Monday, September 28, 2020

The Forgotten Ingredient for a Tasteless World


by Tabita Davinia Utomo

Artikel ini mengacu pada Yohanes 13:31-35, 15:12-17

Apa kabar, Pearlians? Apa kabar? Fyuhhh… pandemi Covid-19 ini sudah berlangsung lebih dari setengah tahun, tapi tampaknya dunia berubah dengan sangat drastis, ya? Semua orang sibuk untuk bertahan hidup, tetap sehat roh, jiwa dan tubuhnya. Kalau kita mau peka, di saat semua orang sibuk dengan hidup mereka, ada sesuatu yang bisa dipertanyakan:

Masihkah ada kasih di dunia yang hambar ini?

Di masa sulit seperti sekarang, ternyata tidak sedikit orang-orang yang berusaha melakukan kebaikan untuk meringankan beban orang lain. Tapi apakah mereka (mungkin termasuk kita) mendasarinya dengan kasih seperti yang Tuhan Yesus kehendaki? Apakah sebagai orang (yang mengaku) percaya kepada-Nya, kita mengedepankan motif untuk unjuk diri daripada menjadikan perbuatan diri kita sebagai bentuk syukur atas berkat Allah? Pertanyaan tersebut merupakan salah satu perenungan terbesar saya akhir-akhir ini. Ketika saya sudah merasa melakukan perbuatan baik bagi orang lain, apakah itu karena saya ingin mereka juga mengapresiasi apa yang saya lakukan, atau memang saya tulus melakukannya karena saya mengasihi mereka? Apakah saya mengharapkan mereka membuat story atau post di media sosial tentang encouragement words atau hadiah yang saya berikan, atau saya melakukannya sebagai perpanjangan tangan Allah dalam mengasihi mereka?

Mungkin hal tersebut terjawab melalui perkataan Yesus dalam “pesan terakhir” kepada para murid-Nya—sebelum Dia menjalani Via Dolorosa.

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
(Yohanes 13:34-35)

Tidak dijelaskan alasan kenapa Yesus baru menyampaikan perintah tentang “saling mengasihi” justru setelah Yudas meninggalkan perjamuan terakhir Sang Guru bersama sesama murid (Yohanes 13:31). Namun yang jelas, Yesus mengulang perintah-Nya ini di Yohanes 15:12-17:

“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain."

Saat itu, sebuah perkataan yang diulang (bahkan sampai berkali-kali) berarti bersifat sangat penting dan tidak boleh dilewatkan begitu saja. Hal yang sama juga dilakukan Yesus kepada para murid-Nya, agar mereka tidak melupakan perintah penting ini. Apalagi sebelumnya, Yesus menekankan pentingnya saling melayani—sama seperti diri-Nya yang telah memberikan teladan kepada mereka. Tindakan tersebut menegaskan bahwa pelayanan tanpa kasih Allah (agaphe—bahasa Yunani) adalah sia-sia. Sebaliknya, ketika kita mengasihi, kita juga akan terdorong untuk melayani dengan “modal” yang Tuhan percayakan. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengasihi kalau tidak benar-benar menyadari bahwa kita dikasihi oleh Allah? Mungkin ada beberapa ayat di atas yang kita hapalkan sampai di luar kepala, tapi seberapa besar dampaknya bagi diri sendiri dan orang lain?

Pearlians, ketika kita mengabaikan ke-“tidak baik-baik saja”-an yang dimiliki, tidak jarang imbasnya pada letihnya jiwa kita untuk mengasihi orang lain. Walaupun secara penampilan (kalau kata dosen saya, “fenomena”) kita bisa sangat mengasihi orang lain, ada kemungkinan semangat yang melandasinya adalah insecurity. Ya, bisa saja kita “mengasihi” karena takut mereka meninggalkan kita. Kita berbuat baik agar mereka juga melakukan hal yang sama. Seperti transaksi dagang, ya? Mungkin itu juga yang dialami oleh dunia saat ini: rasa hambar karena kasih terasa tawar. Padahal bukankah seharusnya kasih membuat hidup ini menjadi lebih manis untuk dijalani, meskipun kadang-kadang berseling dengan rasa getir dan pahit?

Jadi sebenarnya, kasih seperti apa yang harus kita miliki? Paulus menjawabnya dengan indah di 1 Korintus 13:4-7:

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”

“Love is patient, love is kind, it is not envious. Love does not brag, it is not puffed up. It is not rude, it is not self-serving, it is not easily angered or resentful. It is not glad about injustice, but rejoices in the truth. It bears all things, believes all things, hopes all things, endures all things.”
(New English Translation version)

Keempat ayat di atas seringkali digunakan sebagai landasan dari pembahasan mengenai relationship; tapi disadari atau tidak, sebenarnya Paulus justru menuliskan tentang kasih ini setelah dia menyebutkan berbagai karunia rohani di pasal sebelumnya (1 Korintus 12). Artinya, kasih ini adalah karunia rohani terbesar di atas segalanya—yang pasti dimiliki oleh semua orang percaya. Namun di sisi lain, kasih di dalam diri kita tidak akan berkembang kalau kita hanya menyimpannya untuk diri sendiri—atau justru menolaknya karena tidak sesuai dengan keinginan kita.

Mengasihi memang penuh tantangan, tapi bukankah lebih melelahkan lagi ketika kita mengasihi dengan kasih yang egois dan penuh tuntutan tak berbalas?

Mungkin kita perlu belajar bersama untuk memperbaiki mindset bahwa kasih yang sejati hanya bisa disalurkan kepada orang lain ketika kita sudah benar-benar menyadari Allah mengasihi kita dengan kasih tersebut. Setelah menyadarinya, kita juga perlu untuk mengasihi diri kita terlebih dulu—iya, lho. Bagaimana kita bisa mengasihi orang lain kalau kita tidak bisa mengasihi diri sendiri? Bukan berarti kita jadi egois, ya… tapi seperti yang dikatakan Yesus, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Kita tidak bisa memberi apa yang kita sendiri tidak miliki.

Selamat tenggelam dalam cintanya Tuhan, Pearlians, jangan lupa untuk mengasihi diri sendiri dan orang lain… seperti yang telah dilakukan-Nya bagi kita.

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^