Friday, January 1, 2021

Anugerah Istimewa bagi Keluargaku: Sebuah Kesaksian mengenai Covid-19




by Mathilda A. Batlayar Tanasale

Berbicara tentang anugerah dalam iman Kristiani tentu berhubungan dengan kasih Allah. Dalam bahasa Yunani, anugerah disebut dengan kata “charis” (χαρης). Merangkum apa yang disampaikan oleh Perjanjian Baru, kata ini bermakna kemurahan hati Allah yang tidak pantas diterima oleh orang yang layak dihukum.

Saya pribadi adalah orang berdosa yang harus dihukum, namun Allah memberikan kasih karunia-Nya pada saya melalui Yesus yang lahir di dunia. Yesus lahir untuk mati bagi saya—manusia berdosa. Yesus lahir untuk menebus dosa saya, sehingga saya boleh merasakan kasih karunia Allah dan oleh kasih karunia itu saya mendapatkan hidup kekal. 

Di tahun 2020 yang baru saja lewat beberapa hari lalu, ada banyak sekali kasih karunia Allah yang saya dan keluarga alami—terutama di masa pandemi Covid-19. Kami benar-benar bersyukur karena senantiasa merasakan kasih karunia Allah dalam kehidupan keluarga dan pelayanan. Walaupun begitu, bukan berarti kami terbebas dari pergumulan yang mengikuti pandemi tersebut… dan hal itulah yang akan saya bagikan di sini.

Ketika pandemi mulai muncul pada Maret 2020, penyusunan skripsi Dave (anak sulung kami) terkena imbasnya. Skripsi yang sudah sampai bab 3 harus dirombak total: ganti judul, ganti topik, dan ganti metode. Durasi pengerjaan skripsi yang diberikan hanya sampai awal Juni 2020. Kami dapat merasakan tekanan yang dialami Dave, namun kami percaya Allah pasti menolong dia sampai tepat pada waktu-Nya. Kami mendampingi dan berdoa agar Dave memiliki hati yang damai sejahtera dan suka cita dalam penyusunan skripsi dari awal ini. Puji Tuhan Dave dapat menyelesaikan skripsi tepat waktu. Sungguh nyata kasih karunia Allah pada Dave yang dapat menyelesaikan skripsi dalam waktu yang singkat.

Atensi kami terhadap Dave tentu tidak terlepas dari pemberlakuan #StayatHome #dirumahaja oleh pemerintah. Padahal sebelum pandemi terjadi, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Namun melalui #dirumahaja inilah, kami merasakan kasih karunia Allah untuk mengembalikan peran kami sebagai orang tua dan keluarga yang sudah menerima kasih karunia Allah. Karena itulah kami sangat menikmati waktu kebersamaan walau ada perasaan aneh karena 24 jam selalu bersama. Banyak waktu yang kami pakai untuk berbicara dari hati ke hati, berdiskusi, family altar, renungan bersama, bermusik dan berkarya bersama. Tidak hanya itu, di masa-masa keterbatasan ruang gerak seperti saat ini, Tuhan justru memberikan banyak kesempatan pada kami dalam pelayanan virtual.

Namun dari sekian momen yang kami alami selama pandemi ini, puncaknya terjadi pada bulan November 2020. Di hari ulang tahun pernikahan ke-24 antara saya dan suami, “hadiah” yang didapatkan adalah ketika kami sekeluarga terpapar Covid-19. Iya, totally. Kami tidak pernah membahas asalnya dari siapa, di mana kenanya, mengapa bisa kena sementara kami sangat memperhatikan protokol kesehatan.

Di awal November, Dave mengalami demam selama tiga hari dan kehilangan indra penciuman (tapi dia tidak lapor ke saya). Setelah Dave sembuh, giliran saya yang demam dan kehilangan indra penciuman dan perasa. Awalnya saya pikir karena batuk-pilek dan alergi. Saya memiliki alergi cuaca; jika musim berganti, saya pasti batuk-pilek dan kehilangan suara sebagai tanda alergi kambuh. Setelah itu, Joy—anak kedua—mengalami demam dan kehilangan indra penciuman selama tiga hari (dia juga tidak memberitahu kami karena dipikirnya itu hanya batuk-pilek). Terakhir, giliran suami yang kena demam dan kehilangan indra penciuman. Menyadari ada yang aneh (bagaimana bisa satu keluarga terkena penyakit yang serupa dalam waktu singkat), saya dan suami menjalani tes swab dan hasilnya kami positif terkena Covid-19. Dengan diagnosis tersebut, kami memutuskan agar anak-anak juga menjalani tes swab

Selama menunggu hasil swab anak-anak, kami sudah melakukan isolasi mandiri di rumah dan memberlakukan prokes dengan ketat bahkan sampai pakai sarung tangan. Kami bahkan sudah membicarakan apa yang harus dilakukan jika hasil tes swab anak-anak ternyata negatif. Namun karena hasil tes tersebut menunjukkan bahwa anak-anak juga positif, kami bisa melakukan isolasi mandiri bersama di rumah. Kami tak dapat membayangkan kalau yang kena hanya saya dan suami tentu kami harus berpisah dengan anak-anak. Tapi mungkin bagi Tuhan, sepertinya ini yang akan lebih baik bagi kami… dan apapun yang Dia izinkan terjadi, kami tetap bersyukur karena Dialah yang menopang kami untuk tetap beriman serta bersandar penuh pada anugerah-Nya. Kami juga bersyukur karena Covid-19 yang kami alami termasuk dalam kategori yang ringan, sehingga anak-anak masih bisa melakukan berbagai aktivitas meskipun sedang isolasi mandiri (misalnya mengarang lagu, kuliah, main musik, menyanyi dan sebagainya). Walaupun begitu, mungkin bisa dikatakan tingkatan Covid-19 yang saya alami cukup berat karena ketika berbicara, saya jadi batuk dan nafas sangat pendek (tapi tidak sesak napas).

Selama menjalani masa isolasi mandiri, kami sangat merasakan bahwa Allah selalu bersama kami. Dia mengirimkan segala yang kami butuhkan melalui jemaat yang begitu mengasihi kami. Mereka mengirimkan vitamin, obat-obatan, telur, suplemen, buah-buahan, sayuran, dan makanan jadi sehingga saya tidak perlu memasak. Bahkan kebutuhan dana yang sangat besarpun Allah siapkan melalui mereka. Betapa luar biasanya Allah yang bekerja di hati jemaat dan mereka meresponinya dengan taat untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya bagi kami!

Ketika menerima hasil swab kedua, kami juga sangat bersyukur karena suami sudah negatif sedangkan saya dan kedua anak masih positif. Bagaimanapun kami tetap harus menerapkan protokol kesehatan di rumah karena hanya suami yang sudah negatif. Sore hari setelah menerima hasil swab, kami membuat rekaman audio dan video untuk pelayanan Natal—secara virtual—gereja tempat kami melayani. Hanya karena kasih karunia dan anugerah Allah, kami bisa menyelesaikannya walau saya harus take vokal berulang-ulang karena masih batuk dan napas pendek yang membuat saya sulit untuk menyanyi.

Banyak waktu yang Allah berikan pada kami selama masa isolasi mandiri membuat kami semakin banyak berkarya melalui talenta yang Allah berikan. Anak-anak semakin banyak membuat lagu dan musik untuk beberapa perayaan Natal, baik untuk gereja kami maupun untuk gereja lain. Bersyukur Tuhan memberi kesempatan pada saya untuk membuat channel Youtube khusus untuk anak-anak usia balita dengan membuat video singkat cerita Alkitab. Suami lebih banyak berdiam diri di hadapan Tuhan untuk menyelidiki Firman-Nya. Itulah respon kami terhadap anugerah Allah yang telah kami terima. Dalam proses pemulihan dari Covid-19, Dia masih tetap menguatkan kami untuk melayani jemaat melalui video call dan Zoom.

Jika mendengar cerita orang-orang yang terpapar Covid-19, tentu kami juga sangat sedih. Namun ketika mengalaminya secara langsung, kami justru bisa merasakan sukacita; perasaan takut akan kematian itu sama sekali tak muncul dalam benak kami. Kami hanya merasakan bahwa kasih karunia Allah pada kami sangat luar biasa. Dalam kelemahan kami justru kami dapat merasakan kasih karunia Allah yang sangat luar biasa, dan kami percaya Dia memiliki tujuan khusus melalui pandemi ini.


--**--


Kami sangat bersyukur di akhir tahun 2020 ini Tuhan memroses iman kami sekeluarga untuk lebih memahami rencana Tuhan dalam kehidupan keluarga dan pelayanan. Kami percaya Allah sedang menyiapkan kami untuk sebuah tanggung jawab besar di tahun 2021. Memang saat ini kami belum tahu dalam bentuk apa, tapi yang kami rasakan adalah sekarang waktu-Nya untuk memroses kami. Kami senang dan bersyukur karena dalam mengakhiri tahun 2020 memiliki pengalaman iman bersama Yesus.

Siapakah kami sehingga kami dilayakkan untuk menerima kasih karunia Allah? Kami orang berdosa yang tak layak menerima anugerah Allah. Tetapi Allahlah yang terlebih dulu mengasihi kami. Dia rela mati untuk menebus dosa kami dan agar kami beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16). Jelas bahwa semuanya itu bukan karena kebaikan atau intensitas pelayanan kami; hanya karena inisiatif Allah, Dia memilih kami untuk mengalami pergumulan besar selama pandemi untuk membawa kami semakin mendekat kepada-Nya dan mempererat relasi bersama anggota keluarga dan jemaat. Kami hanya bisa membalas kasih karunia Allah dengan meresponi panggilan-Nya sebagai pelayan-Nya melalui talenta yang telah diberikan pada kami.

Ketika merenungkan kembali siapakah kami sehingga kami masih bisa bernapas, diampuni dosanya, diberi jaminan hidup kekal, melayani Allah, dapat melewati tahun 2020 ini dan memasuki tahun 2021, itu semua semata-mata hanya karena anugerah-Nya. Mungkin itulah yang sedang Allah ingin ajarkan kepada kami—dan juga pada setiap orang percaya: agar kita menyadari dan menghargai anugerah-Nya yang terus-menerus dinyatakan pada kita.

Segala kemuliaan hanya bagi TUHAN.

*

Pearl’s note:
Terima kasih untuk kesediaan Ibu Mathilda A. Batlayar Tanasale dalam membagikan kisah pergumulannya selama berjuang menghadapi Covid-19. Kiranya kasih karunia Tuhan senantiasa melingkupi kehidupan Ibu Mathilda dan keluarga.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^