Monday, July 13, 2020

Akhirnya Aku Mengerti



by Glory Ekasari

Ketika masih SMA, saya sangat tidak suka pelajaran Fisika. Aneh, karena saya mengambil jurusan IPA. Selama dua tahun, pelajaran itu menjadi “duri dalam daging” bagi saya. Nilai Fisika saya? Yah, yang penting cukuplah untuk lulus. Hahaha.

Kenapa saya tidak suka Fisika? Alasannya sederhana: karena saya tidak paham dengan apa yang diajarkan. Saya tidak mengerti buat apa saya harus menghitung volume air yang tumpah saat seseorang melemparkan benda padat ke dalam air, atau berapa kecepatan benda pada saat di udara, di posisi tertentu di kurva parabola. Satu-satunya bab yang saya kuasai adalah tentang gelombang (bunyi) karena saya bisa bermain musik. Selain itu saya tidak paham, cara mengajar oleh gurunya tidak menarik, dan saya merasa semua itu tidak berguna.

Tapi lalu sesuatu yang “ajaib” terjadi. Semakin bertambahnya usia, semakin saya sadar bahwa fisika ada di mana-mana. Dia ada di barang elektronik yang saya pakai, dia ada di jalan yang saya lewati, dia ada di rumah yang saya tinggali, dia ada di tubuh saya! Dan saya jadi bertanya-tanya, KENAPA saya tidak menyadari ini dari SMA dulu?? Semua yang diajarkan ke saya saat sekolah, baru masuk akal sekarang, setelah lama waktu berlalu.

Hal yang hampir sama pernah saya alami dalam hal rohani. Saya lahir baru ketika masih berusia belasan tahun. Sejak itulah saya mulai mengenal Tuhan secara pribadi. Momen itu tiba di suatu malam, ketika saya sedang berbaring sambil memandangi langit-langit kamar. Ketika sedang berpikir bagaimana saya mulai mengenal-Nya, tiba-tiba ayat-ayat Alkitab yang saya hafalkan selama bertahun-tahun di Sekolah Minggu muncul dalam pikiran saya—seolah-olah ditulis di langit-langit kamar saya. Saat itu saya berkata, “Ooohh, ternyata itu maksud ayat-ayat yang saya hafalkan!” dan Alkitabpun menjadi hidup dalam hati saya.

Tanpa saya sadari, saya adalah murid “berprestasi” di Sekolah Minggu selama bertahun-tahun tanpa mengerti apa yang saya hapalkan. Namun pada hari itu, Roh Kudus menjelaskan kepada saya apa arti semuanya itu. Suddenly, everything makes sense.

Pengalaman seperti itu sangat berharga bagi saya secara pribadi, tapi sebenarnya bukan hanya saya yang mengalaminya. Pada hari Pentakosta, Roh Kudus memenuhi murid-murid Yesus. Petrus berkhotbah di hadapan ribuan orang, dan dia mengutip ayat demi ayat dari Perjanjian Lama. Saya yakin bahwa Petrus bukan hanya sedang mengajar orang banyak itu, tapi dia juga berbicara kepada dirinya sendiri. Akhirnya Petrus mengerti apa yang dikatakannya! Petrus, yang dulu bertanya pada Yesus, “Tuhan, apa arti perumpamaan yang baru Engkau sampaikan?” hari itu MENGERTI siapa Guru yang ia ikuti selama tiga tahun terakhir. Inilah yang Yesus maksud ketika Dia berkata:

“Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan.”
(Lukas 8:16-17)

Firman Tuhan adalah pelita, dan pelita itu tidak dinyalakan hanya untuk disembunyikan. Yesus mengatakan perumpamaan ini setelah menjelaskan tentang perumpamaan penabur. Pada saat itu, murid-murid-Nya belum mengerti apa yang Yesus maksud. Tapi pada waktunya, kebenaran pun bercahaya sehingga merekapun mengerti.

Perkataan Yesus ini juga mengingatkan kita pada satu hal yang penting: Firman Allah memiliki kuasa supranatural untuk mengubah hidup seseorang; dan karena itu, hanya Allah yang sanggup menjelaskan firman-Nya kepada roh kita.

Kenapa saya pakai istilah “kepada roh kita”? For a reason too well understood: banyak orang mengerti tentang Yesus dalam pikirannya, tapi entah kenapa mereka tidak bisa mengenal Dia. “Allah itu Roh,” kata Tuhan, “dan barangsiapa menyembah Dia harus menyembah-Nya dalam Roh dan kebenaran” (Yohanes 4:24). Kita tidak bisa menyembah Dia hanya dengan pikiran kita, atau hanya dengan perasaan kita. Kita tidak menyembah Dia pertama-tama di gereja, tapi di dalam diri kita. Pengenalan akan Tuhan adalah sesuatu yang rohani—melibatkan roh kita dan Roh Kudus. Ini adalah sebuah misteri, dan Tuhanlah yang bekerja dalam hal ini—melampaui apa yang dapat kita pikirkan dengan logika yang terbatas.

Apa yang membedakan Petrus satu menit sebelum ia dipenuhi Roh Kudus dan satu menit sesudahnya? Pengetahuannya tidak bertambah, pengalamannya tetap sama, sepertinya tidak ada yang berubah. Tapi pada detik yang sangat krusial itu, Roh Kudus menjamah Petrus dan melakukan sesuatu pada rohnya, dan seolah-olah terang menyinari matanya: Petrus dapat melihat segala kebenaran Allah yang ada dalam diri Yesus; dan firman Allah yang dibacanya dalam Kitab Suci (yang waktu itu berisi Perjanjian Lama) menjadi hidup, dan dia tiba-tiba mengerti bahwa itu semua adalah tentang Yesus. Lama sebelum peristiwa Pentakosta, Daud berdoa, “Singkapkanlah mataku, sehingga aku dapat memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu” (Mazmur 119:18). Bagi saya, ini adalah salah satu doa terindah yang pernah dipanjatkan manusia kepada Tuhan.

Betapapun indahnya memandang terang kebenaran dan memilikinya dalam hati kita, kita tidak bisa menyimpannya sendiri. Karena itu, Tuhan Yesus melanjutkan perkataan-Nya:

“Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.”
(Lukas 8:18)

Yesus telah menabur kebenaran di hati para murid-Nya. Setelah Dia naik ke surga, tanggung jawab untuk menabur itu diestafetkan kepada mereka. Menutup perumpamaan ini, Yesus menyatakan satu prinsip yang penting: semakin sungguh-sungguh kita membagikan kebenaran yang diterima, semakin banyak yang akan dipercayakan kepada kita. Sebaliknya, apabila kita menyimpan apa yang kita dapat untuk diri kita sendiri dan tidak membagikannya, kita seperti hamba yang dipercayakan satu talenta itu: talentanya diambil dan dia ditinggalkan tanpa memiliki apapun.

Sulit membayangkan orang mengenal Pribadi seindah Yesus dan tidak punya keinginan untuk membicarakan tentang diri-Nya dengan orang lain. Kita mungkin tidak bisa membahas tentang Yesus secara frontal kepada setiap orang yang kita temui. Tapi ketika ada kesempatan, rasanya sangat aneh bila kita tidak mengambil kesempatan itu. Baik itu dalam percakapan sehari-hari, maupun saat kita diberi kesempatan untuk membagikan firman Tuhan.

Semakin dalam saya mengenal Tuhan Yesus, semakin saya ingin orang bertanya kepada saya tentang diri-Nya, supaya saya bisa menjelaskan betapa luar biasanya Dia. Tapi sebaliknya, ketika saya belum mengenal Tuhan Yesus, saya pasti bingung, bahkan menghindar kalau ditanya orang lain tentang iman saya. Karena itu semuanya harus dimulai dari diri kita masing-masing: kita harus mengenal Tuhan secara pribadi. Atau lebih tepatnya, Tuhan harus menyatakan diri kepada kita. Dia harus menyinari kita dengan Roh-Nya dan memimpin kita “kepada seluruh kebenaran” (Yohanes 16:13). Kita bisa meminta pernyataan ini kepada-Nya, dan permintaan itu pasti dipenuhi:

“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”
(Lukas11:13)

Biarlah ini menjadi kerinduan kita, karena seperti yang dikatakan sebuah lagu, tidak ada hal di dalam hidup ini yang lebih baik dibandingkan dengan mengenal Dia yang menciptakan kita:


Dan ku ingin mengenal-Mu, Tuhan
Lebih dalam dari semua yang kukenal
Tiada kasih yang melebihi-Mu
Ku ada untuk menjadi penyembah-Mu

No comments:

Post a Comment

Share Your Thoughts! ^^