Monday, March 23, 2020

Yudas Iskariot: Ketika Ekspektasi Berujung Kecewa


by Tabita Davinia Utomo

Catatan penulis: Akan lebih baik jika Pearlians membaca Matius 26:14-16, 47-56, 27:3-10, dan Yohanes 13:21-30 terlebih dulu sebelum membaca artikel ini. Pearlians juga bisa membaca bagian-bagian Injil lain yang berkaitan dengan bacaan di atas.

Apa yang terlintas di benak Pearlians saat mendengar nama Yudas Iskariot?
a. Pengkhianat Sang Guru? (Matius 26:14-16, Markus 14:10-11, Lukas 22:3-6)
b. Bendahara-sekaligus-“koruptor” di “STT Tuhan Yesus” setiap hari selama (kira-kira) tiga setengah tahun? (Yohanes 12:6, 13:9)
c. Orang yang menegur Maria saat dia mengurapi Yesus dengan minyak narwastu? (Yohanes 12:4-5)

Ketiga poin di atas nggak salah, sih. Para penulis Injil cenderung menekankan karakter Yudas seperti itu. Tapi pernahkah Pearlians berpikir alasan yang melatarbelakangi pengkhianatan Yudas terhadap Yesus? Nah, sebelum membahasnya lebih lanjut, kita perlu berkenalan dengan tokoh utama artikel kita kali ini. Tanpa sebuah perkenalan, tentu kita tidak boleh asal menghakimi seseorang. Ya, nggak?

--**--

Nama Yudas Iskariot perlu dilihat dari dua sisi, “Yudas” dan “Iskariot”. Pada masa itu, nama Yudas sendiri cukup umum digunakan dalam kebudayaan Yahudi. Sebagai contoh, ada yang namanya Yudas Makabe (yang pernah disangka sebagai Mesias oleh orang Yahudi), Yudas murid Yesus, dan Yudas saudara Yesus (penulis surat Yudas). Beralih ke “Iskariot”, kata ini mungkin berasal dari kata “sicarii” (assassins, atau pembunuh), sebutan bagi sekelompok orang Yahudi garis keras yang menusuk para korbannya dalam keramaian. Hm, nama yang cukup mengerikan, ya? Namun hal tersebut dilakukan para penulis Injil untuk membedakan dua murid Yesus yang memiliki nama Yudas; yang satu juga bernama Tadeus, dan yang satu lagi adalah Yudas yang sedang kita bahas.

Meskipun Alkitab tidak menjelaskan secara rinci alasan di balik pengkhianatan Yudas, namun bukan berarti kita bisa membuat dugaan asal-asalan. Sebagai contoh, ada yang mengatakan bahwa Yudas termasuk orang yang “mata duitan”. Buktinya adalah pencurian uang kas yang dipegangnya. Well… bisa jadi itu benar, tapi bisa juga tidak. Kalau dia memang “mata duitan”, kenapa pada akhirnya dia membuang uang itu lalu bunuh diri—terlepas dari kesalahan yang dilakukannya (yaitu menyerahkan Yesus, yang sebenarnya tidak bersalah)?

Satu hal yang bisa kita simpulkan dari tiga poin di awal artikel ini adalah Yudas cenderung memiliki jiwa pemberontak. Walaupun sudah mengikut Yesus selama tiga setengah tahun, Yudas belum benar-benar memahami bahwa kehadiran Gurunya itu bukan untuk membebaskan orang Yahudi dari penjajahan Romawi. Sebagai sicarii, mungkin awalnya Yudas tertarik dengan Yesus yang sanggup membuat perkumpulan baru dalam waktu pendek. Apalagi dengan nubuat para nabi yang mengatakan Sang Mesias akan hadir ke dunia, dan gelar itu terasa cocok untuk disematkan pada Yesus—Rabi sekaligus Pembuat Mujizat itu. Wajar kalau akhirnya Yudas berharap bahwa Yesus inilah yang akan mengusir para penjajah agar orang Yahudi bisa berdiri di atas tanah sendiri. Rasanya masuk akal kalau mereka juga mengharapkan hal yang sama seperti Yudas, bukan?

Tapi kita tahu:
Bukan itu yang Yesus lakukan, dan merekapun kecewa.

Menyadari keadaan yang (besar kemungkinan) tidak sesuai dengan harapannya, Yudas memutuskan untuk “menjual” Yesus kepada orang-orang yang membenci-Nya. Setelah memperoleh 30 keping perak (senilai harga seorang budak), dia mulai mencari kesempatan yang tepat untuk melancarkan aksinya. Wah! Sebuah perencanaan yang jeli, namun (disadari atau tidak) Tuhan memakai Yudas yang licik ini untuk menggenapi karya keselamatan-Nya. Pada akhirnya, kita tahu bagaimana kondisi Yudas setelah pengkhianatannya: Yudas menyesali keputusannya lalu gantung diri setelah melemparkan “uang darahnya” di Bait Suci.

--**--

Dear Pearlians (sambil ngomong sama diri sendiri juga),
wajar kok kalau kita memiliki ekspektasi sebelum memilih sesuatu. Kalau tidak, kita bisa asal cap-cip-cup tanpa memikirkan risiko dari pilihan yang kita buat.

Biasanya pilihan itu berujung pada dua hal:
a. kita bahagia atas pilihan yang diambil; atau
b. kita menyesali pilihan tersebut.

Masih “mending” kalau pilihan itu bisa segera dibatalkan sebelum semuanya terlambat, atau ada kesempatan kedua yang Tuhan berikan pada kita. Tapi bagaimana kalau pilihan itu menyangkut hal-hal yang tidak bisa diulang kembali; let’s say marriage life, or decision to choose to Whom we shall put our faith. Jangan-jangan kita akan menyesal karena sudah berharap terlalu banyak tapi realitas berkata lain. 

Kalau berbicara tentang mengikut Yesus, pertanyaannya bukan hanya tentang seberapa tinggi ekspektasi kita terhadap-Nya; tapi seberapa jauh kita mengenal-Nya. Kenapa? Karena melalui pengenalan akan Yesus, Roh Kudus memampukan kita untuk menundukkan ego, hingga kita bisa taat kepada Sang Guru. Tentu ini bukan hal yang mudah, ya. Siapa bilang kalau ikut Yesus lalu semua masalah auto selesai dan semua hidup bahagia? Bahkan Yesus berkata bahwa orang yang ingin menjadi murid-Nya harus menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia!

Masihkah kita ingin memberontak saat Dia telah berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan”?

Ajakan ini bahkan juga ditujukan untuk mereka yang telah membuat pilihan yang salah. Pengampunan Tuhan sesungguhnya disediakan pula bagi Yudas Iskariot, sebagaimana pengampunan-Nya juga diberikan kepada Petrus yang menyangkalnya sampai tiga kali. Apa bedanya antara Yudas dengan Saulus? Yudas menyerahkan Yesus pada orang-orang yang kemudian membunuh-Nya, sementara Saulus membunuh orang-orang percaya – yang bagi Yesus sama artinya dengan menganiaya Yesus sendiri (Kisah Para Rasul 9:4). Yudas mengkhianati Yesus, Petrus menyangkal Yesus, dan Paulus menganiaya Yesus. Yudas menangis ketika menyesali dosanya, Petrus pun demikian. Perbedaannya hanya satu, Petrus – [dan juga Paulus] menyesal dan bertobat lalu hidup untuk Yesus, namun Yudas tidak. Yudas justru, sekali lagi, memilih pilihan yang mendukakan Tuhan. 

Jadi, ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan kehidupan, masihkah kita ingin tetap mengikuti keegoisan diri sendiri, padahal Yesus justru telah rela merendahkan diri-Nya hingga mati di kayu salib demi menebus dan menyelamatkan kita? Atau, ketika Tuhan memberi kita kesempatan kedua atau ketiga, masihkah kita menyia-nyiakan kebaikan dan anugerah Tuhan?


***


Bacaan lebih lanjut:
Judas: A Biography, oleh Susan Gubar (W. W. Norton & Company, 2009)

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^