanya manusia biasa, perkataan-Nya pun hanya nasehat atau kata-kata bijak, tidak lebih. Bagaimana orang bisa membangun hidup yang terjamin dan tidak tergoyahkan di atas dasar omongan sembarang orang? Kata-kata Yesus, semua yang kita baca dalam Matius 5-7, hanya memiliki arti dan kuasa, bila Dia sungguh adalah Allah sendiri. Dan itulah yang akan Ia buktikan dalam seluruh kehidupan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya ke surga.

Monday, February 24, 2020

Untukmu yang Sedang Kuatir


by Alphaomega Pulcherima Rambang

Sedang kuatir? Yuk, baca Matius 6:25-34. Perikop berjudul Hal Kekuatiran tidak hanyak berisi kalimat-kalimat puitis, namun juga penuh makna. Membaca perikop itu berkali-kali akan mengajar dan menguatkan kita di saat kekuatiran menyerang.

1. Banyak di antara kita yang sering menguatirkan hal-hal kurang penting.
Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?
(Matius 6:25)

Hidup kita lebih penting dari apa yang kita kuatirkan. Dengan kata lain, ada banyak hal lain yang lebih penting, dan Yesus mengajak kita untuk FOKUS pada hal-hal penting itu. Saat fokus, kita dilatih melihat apa yang sudah kita miliki saat ini, apa yang perlu mendapatkan prioritas perhatian kita, sehingga kita tidak lagi mengkuatirkan hal-hal yang tidak seharusnya dikuatirkan. 

2. Kekuatiran menganggu fokus pada masa kini.
Hal-hal yang kita kuatirkan biasanya adalah hal-hal yang belum terjadi, perkiraan tentang sesuatu yang buruk, apa yang kita tidak tahu, dan masalah yang kita anggap tidak bisa kita tangani. 

Apa yang kita kuatirkan saat ini biasanya bukan hal yang perlu kita kuatirkan saat ini. Contohnya, saat SMP, gambar diriku belum pulih. Aku tidak percaya diri sampai aku kuatir jika tidak ada yang mau menikahiku. Menurutmu, layakkah anak SMP berpikir demikian? Sekarang memang rasanya menggelikan, tapi waktu itu, itulah kekuatiran terbesarku. Bayangkan, di saat teman seusiaku mengkuatirkan PR atau pacarnya, aku memikirkan siapa yang mau menjadi suamiku? Konyol? Ya. Seringkali kekuatiran sekonyol itu yang membuat kita seperti kursi goyang – sibuk bergerak tapi tidak bergerak maju kemanapun.

Mengkuatirkan masa depan (termasuk keesokan hari) sangat manusiawi. Tapi, Firman Tuhan menghendaki kita untuk fokus pada pergumulan saat ini, dan tidak kuatir pada apa yang terjadi nanti. 

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.
(Matius 6:34)

Firman Tuhan mengajar kita untuk berjalan one day at a time, melakukan one thing at a time. 

Berikanlah kami hari ini makanan kami yang secukupnya.
(Matius 6:11)

Perhatikan bagaimana Tuhan ingin kita hidup ‘saat ini’ dan berhenti mengambil apa yang menjadi bagian hari esok. Kenapa? Karena memang akan sangat berat memikirkannya bila belum tiba saatnya. Bayangkan bila seorang wanita yang belum menikah mengkuatirkan bagaimana seandainya ia harus menghidupi dua anak balita tanpa suami. Berat? Pasti. Karena masalah itu tidak dimaksudkan untuk dipikirkannya ‘saat ini’. Pada saatnya nanti dia akan dapat menanggungnya jikalau itu harus terjadi. Tapi sekarang? 

3. Kekuatiran tidak mengerjakan apa-apa. 
Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?
(Matius 6:27)

Seakan-akan Yesus ingin berkata: “Ngapain sih kuatir? Gak ada gunanya!” Apakah kekuatiran bisa mengubah keadaan? Tidak, jika kita tidak melakukan apa-apa. Kekuatiran saja tidak akan membuat penyakit kita sembuh. Kekuatiran saja tidak akan mendatangkan makanan ke atas meja, atau uang ke dompet kita. Kekuatiran justru bisa menghilangkan semangat dan pengharapan kita. 

4. Ada pemeliharaan Bapa yang sempurna. 
Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannyapun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?
(Matius 6:26, 28-30)

Ada solusi atas kekuatiran kita: pemeliharaan Bapa yang sempurna. Dia adalah Allah pemelihara yang tidak pernah lalai. Aku mengalaminya sendiri. Tiga belas tahun lalu saat papaku meninggal, dunia seperti runtuh. Mama gak bekerja, aku baru lulus kuliah dan belum bekerja, adikku masih kuliah, dan adik bungsu masih SMP. Papa gak meninggalkan warisan harta apapun, hanya pensiun yang tidak seberapa. Kami mengkuatirkan bagaimana nasib kami. Tapi kami berusaha menjalani hidup sehari demi sehari bersama Tuhan. Sekarang? Tuhan buktikan pemeliharaan-Nya sempurna. Aku dan adikku yang kedua sudah menikah. Kami bertiga sudah bekerja. Tuhan sanggup kok memelihara kita, melakukan banyak hal untuk memastikan kita tumbuh indah di hadapannya. 

5. Kekuatiran sebagai perbedaan antara mereka yang mengenal Allah dan yang tidak mengenalNya.
Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.
(Matius 6:31-32)

Craig Groeschel pernah menulis buku yang berjudul The Christian Atheist. Buku itu membahas tentang orang-orang yang percaya kepada Tuhan tetapi hidup seakan Dia tidak ada. Ada beberapa hal yang dikatakannya sebagai tanda seorang Kristen yang ateis. Salah satu jenis Kristen ateis adalah orang Kristen yang suka kuatir. Sebenarnya, kalau kita mengenal Allah kita dengan baik, kita gak perlu mengkuatirkan banyak hal. Buat apa? Toh kita tahu pribadi-Nya, kita tahu Allah kita adalah Bapa yang senantiasa memberikan yang terbaik. Dia adalah Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Memiliki Tuhan yang seperti ini, pantaskah kita kuatir?

Lalu harus bagaimana saat kuatir?

“Bagaimana jika?” Pertanyaan itu sering menjadi pintu gerbang di pikiran kita untuk kekuatiran. Pikiran adalah medan peperangan kita. Apa yang kita pikirkan akan menentukan tindakan kita. Tuhan tidak ingin kita mengisi pikiran dengan pertanyaan-pertanyaan “Bagaimana jika?”. Ia ingin kita memikirkan "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji," (Filipi 4:8) Pagari pikiran, kendalikan kekuatiran. 

Saat kuatir, berdoalah dan mengucap syukur. Firman Tuhan dengan jelas berkata :

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.
(Filipi 4:6)

Karena kuatir adalah sesuatu yang manusiawi, gunakan kekuatiran sebagai alarm yang mengingatkan kita bahwa hal yang kita kuatirkan harus kita serahkan pada Tuhan. Kekuatiran ada, supaya kita berjaga-jaga dan berdoa, menggunakan hikmat dan kekuatan yang Allah berikan untuk bersiap-siap mengatasi segala yang mungkin terjadi, melakukan semua yang bisa dilakukan, mengerjakan apa yang bisa dikerjakan sebaik mungkin dan membiarkan kehendak Allah yang terjadi kemudian.

Jadi, saat alarm ini berbunyi, matikan. Jangan biarkan alarm itu berbunyi terus dan membuat keributan. Segeralah nyatakan kekuatiran kita kepada Tuhan dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. 

Doa dan permohonan yang disertai ucapan syukur akan mendatangkan damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal. Artinya, saat kita berpikir dengan pikiran manusia atas segala permasalahan hidup, terkadang kita tidak selalu menemukan jawaban atas pertanyaan kita. Tapi, di tengah badai tersebut Tuhan berikan damai sejahtera-Nya. Dia peluk kita dan berikan ketenangan. Doa memang tidak selalu mengubah keadaan tetapi doa dapat mengubah kita. Doa yang disertai ucapan syukur memampukan kita melihat kebaikan dan kemurahan Tuhan di tengah masalah. 

Kekuatiran dapat dipakai untuk melatih iman kita pada Tuhan dan pemeliharaan-Nya yang sempurna. Pada akhirnya, kita akan menyadari kalau dari sekian banyak hal yang kita kuatirkan, kebanyakan tidak terjadi – karena Allah sudah berada di depan kita dan mengatasinya. Ia menunjukkan kasih-Nya dengan memelihara hidup kita.

Monday, February 17, 2020

Tentang Menghakimi


by Yunie Sutanto

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.”
(Matius 7:1)

Yesus memberikan larangan tegas pada perilaku yang satu ini: menghakimi. Kata menghakimi berasal dari kata Yunani krino yang berarti menilai, mengritik, atau menentukan benar dan salah. 

Orang yang melakukan penghakiman, memosisikan dirinya ke dalam kelas yang lebih tinggi dibanding orang yang dihakimi. Saat kita menghakimi orang lain, kita menempatkan diri kita lebih superior dari orang tersebut. Kita menjadi pihak berwenang yang memutuskan dan menilai, seperti hakim yang memang bertugas memutuskan perkara dan menyatakan vonis kepada terdakwa, berdasarkan hukum dan peraturan perundangan. Sikap meninggikan diri seperti inilah yang tidak dikenan Tuhan Yesus.

Firman Tuhan berkali-kali memberikan peringatan tentang penghakiman. Ada beberapa alasan yang bisa kita simpulkan mengapa Tuhan melarang kita menghakimi. Yuk, kita gali lagi apa kata-Nya.

Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya. Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?
(Yakobus 4:11-12)


1. MENGHAKIMI = MEMFITNAH
Dalam suratnya, Rasul Yakobus menyamakan menghakimi dengan memfitnah. Sering sekali kita menilai seseorang hanya dengan dugaan, atau fakta-fakta yang tidak menyeluruh. Akibatnya, penilaian kita yang belum tentu benar justru menjadi kebohongan yang menyebar. Inilah fitnah. Betapa berdosanya sikap menghakimi.

2. MENGHAKIMI BERARTI MEREBUT PEKERJAAN TUHAN
Rasul Yakobus juga menjelaskan bahwa Allah melarang kita menghakimi, karena itu bukan tugas kita. Ketika kita menghakimi, kita sedang merebut pekerjaan Allah sebagai satu-satunya Pembuat hukum dan Hakim. Dengan kata lain, kita sedang bertindak sebagai Tuhan. Padahal, siapakah kita? Hanya sesama umat manusia. 

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”
(Matius 7:1)

3. MENGHAKIMI ORANG LAIN MEMBAWA PENGHAKIMAN BAGI DIRI SENDIRI
Versi IBIS dari Matius 7:1 mengatakan ”Janganlah menghakimi orang lain, supaya kalian sendiri juga jangan dihakimi oleh Allah.” Ini sangat mengerikan bukan? Saat kita menghakimi orang lain, saat itu pulalah diri kita terbuka untuk dihakimi oleh Allah. Saat tangan kita melempar batu untuk menghukum orang lain, saat itulah Roh Kudus ingatkan tentang banyaknya batu- batu yang juga layak untuk dilemparkan terhadap kita. Ukuran yang kita pakai untuk mengukur hidup orang lain akan diukurkan kepada kita oleh Allah. Tuhan Yesus pun mengajarkan dalam doa Bapa Kami bahwa kesalahan kita akan diampuni oleh Tuhan seperti kita mengampuni kesalahan orang lain terhadap kita.

4. KITA TIDAK BISA MENGHAKIMI DENGAN ADIL
Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.
(Yohanes 7:24)

Penghakiman yang adil hanya mungkin ketika kita tahu semua fakta. Hanya Tuhan Yesus yang bisa melihat yang tidak nampak, yakni isi hati dan motivasi seseorang. Dengan keterbatasan manusia, kita seringkali subjektif dalam menilai orang lain hanya berdasarkan apa yang tampak saja. Kita tidak bisa melihat “the big picture and the whole story”.

Misalnya, saat saya menganggap orang lain sombong dan tak sopan hanya karena yang bersangkutan tidak membalas sapaan saya berpapasan, saya sudah menghakiminya. Kenapa? Karena saya tidak pernah bertanya apa alasannya. Padahal, di kemudian hari baru saya tahu bahwa penglihatan orang itu sangat buruk dan pendengarannya pun kurang pada telinga kiri. Itulah yang membuatnya sering tidak melihat jika ada yang melambai dari kejauhan, juga tidak mendengar jika tidak disapa dari arah kanan. Betapa malunya saya sudah salah sangka dan justru bergosip tentang dia yang pada akhirnya menjadi fitnah. 

Hindari hidup dengan asumsi dan penghakiman karena “keadilan versi kita” sangatlah terbatas. Ibarat kamera hitam putih yang tidak bisa merekam seluruh pigmen warna, sudut pandang kita sangatlah terbatas.

5. KITA JUGA MELAKUKAN DOSA, SEPERTI MANUSIA LAIN
Kita adalah juga manusia yang tidak sempurna. Kita punya sederetan kesalahan yang hanya oleh anugerah-Nya semata tertutupi dan diampuni. Ingat ketika orang Israel ingin melempar batu, Tuhan Yesus mengingatkan mereka bahwa mereka juga orang berdosa. Batu hanya boleh dilempar oleh orang-orang yang tidak punya dosa.

Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang berbuat demikian.
(Roma 2:1-3)

Kita semua berdosa, hanya dosanya saja yang berbeda. Satu orang mungkin bergumul dengan dosa karena mulutnya, yang lain dosa karena uang, lainnya lagi karena emosi. Saat satu jari menunjuk kepada orang lain, ingatlah selalu masih ada tiga jari yang menunjuk kepada diri sendiri. 

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.
(Matius 7:2-5)

Ketika kita menghakimi orang lain tanpa mawas diri tentang kesalahan sendiri, Firman Tuhan menyebut kita sebagai orang munafik. 

Lalu bagaimana agar kita tidak semudah itu menghakimi orang lain?

Kalau memang kita mendapati sesama kita melakukan kesalahan, Yesus ingin kita tidak kehilangan kasih, dengan cara menegurnya secara pribadi. 

“Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu, engkau telah mendapatnya kembali.”
(Matius 18:15)

Dengan memberikan teguran secara langsung, kita akan bisa melihat permasalahan langsung dari tangan pertama. Kita terhindar dari asumsi dan dugaan. Kita tidak sedang memfitnah. Tuhan juga ingin teguran kita diakhiri dengan nasihat agar sesama kita bertumbuh dan berubah, bukan sekedar menyalahkan orang lain.

Semua itu tidak akan mungkin jika kita tidak memiliki kerendahan hati dan kasih Allah. Kasih Allah menutupi pelanggaran, mengampuni tanpa batas dan memberi kesempatan untuk pertobatan. Sikap hati yang mengasihi sesungguhnya adalah lawan dari sikap hati menghakimi. Saat kita menghakimi orang lain, kita tidak punya ruang untuk mengasihi orang tersebut. 

Semakin kita mengalami kasih Tuhan, kita akan semakin dimampukan melihat orang lain dari kacamata Tuhan. Let us choose love, not judgement!